Lagu-lagu dari band Seringai kerap kali menemani saya ketika kantuk menyerang di siang hari. Namun minggu lalu, saya mencoba mencari lagu dari salah satu band kesukaan saya itu di platform Spotify yang jadi langganan saya.
Hasilnya, nihil. Semua lagu-lagu mereka tak lagi bertengger di platform yang biasa saya gunakan itu. Bukan karena algoritma, melainkan keputusan sadar mereka: menarik karya di platform ini sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang mereka nilai tak lagi berpihak pada nilai kemanusiaan.
Platform ini tak hanya membayar royalti para musisi, nahasnya disinyalir menyuntik dana peperangan global. Para musisi yang gencar menggaungkan isu perdamaian dan kemanusiaan tak tinggal diam, mereka bertanggung jawab secara moral untuk menolak dan tidak terlibat dalam situasi ini.
Bukan hanya Seringai, beberapa musisi internasional seperti Deerhoof, King Gizzard & The Lizard Wizard, serta musisi lokal: Majelis Lidah Berduri, Negatifa, hingga Frau, menarik karya-karya mereka dari platform ini.
Spotify/ Foto: Unsplash |
Musik yang Tak Mau Jadi 'Peluru'
Tak dimungkiri, kiwari Spotify adalah media musik digital populer seperti memberi kemudahan akses mendengarkan musik bahkan untuk mengeksplorasi musik lebih jauh. Misalnya pada fitur shuffle, yang mendadak kita bisa tahu lagu baru atau hits - tak perlu lagi jauh-jauh ke toko kaset atau lingkungan musik.
Namun di balik kemudahan itu, Spotify menyimpan paradoks. Platform yang memudahkan pendengar justru mempersulit penciptanya. Ya, ini dirasakan kalangan musisi independen yang mendapatkan lebih sedikit royalti. Adapun masalah terbaru yang menggegerkan, CEO-nya bernama Daniel Ek, punya andil besar terhadap industri militer dan AI yaitu menumbuhkan atau melanggengkan suatu konflik.
Melihat hal tersebut kawanan musisi pun reaktif. Pada 30 Juni lalu, indie-rock Amerika, Deerhoof penggagas dari aksi angkat kaki di platform ini. Hal ini sebagai bentuk protes keras terhadap sistem kapitalis yang semakin memunculkan taringnya. Di saat kawanan musisi tengah berjuang untuk menghentikan peperangan global termasuk di tanah Palestina, justru Spotify perusahaan global media musik mensponsori peperangan terus berlanjut alih-alih mewadahi karya musisi.
"Seringai dan seluruh karya yang diciptakan oleh mereka (Seringai) menolak terafiliasi dengan kegiatan tersebut maupun menolak mendukung peperangan," imbuh Manajer Seringai, Wendi Putranto dikutip detik.com.
Apa yang dilakukan oleh kalangan musisi saat ini bukan hanya sekadar idealisme seorang seniman, namun lebih jauh. Mereka membawa pesan perdamaian, kemanusiaan hingga perlawanan kepada logika pasar yang kian menumbuhkan ketimpangan, dalam konteks ini peperangan global yang tengah terjadi. Sebab musik yang hilang dari Spotify bukan berarti tak ada lagi ia sedang berpindah bentuk, menjadi pesan kemanusiaan.
Musik dan Aktivisme di Era Digital
Aktivisme musik dulu sering hadir lewat panggung dan lirik. Dari lagu-lagu protes Bob Dylan, Rage Against the Machine, hingga Iwan Fals, suara seniman menjadi gema bagi perubahan sosial. Namun di tengah dunia yang serba digital, aktivisme tak lagi selalu bersuara keras di atas panggung, kadang justru hadir lewat keputusan sunyi: menarik karya, mematikan akun, atau memutus hubungan dengan platform yang dianggap tak sejalan dengan nilai kemanusiaan.
Di tengah gegap gempita digital, tindakan itu menunjukkan bahwa perlawanan tidak selalu harus terdengar. Bahkan diam pun bisa menjadi bentuk komunikasi yang paling jujur. Tantangan yang didapat oleh musik pun tak lagi pada algoritma melainkan pada perusahaan alih-alih menaungi karya musisi justru melenceng yakni terlibat dalam tindakan melanggar kemanusiaan. Seolah ini menjadi pertarungan makna.
Menurut sosiolog Jamaika, Stuart Hall, budaya musik dan digital selayaknya medan perjuangan: kelompok dominan atau yang berkuasa (kapitalis) berusaha memaksa makna ke mereka yang di luarnya, sedangkan kelompok lainnya akan berjuang melawannya dengan cara mereka sendiri.
Fenomena 'Delete from Spotify' para musisi adalah contoh paling nyata dari perjuangan melawan kelompok dominan ini, dari aktivisme yang biasa di jalanan menuju perlawanan digital. Jika dulu lirik menjadi medium kritik, kini tindakan digital menjadi simbol moral.
Di dalamnya, para musisi mengartikulasikan kesadaran baru bahwa keberpihakan tidak hanya terletak pada kata, tapi juga pada pilihan platform tempat karya mereka hidup. Dalam ruang yang dikendalikan algoritma, mereka menegaskan kembali satu hal sederhana: seni seharusnya, tetap memihak pada manusia.
Lantas, mampukah kita berdiri di atas pendapat yang sama yakni mengikuti jejak para seniman tersebut demi pesan kemanusiaan yang lebih luas?
Penulis: Iqra Ramadhan Karim
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Spotify/ Foto: Unsplash