Interest | Art & Culture

Review "Predator: Badlands": Film Predator yang Sentimental

Jumat, 14 Nov 2025 17:30 WIB
Review
Film Predator: Badlands. Foto: 20th Century Studios/20th Century Studios
Jakarta -

Siapa yang tidak mengenal Predator? Film waralaba sudah tersohor sejak tahun 1987. Aktor kawakan Arnold Schwarzenegger telah dikenal sebagai pemeran utamanya, bermain sebagai Jenderal Alan "dutch" Schaefer; pemimpin regu militer divisi penyelamatan. Kala itu, Predator berlatar tempat di hutan Amerika Latin.

Tahun demi tahun berlalu, tidak terasa film waralaba ini sudah beranak-pinak. Total kini sudah mencapai delapan film dan Predator: Badlands adalah cabang terbaru dari Predator. Film ini sendiri disutradarai oleh Dan trachtenberg, yang sebelumnya menjadi sutradara pada film Prey dan Predator: Killer of Killers.

Tidak hanya itu, Trachtenberg juga menjadi produser dalam film ini bersama John Davis, Marc Toberoff, Ben Rosenblatt, dan Brent O'Connor. Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana keseruan film waralaba yang telah memiliki jutaan penggemar di seluruh dunia ini? Simak reviewnya di bawah ini.

*Mengandung Spoiler*

.Cuplikan film Predator: Badlands/ Foto: 20th Century Studios/20th Century Studios

Review Film "Predator: Badlands"

Bagian awal dibuka dengan Dek, yang diperankan oleh Dimitrius Schuster Koloamatangi, sebagai pemeran utama. Dengan scoring yang mewah dan bernuansa mengerikan, penonton dibawa ke dalam dimensi penasaran; siapa tokoh ini? Kenapa? Dan mau apa? Bagian awal ini saya pikir sukses menarik penonton untuk fokus dan bertanya-tanya.

Yap, Trachtenberg cukup cerdas dalam hal ini, karena menurut saya pribadi film yang bagus bermula dari opening yang mengikat isi pikiran penonton. Berbicara tentang alur cerita, film yang berdurasi hampir dua jam ini menyajikan alur cerita yang menarik.

Penonton dibawa ke beberapa dimensi emosi, mulai dari tegang, santai, dan lucu. Semua berjalan tidak intensif, melainkan sesuai dengan porsinya masing-masing. Begitu juga perjalanan Dek memburu Kalisk; monster yang tidak terkalahkan di planet Genna.

Bagi saya ini menjadi salah satu kelebihan dari film garapan sutradara asal Amerika Serikat itu. Penonton dapat paket lengkap; adegan yang tegang, santai, dan mengocok perut. Ketika menonton film ini tidak terasa saya sudah menghabiskan waktu hampir dua jam.

Dalam keterangan tertulisnya (5/11) Trachtenberg mengatakan film ini lebih banyak mengangkat sisi emosional dan berfokus pada sudut pandang Dek selaku Predator dari klan Yautja. Dan itu benar. Predator: Badlands menggali sisi emosional Predator dan makhluk hidup secara luas.

Banyak pelajaran yang bisa diambil dalam film fiksi ilmiah ini, seperti arti persahabatan, pengorbanan, dan kehilangan. Adegan itu bisa dilihat dari Kwei yang rela berkorban demi Dek, Bud yang kehilangan sang Ayah, dan Thia yang kehilangan sahabat setianya.

Film ini mengajarkan penonton untuk saling terkoneksi antar sesama makhluk hidup. Secara tidak langsung film ini mengajarkan penonton untuk tidak memandang ras, fisik, agama, dan apa pun itu dalam berteman. Hal tersebut dibuktikan oleh Dek, Thia (Elle Fanning), dan Bud yang bersahabat meskipun lahir dari dunia yang berbeda.

.Emosi sang predator yang menjadi sorotan utama dalam film ini./ Foto: Disney

Cocok dinikmati untuk anak-anak usia remaja. Tapi perlu diingat, meskipun film ini direkomendasikan untuk remaja berusia 13 tahun ke atas, namun tidak sedikit adegan-adegan sadis yang membuat mata terpejam.

Berbicara dari segi visual menurut saya bukan menjadi barang penting untuk dipertanyakan. Sebagaimana yang sudah orang banyak tahu, secara visual dan sinematik film keluaran Hollywood sudah tidak perlu diragukan lagi. Semua terlihat natural. Begitu pun juga efek make up dan skoring.

Menurut saya penting dan perlu diberi apresiasi adalah akting Dimitrias Schuster Koloamatangi (Dek) dan Elle Fanning (Thia dan Tessa). Semua terlihat begitu matang dan terkoneksi. Kombinasi Dek dan Thia dalam menjalankan perannya terlihat begitu natural. Dimitrias sebagai aktor yang notabenenya baru dan muda tidak canggung berperan dengan aktris kawakan seperti Elle.

Postur badannya yang tinggi dan besar menjadikannya cocok berperan sebagai Predator. Karakter animasi yang ada dalam film ini juga sesuai, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Semua itu menggambarkan karakter di kehidupan planet kematian, Genna, yang serba mematikan.

Terakhir dari analisa saya soal film ini, nampaknya akan ada sequel dan prequel dalam film ini. Sebab ada beberapa adegan yang menggantung dan secara khusus sepertinya memang disediakan untuk itu. Seperti di akhir cerita ketika Dek, Thia, dan Bud menjadi sebuah klan dengan identitas baru bertemu dengan ibu Dek yang belum diperlihatkan. Menarik ditunggu apakah Trachtenberg akan mengolah itu semua atau tidak.


Penulis: Fauzi Ibrahim

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS