Interest | Art & Culture

Review "Pangku": Menilik Fenomena Kerasnya Menjadi Ibu Tunggal

Rabu, 12 Nov 2025 18:03 WIB
Review
Film 'Pangku' jadi debutan Reza Rahardian sebagai sutradara. Foto: IMDb
Jakarta -

Tahun ini Reza Rahadian hadir dalam bentuk baru dalam dunia film. Ia bukan lagi sebagai aktor, melainkan sutradara. Kali ini ia menggarap film yang berjudul Pangku   yang dibuat oleh rumah produksi Gambar Gerak. Film yang mengangkat isu sosial fenomena ibu tunggal di sebuah kondisi yang tak ideal ini, menjadi film perdana yang digarap oleh 'tangan dingin' aktor yang kerap membintangi film Indonesia tersebut.

Film ini sendiri memiliki makna pribadi bagi seorang Reza. Dia sendiri merupakan pria yang dibesarkan oleh sosok ibu tunggal. Tak heran, jika film ini persembahkan khusus kepada sang ibu. Pangku, secara benang merah, mengangkat isu sosial perihal kehidupan yang dijalani oleh ibu tunggal. Nama Pangku sendiri ia ambil dari fenomena "kopi pangku" yang ia lihat ketika sedang berada di daerah pantura beberapa tahun silam.

*Mengandung Spoiler*

.Hadi (Fedi Nuril) dan Bayu (Shakeel Fauzi)/ Foto: IMDb

Review "Pangku"

Skena pembuka dimulai dengan adegan Sartika (Claresta Taufan) di samping sopir truk yang sedang mengemudi kendaraannya. Dengan kondisi yang hamil, pandangannya terlihat lesu untuk mencari cahaya dan sepertinya berpikir "ke mana gue harus pergi, buat cari kerja?". Skena pembuka itu hadir dengan minim dialog, sementara ekspresi yang banyak berbicara.

Hal tersebut memang seperti yang Reza inginkan, yang mana ekspresi juga dapat berbicara banyak dibanding dialog. Dari skena pembuka, saya pikir adegan tersebut cukup menarik perhatian penonton untuk mengikuti ke mana selanjutnya Sartika akan berlabuh. Belum lagi dengan dialog yang minim, untuk saat ini, hal itu menandakan karakteristik unik dari film besutannya.

Lalu, yang menjadi pertanyaan apakah itu akan menjadi karakter dalam produksi film miliknya di kemudian hari? Patut dinanti. Selain itu, pengambilan gambar di yang dilakukan di tengah malam sukses menggambarkan kondisi Pantura yang sunyi, namun mencekam. Menambah kekhusyukan nuansa adegan yang minim dialog.

Berbicara alur cerita, Pangku bermain dalam alur cerita yang cenderung statis dan sedikit dinamis. Penonton tidak dibawa kepada sebuah kondisi yang menegangkan. Alur cerita yang dimainkan cenderung landai. Ini mungkin karena tidak ada pemeran antagonis dan protagonis di sini.

Semua berjalan mengalir apa adanya, seperti sebuah cerita yang dipaparkan. Buat kamu pecinta film dengan spektrum dinamis yang intens, Pangku mungkin bukan menjadi pilihan. Tapi film ini cocok untuk kamu yang ingin bersantai sekaligus ingin menilik dan mengetahui isu sosial yang diangkat dalam film tersebut.

Untuk menghindari rasa bosan penonton dan menambah warna cerita, Reza cukup cerdik dengan menghadirkan kisah percintaan pada Sartika dan Hadi (Fedi Nuril). Percintaan ini secara umum menggambarkan realitas yang terjadi dalam kehidupan manusia, yang mana manusia sebagai makhluk yang berpasangan   bagaimana pun keadaannya   membutuhkan kasih sayang dari lawan jenisnya.

Selain itu, untuk menyeimbangkan nuansa cerita yang landai, Reza menghadirkan sosok Yuna (Nazyra C. Noer) sebagai sosok yang mengocok perut penonton. Namun sayang, kemunculannya tidak banyak. Jika porsi adegannya ditambah, menurut saya itu lebih baik.

Adapun isu sosial yang diangkat dalam film ini cukup menarik. Rasanya tidak banyak film Indonesia yang mengangkat isu sosial perihal perempuan, khususnya ibu tunggal. Selama menikmati film Pangku, rasanya Reza ingin menggarisbawahi bahwa menjadi ibu tunggal, yang membesarkan seorang anak dan keluarga, itu sulit, penuh jerih payah, dan pengorbanan.

.Christine Hakim (Maya) dan Claresta Taufan (Sartika)/ Foto: IMDb

Semua itu bisa dilihat dari perjuangan Sartika membesarkan Bayu (Shakeel Fauzi). Misalnya, seperti memenuhi kebutuhan gizi dan pendidikan Bayu. Lalu perihal pengambilan latar tempat cukup menggambarkan keadaan sosial dalam film tersebut. Rumah-rumah yang berhimpitan, suasana pasar ikan, kedai kopi pangku, dan gang kecil sukses menghiasi alur cerita yang diangkat.

Para pemeran, aktor dan aktris   baik itu pemeran utama atau pun tidak   bermain dengan rapi. Sesuai dengan porsinya masing-masing. Aktris kawakan Christine Hakim (Maya) dan Claresta Taufan cukup menonjol dalam film ini. Akting mereka berdua sungguh natural. Begitu juga dengan pemeran lainnya, seperti Nazyra C. Noer dan Kaan Lativan.

Sayangnya, menurut saya penutup film ini agak menggantung. Saya sendiri masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, sebab penonton tiba-tiba akan dibawa ke beberapa tahun ke depan, tanpa cerita pendukung. Rasanya ada halaman kosong yang muncul.

Tapi mungkin ini menjadi cara Reza, sebagai sutradara baru, menginterpretasikan sesuatu yang baru ke dalam perfilman Indonesia. Menawarkan gayanya sendiri dan membiarkan segala sudut pandang dinilai oleh pemahaman dan pengalaman pribadi penonton membuat ending yang diinginkan.


Penulis: Fauzi Ibrahim
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS