Deru mesin kopi berpadu dengan aroma espresso baru saja keluar dari mesin grinder. Namun di salah satu waralaba kedai kopi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, tak terdengar lagi dentingan musik yang biasanya mengisi ruang kafe tersebut.
Melansir dari berbagai sumber menjelaskan bahwa, pemandangan serupa juga terjadi di beberapa daerah seperti, Semarang, Jawa Tengah, sebuah kafe minimalis dekat Simpang Lima yang biasanya memutar lagu-lagu indie kini sepi lantunan nada. Lagu Is It The Answer milik Reality Club yang dulu menjadi soundtrack ruangan, kini hanya menjadi kenangan bagi pelanggan setia nya.
Di Medan, Sumatera Utara, pemilik kafe yang kerap memutar berbagai genre musik lewat layanan digital, mengaku khawatir para pengunjung yang dominan anak muda enggan datang jika kafe nya tak lagi memutar musik.
Kondisi ini terjadi sejak aturan pembayaran royalti lagu dan musik di ruang publik mencuat ke publik akibat salah satu restoran makanan harus membayar denda royalti musik. Beberapa pemilik usaha memilih berhenti memutar musik karena takut terkena sanksi hukum. Namun bagi sebagian pelaku usaha, musik bukan sekedar hiburan, melainkan bagian dari strategi bisnis. Tanpa musik, suasana kafe akan terasa sunyi. Tak seasyik dulu.
Ilustrasi kafe yang sepi./ Foto: Unsplash |
Apa Itu Royalti Musik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), royalti adalah uang jasa yang dibayarkan kepada pihak yang memiliki hak paten atau hak cipta atas suatu karya. Sedangkan menurut Aturan Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/Atau Musik merupakan imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu pencipta atau pemilik hak terkait.
Salah satunya musik, yang terdapat dalam aturan, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menegaskan bahwa lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk ciptaan yang dilindungi. Setiap penggunaan untuk kepentingan komersial wajib membayar imbalan kepada penciptanya.
Aturan teknisnya diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Pasal 3 menyebut, setiap orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersial dalam layanan publik wajib membayar kepada pencipta lagu, pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Bentuk layanan publik yang bersifat komersial di antaranya ada:
- Seminar dan konferensi komersial;
- Restoran kafe, pub, bar, bistro, kelab malam dan diskotek;
- Konser musik;
- Pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut;
- Pameran dan bazar;
- Bioskop;
- Nada tunggu telepon;
- Bank dan kantor;
- Pertokoan;
- Pusat rekreasi;
- Lembaga penyiaran televisi;
- Lembaga penyiaran radio;
- Hotel, kamar hotel, dan fasilitas; dan
- Usaha karakoke.
Pelanggaran aturan ini dapat dikenai sanksi administratif hingga gugatan perdata. Namun, UU Hak Cipta mengatur bahwa setiap sengketa harus diupayakan penyelesaiannya melalui mediasi terlebih dahulu.
Musik dapat memegang peran penting dalam pengalaman nongkrong di kafe. Lagu akustik pelan bisa membuat pengunjung tenang, sementara upbeat jazz bisa memberi energi semangat. Musik menjadi semacam "benang halus" yang merangkai interaksi, mempengaruhi mood bahkan bisa membuat pengunjung lebih lama untuk berada di kafe tersebut.
Fenomena Work From Cafe sempat populer di media sosial, saat tren kerja remote dan hybrid. Menjadikan musik sebagai salah satu alasan orang memilih kafe tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan bahkan meningkatkan produktivitas. Maka tak heran, jika banyak pemilik kafe menganggap musik sebagai salah satu bagian investasi untuk menarik dan mempertahankan pelanggan.
Ilustrasi kafe./ Foto: Unsplash |
Aturan Tarif Royalti Musik
Sistem yang digunakan terkait tarif ini adalah sistem blanket. Sistem ini memasang tarif tetap yang dikenakan pada tempat usaha untuk memutar seluruh katalog musik yang dilindungi tanpa batas lagi atau frekuensi pemutaran. Tarif berlaku selama satu tahun dan bisa diperbaharui. Jadi, pembayaran tarifnya bukan per lagu atau berapa banyak lagu diputar.
Tarif yang ditetapkan oleh LMKN/ Foto: LMKNĀ Indonesia |
Dilansir dari detik.com, Ketua Umum Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, mengatakan bahwa pembayaran royalti musik ini, tidak hanya berlaku pada lagu Indonesia saja, melainkan lagu luar negeri pula akan tetap dikenakan royalti musik.
"Memakai lagu luar negeri pun harus royalti, kita akan collab dengan LMKN yang ada di masing-masing negara gitu, jadi himbauannya itu adalah pakai aja musik bayar royalti," ujarnya.
Sebenarnya, tidak hanya negara Indonesia saja yang mengatur adanya pembayaran royalti musik, di beberapa negara seperti Amerika dan Inggris pun mengatur royalti musik untuk di ruang publik. ASCAP di Amerika Serikat dan PRS for Music di Inggris berperan sebagai perantara antara pengguna musik (radio, konser, kafe) dan pemegang hak cipta (penulis lagu, penerbit artis rekaman).
Beberapa negara punya satu lembaga besar yang mengatur semua jenis royalti, serta memiliki beberapa lembaga khusus untuk jenis hak tertentu (hak pertunjukan, hak mekanis dan lain sebagainnya). Mekanisme ini umumnya diiringi dengan transparansi data, Banyak lembaga di luar negeri menyediakan laporan pubik, data ini membangun kepercayaan antara pengguna musik dan pencipta lagu dan hal ini yang masih menjadi PR besar untuk dikerjakan di negara Indonesia.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Meski aturan sudah jelas terdapat di dalam Undang-undang, kenyataannya penerapan di lapangan masih menghadapi beberapa tantangan seperti:
- Minimnya Sosialisasi
Banyak pelaku usaha, terutama kafe kecil, belum memahami aturan ini, padahal PP 56/2021, memberi opsi keringan tarif berdasarkan luas ruang, kapasitas pengunjung dan tingkat pemanfaatan musik. - Transparansi Distribusi
Kurangnya transparansi, tentang bagaimana uang royalti didistribusikan ke musisi dengan benar dan tepat, sehingga menurunkan kepercayaan pada pelaku usaha untuk membayar royalti musik. - Dampak Kepada Ekonomi
Bagi kafe kecil, biaya royalti bisa terasa berat, tetapi tanpa musik, bisa saja menurunkan omzet usaha mereka.
Akan tetapi ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk memperbaiki ekosistem royalti musik di Indonesia sehingga tidak memberatkan satu pihak saja, seperti :
Pertama, sosialisasi Masif dan Terarah, edukasi kepada pelaku usaha, termasuk cara mendaftar, membayar dan mendapatkan bukti legal. Kedua, skema tarif proporsional, sesuaikan tarif dengan kemampuan usaha kecil agar tidak membebani secara berlebihan.
Ketiga, transparansi Distribusi, laporan publik rutin dari LMKN tentang lagu yang paling banyak diputar dan penerima royalti. Keempat, edukasi Masyarakat, mengingatkan bahwa memutar musik di ruang publik adalah bentuk pemanfaatan ekonomi dan bentuk dari menghargai penciptanya.
Isu royalti musik di kafe sebenarnya adalah potret dilema dari berbagai kalangan mulai dari pelaku usaha dan para musisi tentang bagaimana negara menegakkan perlindungan hak cipta tanpa mematikan ekosistem bisnis yang bergantung pada musik.
Di satu sisi, bagi musisi, royalti adalah sumber penghidupan dan bentuk penghargaan atas karya mereka. Bagi pelaku usaha, kepastian hukum dan tarif yang adil adalah kunci agar bisnis mereka tetap berjalan.
Jika kedua kepentingan ini bisa bertemu di tengah, kita akan memiliki ekosistem musik yang baik, musisi bisa mendapatkan haknya, kafe bisa tetap berjalan tanpa harus mematikan musik dan pelanggan bisa menikmati suasana yang berirama tanpa kesunyian.
Penulis: Ayu Puspita Lestari
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Ilustrasi kafe yang sepi./ Foto: Unsplash
Ilustrasi kafe./ Foto: Unsplash
Tarif yang ditetapkan oleh LMKN/ Foto: LMKNĀ Indonesia