Kata-kata, warna, lukisan, atau nada, memang tidak mampu menandingi destruktivitas peluru, kerasnya pentung aparat, apalagi lontaran gas air mata dan rantis berlapis baja. Tapi, seni, pada hakikatnya yang paling tinggi, adalah ekspresi rakyat yang paling murni. Dan, bukan tidak mungkin, kesenian, yang berpihak pada rakyat, dapat menjadi medium penting dalam menumbangkan tiran.
Kiranya, untuk itulah ratusan masyarakat sipil—dari seniman, sastrawan, musisi, hingga pekerja kreatif—berkumpul di halaman Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada Senin (1/9/2025) siang. Terhimpun dalam acara 'Seni Lawan Tirani', mereka berekspresi sebebas-bebasnya; menyuarakan keresahan sekaligus merefleksikan gejolak situasi yang saat ini terjadi di Indonesia.
Seni vs Tirani
Mimbar bebas 'Seni Lawan Tirani' berlangsung sejak pukul 14.00 WIB. Bambang Priadi, Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mengalamatkan acara ini sebagai ruang ekspresi kolektif, yang tidak bersihadap dengan siapapun, melainkan menjadi ruang aman dan terbuka bagi masyarakat.
"Sejatinya kita semua tahu, dalam seminggu terakhir, kondisi [Indonesia] Jakarta khususnya tidak baik-baik saja. Tentunya, dengan banyak pembacaan atas apa yang terjadi belakangan ini, dengan adanya korban yang berjatuhan, dan ini yang kemudian memicu kita semua, atau memicu paling tidak DKJ bersama beberapa lembaga lainnya untuk menggelar kegiatan siang hari ini," sambut Bambang.
Bambang menegaskan, bahwa seni bukan hanya perlawanan terhadap penguasa, tetapi juga bisa dimaknai sebagai perlawanan terhadap "tirani diri" masing-masing. "Dan [acara] ini menjadi bagian dari solidaritas kami [dalam] membaca keadaan dan bagaimana kita melangkah selanjutnya dengan hati dan pikiran yang jernih," lanjutnya.
Secara lebih menyeluruh, 'Seni Lawan Tirani' diharapkan dapat menjadi ruang aman bagi masyarakat dalam berpendapat, sekaligus menjaga kenyamanan di kota Jakarta, yang belakangan menyaksikan aksi represif aparat.
Dimulai dengan Doa
Pada kerangka acaranya, 'Seni Lawan Tirani' menampilkan sejumlah figur yang menyampaikan ekspresi lewat orasi, menggarap mural, membacakan tulisan, bernyanyi, memperlihatkan aksi teatrikal, maupun berpuisi.
M. Hilmi, salah satu representatif DKJ mengawali acara dengan mengajak seluruh peserta untuk mengheningkan cipta. Mengirimkan do'a kepada almarhum Affan Kurniawan, dan korban-korban jiwa lainnya, yang meninggal dunia pasca-aksi massa dalam rentang 28 Agustus-1 September 2025.
Setelahnya, satu per satu sosok tampil di depan untuk menyampaikan pandangannya terhadap situasi belakangan ini, dimulai oleh penulis sekaligus akademisi, Melani Budianta, dan disusul oleh kritis oleh pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti.
Keduanya mengingatkan masyarakat untuk saling mengisi, saling dialog, dan bergandeng tangan, sehingga tidak lagi dipecah belah seperti episode kelam yang pernah disaksikan pada 1998 silam.
Bivitri menyentil lebih tajam. Menurutnya, apa yang terjadi pada hari-hari ini adalah peristiwa kontitusional. Bukan aksi terorisme, bukan juga aksi-aksi makar. Maka, katanya, momen ini menjadi penting bagi kita untuk mempertanyakan ulang kontrak sosial antara rakyat dengan pemerintah yang belakangan kian kabur, lantaran para pemangku jawatan tak pernah menjawab langsung hal-hal yang menggusarkan masyarakat.
Obituari, Seruan, dan Aksi Penuh Hati
Aksi 'Seni Lawan Tirani' melibatkan sederet seniman lintas bidang hingga aktivis seperti Fatia Maulidiyanti, yang ikut berorasi dan menyampaikan obituari "Sang Pembebas" untuk Almarhum Affan.
"Hari ini kita tidak hanya kehilangan satu nyawa bernama Affan, tapi kita juga kehilangan sesuatu yang lebih besar yaitu demokrasi Indonesia. Bedanya, Affan gugur karena dilindas oleh polisi. Tapi demokrasi mati karena para elit pura-pura tuli," kata Fatia.
Ia juga menyampaikan bahwa peristiwa yang menimpa Affan siap dilanjutkan dengan perjuangan menegakkan keadilan untuknya, selagi memastikan bahwa nama Affan, akan lebih mulia dibandingkan para penjual bangsa yang gemar bicara kepentingan rakyat sambil menindas rakyat.
Sementara lain, Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca) dan Kunto Aji, turut mewakili para musisi. Keduanya menyampaikan orasi, menjamin dan menyerukan rekan-rekan musisi untuk memanfaatkan platform masing-masing dalam menyerukan kebenaran.
Dari lini sastrawan, Dea Anugerah, Ayu Utami, dan Eka Kurniawan turut naik mimbar. Dua nama yang disebut belakangan sama-sama membacakan tulisan dari sebuah buku. Ayu mengutip puisi Wiji Thukul: "Kemerdekaan itu nasi, dimakan jadi tai" dari buku yang baru dirilis, sedangkan Eka membacakan cerpen "Corat-Coret di Toilet".
Tak hanya itu, ada pula sejumlah aksi teatrikal, pembacaan puisi yang lebih bergelora, hingga sajian musikalisasi puisi, yang beriringan dengan live mural.
Aksi 'Seni Lawan Tirani' Senin (30/8) lalu memungkas menjelang adzan maghrib. Bersama-sama, seluruh peserta aksi melantangkan sikap, yang berisi:
1. Meminta pemerintah untuk membatalkan semua kebijakan dan instrumen kebijakan yang merugikan rakyat.
2. Menuntut pengusutan tuntas, transparan, dan akuntabel terhadap kematian Affan Kurniawan dan para korban demonstrasi lainnya, serta menghentikan praktik impunitas.
3. Mendesak pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat sebagaimana dijamin konstitusi dan hukum internasional.
4. Meminta pemerintah untuk segera mengatasi suasana mencekam yang di beberapa hari belakang dirasakan warga karena adanya pertikaian di antara para elit politik sendiri. Pemerintah harus bisa memberikan rasa aman terhadap warganya, namun dalam memberikan rasa aman itu sekaligus tetap menjaga hak-hak asasi manusia.
5. Meminta aparat penegak hukum untuk menghentikan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat sipil, khususnya aktivis, jurnalis, dan mahasiswa.
6. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus mengawal ruang demokrasi dan tidak tunduk pada praktik represif yang merusak tatanan kebangsaan.
7. Meminta pemerintah untuk penuhi 17+8 Tuntutan Rakyat, wujudkan transparansi, reformasi, dan empati. Penuhi 17 Tuntutan Rakyat dalam 1 minggu dan 8 Tuntutan Rakyat dalam 1 Tahun.