Bagi saya, Bandung memiliki kenangan tersendiri di masa lalu, di mana setiap lebaran saya bersama keluarga pasti selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke sana. Namun ritual yang dulu rutin dilakukan setiap tahun iti sudah pudar dimakan waktu, dikarenakan yang dituakan telah tiada (baca: nenek). Pergi ke Bandung bukan lagi soal lebaran, tapi soal siapa yang menikah.
Terakhir kali saya menjajaki Kota Kembang mungkin sekitar 2-3 tahun lalu; menghadiri pesta pernikahan sepupu. Namun tahun ini saya berkesempatan untuk pergi lagi ke Bandung, menyusuri kota yang kian berbeda dan berkembang. Tamasya kali ini bukan dalam rangka mengunjungi pesta pernikahan saudara sepupu, tapi dalam undangan meliput Plataran Bandung; premium venue dan dining yang berlokasi di pusat Kota Bandung.
Dalam undangan tersebut Plataran Bandung memberikan kesempatan kepada awak media untuk menjelajah Bandung dengan Bandung Tour on Bus (Bandros). Bandros diresmikan oleh Ridwan Kamil pada 2014 ketika ia menjabat sebagai Wali Kota Bandung.
Nama Bandros pun dipilih dari hasil sayembara di media sosial Twitter (sekarang X). Ajakan tersebut disambut oleh masyarakat Bandung, walhasil nama Bandros digunakan. Ferry Pamungkas adalah orang di balik nama tersebut.
Selain kepanjangan dari Bandung Tour on Bus, Bandros juga nama makanan khas Jawa Barat; kudapan yang mempunyai rasa gurih dan sekilas memiliki visual yang mirip seperti kue pancong dan kue pukis. Seiring perkembangan zaman bandros tidak hanya memiliki rasa gurih, tapi juga manis.
Sejarah di Setiap Bangunan
Dengan bus berwarna ungu, Rabu (1/10) siang, perjalanan saya dimulai dari Gedung Sate. Dani Daniel Bawole, selaku tour guide, memandu saya dan rekan-rekan media untuk mengenal lebih jauh bangunan yang dibangun pada 1920 itu. Dengan detail ia menjelaskan mulai dari bangunan, tahun berdiri, hingga biaya yang dikeluarkan.
Jumlah enam tusuk yang berada di bangunan gedung sate pun tak luput dari penjabaran. Enam jumlah tersebut memiliki arti 6 juta gulden; biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan bangunan yang rampung pada 1924.
Setelah itu, setiap meter berselang, Dani menjelaskan sejarah bangunan-bangunan lainnya. Jika dihitung jumlahnya bisa puluhan. Pembawaannya yang humoris, ia menuturkan tiap aspek sejarah dengan gelak tawa.
Jika saya hitung tak jarang ia mengeluarkan punchline di tiap penjelasannya. Hal yang membuat belajar sejarah tak lagi membosankan. Seperti penjelasannya perihal Taman Maluku, ia menceritakan di awal tahun 2000-an taman tersebut dikenal dengan sebutan dewa-dewi, kenapa? Karena ketika itu Taman Maluku menjadi tempat berkumpulnya para transgender. Siang bernama dewa, malem bernama dewi.
Dani Daniel Bawole/ Foto: Fauzi Ibrahim - CXO Media |
Setelah melalui puluhan tempat bersejarah, saya tiba di Braga. Tempat necis yang menjadi buruan kaum urban Jakarta ketika berlibur ke Bandung. Di tempat ini saya dijelaskan bahwa nama Braga merupakan akronim dari ngumbar raga, karena tempat ini dulunya merupakan lokasi cat-walk perempuan-perempuan Belanda sehabis berbelanja. Braga juga menjadi salah satu aspek dari penamaan Paris Van Java, dikarenakan tempat ini menjajakan barang-barang, seperti pakaian, yang diimpor langsung dari Prancis.
Selanjutnya saya dibawa ke Jalan ABC. Nama ini adalah akronim dari Arab, Bumiputera, dan Cina. Ini menjadi pengetahuan baru bagi saya mengenai Bandung. Sebab sejauh ini saya hanya mengetahui Bandung sebagai tempat istimewa dalam segi musik, kampus, dan wisata alam.
Namun nyatanya di balik itu ada toleransi yang dijaga dan sudah ada sejak zaman dahulu. Kondisi tersebut ditandai dengan dibangunnya Masjid Al-Imtizaj, yang berarti pembauran. Masjid ini berarsitektur Tionghoa, baik dari bangunan dan warna.
Titik Nol Kilometer Kota Bandung/ Foto: Fauzi Ibrahim - CXO Media |
Perlu diingat, bahwa di sini Dani tidak hanya menjabarkan bangunan-bangunan bersejarah yang mungkin hanya tercatat di buku pelajaran sejarah di sekolah, tapi juga di luar dari itu. Seperti spot nongkrong dan kuliner. Misalnya ketika melewati pusat perbelanjaan Bandung Indah Plaza (BIP), Dani menjelaskan bahwa persis di belakang gedung tersebut merupakan tempat berkumpulnya anak-anak metal.
Nantinya, karya mereka akan ditampilkan di Gor Saparua, yang menjadi tempat salah satu acara ternama yaitu Bandung Berisik. Band-band seperti Burgerkill, Jamrud, dan Pas Band merupakan jebolannya. Selama perjalanan saya menaiki Bandros, Dani tidak melulu membahas sejarah tiap bangunan. Ia juga memberikan relevansi sezaman dengan memberi tahu setiap spot-spot yang tengah viral atau layak untuk dikunjungi, semisal dalam hal kuliner dan thrifting.
Saya pikir hal ini menjadi pelengkap atau penyeimbang dari panduan masa lalu menuju masa sekarang. Sisaan puzzle yang menggambarkan secara lengkap bagaimana wajah Bandung di era sekarang. Setelah kurang-lebih satu jam perjalanan, pemberhentian terakhir pun akhirnya tiba; di tempat awal di mana saya berangkat, Gedung Sate.
Sejam sudah saya menghabiskan waktu menjelajah dan mengenal Bandung secara lebih dekat. Meski perjalanan saya ini disponsori oleh Plataran Bandung, namun bagi saya cukup worth-it merogoh kocek pribadi untuk menelusuri Kota Bandung menggunakan Bandros.
Buat kamu yang kepo bagaimana cara pesan tiketnya, cek langsung akun resmi Instagram mereka, @bus.bandros, untuk detail yang lebih lengkap. Di sana tertera website yang menunjukkan panduan untuk pengunjung atau wisatawan yang ingin mencoba sensasi menjelajah Kota Kembang yang penuh sejarah-mulai dari pemilihan rute dan jam operasional. Dengan tarif mulai Rp20 ribu rupiah, kamu bisa mengelilingi Bandung dengan waktu kurang-lebih sekitar 45 menit, lho!
Penulis/Reporter: Fauzi Ibrahim
Editor: Dian Rosalina
Dani Daniel Bawole/ Foto: Fauzi Ibrahim - CXO Media
Titik Nol Kilometer Kota Bandung/ Foto: Fauzi Ibrahim - CXO Media