Interest | Art & Culture

Thom Yorke Tak Mau Lagi Manggung di israel: Nurani atau Tekanan Publik?

Senin, 24 Nov 2025 20:00 WIB
Thom Yorke Tak Mau Lagi Manggung di israel: Nurani atau Tekanan Publik?
Thom Yorke. Foto: Instagram/@rollingstone
Jakarta -

Hampir separuh hidup Thom Yorke mungkin didedikasikan untuk musik. Namanya mulai ajek setelah membentuk band alternatif-rock, Radiohead—sebelumnya bernama On A Friday—pada 1991. Kecakapannya dalam bidang musik pun telah dimulai sedari dini, terhitung sejak berumur 7 tahun, ketika pertama kali dihadiahkan gitar oleh kedua orang tuanya. Ia mengaku terinspirasi oleh Brian May, gitaris Queen, dan amat menggemari The Beatles.

Rekam karier Thom sebagai musisi bersama Radiohead menanjak tinggi berkat debut single "Creep" (1992), yang berhasil sisi terdalam manusia dengan iringan distorsi gitar yang getir dan gelap. Kekaryaan Thom bersama Radiohead terus beranjak terkenal, dengan lagu-lagu sentimentil bernuansa alienasi diri, yang tak jarang diinterpretasikan melalui prinsip: penentang status quo.

Setelah puluhan tahun berkarya, baik bersama Radiohead maupun bersolo karier, Thom muluai dianggap sebagai ikon permusikan yang ideal dan sadar akan muatan moral dalam berkarya. Namun, Thom yang dikagumi banyak orang nyatanya terbilang tidak serta merta berhasil memenuhi ekspektasi para pengikutnya, yang berharap: sang idola bisa menunjukkan sikap solidaritas terhadap penindasan, khususnya dalam kasus genosida yang dialami rakyat Palestina.

Sebaliknya, Thom yang selama ini dikagumi karena idealismenya—memihak kelompok yang inferior dan termarjinalkan—justru tampak bersimpati terhadap israel. Membuat diskografinya yang selalu disambut dengan tepukan tangan terdistorsi oleh teriakan keras dari para fans. 

Pada tahun 2017, misalnya, saat Thom bersama Radiohead memutuskan untuk pentas di Tel Aviv, publik langsung melontarkan banyak cibiran dan sindiran. Bukannya urung, mereka justru memastikan bahwa show di Tel Aviv saat itu akan terus berjalan—seakan abai terhadap kasus genosida yang terus terjadi di tanah Palestina.

Kalau dicermati, pada dasarnya Thom selaku ikon Radiohead bukanlah pemilik kuasa tunggal. Di dalam tubuh Radiohead, sang gitaris Jonny Greenwood justru lebih dikenal sebagai otak kreatif band dan menjadi sosok yang punya pengaruh kuat. Dalam hal ini, Jonny sendiri diketahui punya ikatan emosional dengan israel. Ia menikahi seniman kebangsaan israel, Sharona Katan, bahkan pernah berkolaborasi musisi israel, Dudu Tassa, di Tel Aviv, setahun silam. Jejaring ini kemudian membuat tudingan publik mengenai kedekatan Radiohead dengan israel begitu kental.

Kritik publik terhadap kedekatan Radiohead dengan israel, yang tak jarang menyentil Thom secara pribadi lebih kencang pun memuncak pada 30 Oktober 2024, sewaktu ia konser solo di Melbourne. Selain dikonfrontasi secara langsung pada momen tersebut, tekanan publik berupa ancaman boikot terhadap Radiohead semakin keras bergaung sejak saat itu. Membuat Thom akhirnya bersuara; menjelaskan rentetan kejadian dan sikapnya selama ini yang dicap pro-israel, tidak mau berpihak, dan seketika berubah: tak ingin lagi manggung di sana.

Hal tersebut tercetus dalam wawancaranya dengan The Sunday Times, 28 Oktober 2025, "Tidak akan. Saya tidak mau berada lima ribu mil lebih dekat dengan rezim Netanyahu," ucap Thom. 

"That silence, my attempt to show respect for all those who are suffering and those who have died, and to not trivialize it in a few words, has allowed other opportunistic groups to use intimidation and defamation to fill in the blank, and i regret giving them this chance", tutur Thom, mengenai sikap sentrisnya, di Instagram.

Ketika akhirnya Thom mengubah sikapnya, sampai tak lagi ingin berhubungan dengan israel, bahkan berada dalam kedekatan 5 ribu mil, maka pertanyaan lanjutannya: apakah perubahan ini didasari gerakan nurani atau tekanan publik yang semakin keras?

Menguji Moral Seorang Rockstar

Dunia musik dikejutkan dengan kejadian seorang penonton yang meneriaki Thom Yorke saat konser solo di Melbourne. Ucapannya memang tak terdengar jelas, tetapi makna dari pesannya terbilang lugas: jangan diam soal genosida Palestina. Hal ini pun berdampak langsung kepada Thom, membuatnya sampai turun dari atas panggung, dan menanggapinya dengan balasan umpatan yang sama keras.

Beberapa media mewartakan, kejadian tersebut sampai memengaruhi kesehatan mental Thom. Hipotesisnya: Thom jadi memiliki urgensi untuk menyuarakan israel dan Palestina, meski nada dan sikapnya sampai saat ini masih terbilang abstrak—ia menyederhanakan masalah dengan menyalahkan keduanya, dan masih tidak berani berpihak kepada Palestina.

Padahal kita tahu, ketidakadilan jelas dialami oleh rakyat Palestina, dan para penggemar mengharapkan Thom bisa mengambil sikap tegas. Dan, sikap sentrisme Thom sama sekali tidak membantu, bahkan tergolong mendukung  ketidakadilan itu sendiri, sehingga membuat statusnya sebagai seorang seniman, seseorang yang memiliki pengaruh besar di masyarakat kian mendapat tudingan.

Sikap-sikap Thom ini seperti membuatnya ingkar terhadap karya-karya yang telah ia ciptakan. Bagaimana karyanya yang mampu memengaruhi banyak individu—memperluas pandangan terhadap kehidupan dan perasaan batin yang lebih bermakna, bukan sekadar keindahan karya. Sebagai seniman, ia gagal menegakkan kompas moralnya, yang wajib bersuara terhadap realitas yang timpang. Benar-benar berkebalikan dengan benang merah album OK Computer (1997), yang berisi narasi rasa frustrasi manusia modern terhadap dunia yang semakin absurd dan berjarak.

Meminjam teori estetika yang dikemukakan oleh Theodor Adorno, Thom Yorke dalam karya-karyanya seperti menihilkan musiknya dari konteks kesadaran sosial. Di mana musik bukan sekadar elemen hiburan, yang hanya berorientasi pada kesenangan melainkan wajib memuat unsur kesadaran sosial, yang tidak melulu berpihak pada pihak yang superior dan cenderung semena-mena.

Adorno berpendapat, bahwa seni atau musik harusnya dapat menjadi alat pembebasan, antitesis dalam masyarakat. Artinya, ia harus mencerminkan realitas sosial. Ia harus menyadarkan manusia kepada kondisi kenyataan hidup bahkan menginspirasi perubahan sosial. Dan itu gagal dilakukan oleh Thom Yorke.

Oleh sebab itu pula, kompas moral sebagai Thom Yorke seniman kian ironis: lagunya yang menceritakan realitas sosial tetapi ia tidak sama sekali berpihak terrhadap realitas yang ada, yakni mengakui genosida terjadi di tanah Palestina. Sehingga publik merespon keras atau bahkan menyayangkan sikap apolitisnya yang enggan berpihak kepada rakyat Palestina yang ditindas habis-habisan di tanahnya sendiri.

Padahal sebagai sesama manusia, lebih-lebih Thom, seorang musisi besar yang menopang tugas sebagai agent of morality, sepatutnya tidak berpihak terhadap ketidakadilan. Hal yang begitu diharapkan para fans setianya, yang mengharapkan Thom bisa menjadi whistleblower, untuk membantu meredakan penindasan besar-besaran yang terjadi di Palestina.  

Kini, mengakhiri hiatus tujuh tahun Radiohead, Thom dan kawan-kawan kembali menggelar tur. Sesuai dengan omongannya Thom tidak lagi memasukkan israel dalam agenda tur, melainkan menyambangi beberapa negara Eropa seperti: Spanyol, Italia, Inggris, Denmark, hingga Jerman.

Pijakan pertama tur konser mereka bermula di Madrid, Spanyol (04/11). Meski belum juga menyatakan dukungan yang jelas terhadap Palestina, Radiohead setidaknya cukup memuaskan para penggemar karena tidak lagi mampir ke israel, dan terbukti cukup mampu memanjakan penggemar dengan karya-karya fenomenal mereka.

Memang, sorotan pada tur Radiohead tak seheboh comeback-nya Oasis. Namun, bagi saya yang menggemari album OK Computer (1997), yang enam nomornya dibawakan bersama enam lagu lain dari album Hail to The Thief (2003), aksi mereka tetap mencuri perhatian dan membangkitkan antusias— sekalipun saya hanya bisa menyaksikannya dari layar gawai.

Dari kejauhan, saya dapat menyimak energi baru Radiohead yang lebih lepas. Seolah mengisyaratkan bahwa mereka sudah terlepas dari beban moral yang selama ini kuat menyiarkan kedekatan dengan israel, kendati tidak juga menepisnya terang-terangan.

Pada akhirnya, saya hanya bisa berharap Thom Yorke bersama Radiohead dapat mengubah sikapnya, entah berkat tekanan publik maupun nurani rockstar mereka yang terketuk oleh tekanan para penggemar. Satu hal yang bisa membuat mereka menaikkan derajat sebagai musisi, yang bukan sekadar pencipta estetika, melainkan figur moral yang dibaca oleh dunia.

Sampai akhirnya hari itu datang, sekalipun terlambat bersuara, semoga Radiohead yang kini tidak terang-terangan memilih untuk tidak menjadi bagian dari narasi yang memojokkan Palestina bisa mewujudkan pandangan Adorno—bahwa seni bukan hanya hiburan, tapi cermin bagi kemanusiaan. Dan cermin itu, cepat atau lambat, selalu menuntut musisinya untuk jujur terhadap nurani.

Penulis: Iqra Ramadhan Karim*
(*) Kontributor CXO Media

(ktr/RIA)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS