Bagi kamu yang senang animasi Ghibli, Grave of the Fireflies hadir dengan cerita yang dibalut dengan getir, kelabu, maupun kata yang menggambarkan tentang kefanaan dalam bertahan hidup pada Perang Dunia II di Jepang. Berlatar di Jepang, film ini menceritakan tentang Seita yang berusia 14 tahun, dan adiknya Setsuko yang baru berusia 4 tahun.
Pada 29 Agustus lalu, Grave of the Fireflies kembali ditayangkan secara terbatas di bioskop CGV, namun bagi kamu yang ketinggalan jadwal menontonnya, film ini hadir di Netflix. Dengan sampul film "Kami ingin hidup" ini membangkitkan kembali emosi penikmat anime ini, bukan tanpa sebab bahwa alur cerita yang dibangun, membuat kita seakan-akan hadir mengalami pengalaman pahit yang dialami oleh kakak beradik itu.
Review Film Grave of the Fireflies
Berawal dari kota Kobe, yang terletak di Jepang. Seita dan Setsuko ditinggal ibunya akibat serangan bom yang terjadi pada perang dunia ke II. Dalam film ini, banyak adegan yang menampilkan kekacauan Jepang pada saat itu, tidak terkecuali kota yang jadi tempat tinggal mereka. Rumah yang diimpikan jadi tempat berteduh tentu lenyap seketika.
Takdir membawa mereka lebih jauh, bukan berhenti apalagi menyerah. Tantangan seorang kakak, yakni Seita yang membawa adiknya keliling untuk mencari penghidupan sungguh sebuah penderitaan yang tiada habis. Rasa lapar yang terus melanda, kekeringan serta hidup tanpa arah, meskipun terdapat adegan mereka hidup bersama Bibi untuk sementara.
Memang hanya sebentar, sebab perlakuan kurang menyenangkan diterima mereka, seperti memanfaatkan tenaga mereka tanpa sebab. Seita selaku kakak tidak tinggal diam, keberadaan Bibi yang diharapkan jadi pelindung pun terasa sirna sia-sia. Selagi adiknya yang terus merengek untuk bisa kembali tinggal di rumah yang lama, Seita terdiam lesu, dan hanya menjawab pasrah bahwa rumahnya telah hangus merata karena perang.
Seita dan Setsuko/ Foto: IMDb |
Fenomena ini terasa membawa kita hanyut dalam suasana, apakah demikian sulitnya untuk mencari penghidupan, di saat satu-satunya orang yang mungkin bisa diharapkan dalam hidup malah mengecewakan begitu saja? Apakah hidup memang sekejam itu, dan sulit adanya bila dimaknai sebagai perjalanan yang penuh rintangan. Sungguh ironi memang, suatu yang sulit dihindarkan, setiap orang memiliki kesulitannya masing-masing.
Berbekal barang dan sedikit peninggalan orang tuanya, sepasang adik kakak ini berusaha untuk melanjutkan hidup, mulai bekerja serabutan sampai akhirnya menemukan sebuah 'rumah' jadi-jadian. Sebuah bunker tua yang terletak di pinggiran kota, yang disulap menjadi tempat tinggal mereka.
Sebuah pemandangan sungai, pohon-pohon yang rindang mewarnai indahnya harapan. Disamping Seita terus berusaha untuk menjaga asa untuk hidup di tengah kacaunya kota Kobe, Jepang saat itu. Fenomena yang menggambarkan bahwa sulitnya menjadi kakak, apalagi ketiadaan sosok orang tua disampingnya. Menjadikan Seita yang baru berusia 14 tahun menghadapi kenyataan pahit itu.
Dalam kehidupan kita, tidak jarang pula kita menemui anak muda yang memiliki pengalaman serupa, tiada angin tiada hujan. Hanya asa bertahan hiduplah yang membawa mereka untuk bisa menjauhkan mereka dari jurang kenyataan. Karakter Seita yang terkenal kuat, pantang menyerah, dan bertanggung jawab ini jadi cermin bahwa untuk melindungi orang terkasih itu butuh effort yang luar biasa.
Penonton dibuat bingung, dengan Seita dan Setsuko yang memilih jalan hidupnya sendiri, bila berpikir realistis, hal yang paling mungkin untuk dilakukan adalah tinggal di rumah Bibi bersama dengan hal-hal dramatis di dalamnya.
Tapi, dalam film ini konflik yang ditunjukkan ialah soal perjuangan hingga titik darah penghabisan, beberapa adegan yang menampilkan kegetiran itu muncul satu persatu, mulai dari Setsuko yang mulai kelaparan, sakit diare yang mulai timbul hingga Seita harus mencuri tebu untuk pengobatan adiknya. Cara yang salah, namun dengan niat yang benar.
Kedua saudara yang berjuang bertahan hidup di Perang Dunia II/ Foto: IMDb |
Dua sosok bocah polos yang tidak menyangka hidup akan sesulit itu, Ayah yang kunjung tiada kabar dalam peran militernya, hingga di akhir ditemukan kenyataan bahwa Ayah mereka mungkin telah tiada, perang dahsyat yang terjadi pada masa itu jadi penyebabnya, tangis tidak terelakkan bagi Seita.
Belum lagi sakit yang dirasakan adiknya terus menerus, kehabisan makanan hingga ia terpaksa harus menjarah isi rumah orang untuk membawa pulang makanan. Kisah yang lagi-lagi menguras air mata, perjuangan kakak untuk adik tercinta, sampai hal yang tidak diinginkan terjadi, Setsuko meninggal dalam keadaan sakit, representasi kunang-kunang yang ditampilkan pada awal film jadi gambarannya, betapa Seita yang merindukan sang adik, Setsuko.
Perjuangan boleh dimaknai berhasil bila ada yang selamat, namun tidak dengan kisahnya. Kisah tragis seorang bocah 14 tahun dan 4 tahun di tengah perang dunia II yang melanda negaranya, Jepang. Berbeda dari film Ghibli kebanyakan yang ceria, menampilkan warna-warni khas, dalam film ini kamu dibawa untuk tenggelam dalam kesedihan yang mendalam.
Dilengkapi dengan pemandangan hijau luas, karakter yang unik, dan petualangan penuh warna. Di sini, mereka memilih jalan yang berbeda. Visualnya tampil dengan sederhana, juga dilengkapi detail: tampilan reruntuhan kota, langit kelabu, dan ekspresi wajah yang bisa membuat dada penontonnya mendadak sesak.
Meskipun secara pengakuan dari Sutradara Isao Takahata, film ini tidak diartikan menampilkan dramatisasi berlebihan, melainkan cerita yang mengalir apa adanya, bak melihat sebuah kenangan yang terjadi secara perlahan. Dalam cerita di film ini juga, diadaptasi dalam novel yang bercerita kisah nyata penulisnya, Akiyuki Nosaka yang juga kehilangan adik perempuan akibat perang.
Nah, karena memiliki layar yang terbatas di bioskop, kamu bisa menyaksikan lagi kisah Seita dan Setsuko di Netflix, siapkan cemilan, dan tisu jika perlu. Rasakan sensasinya, selamat menonton ya!
Penulis: Muhammad Ridho Fachrezi
Editor: Dian Rosalina
Seita dan Setsuko/ Foto: IMDb
Kedua saudara yang berjuang bertahan hidup di Perang Dunia II/ Foto: IMDb