Interest | Art & Culture

Jalin Annual 2025: Mimpi Besar dalam Membangun Ekosistem Ekonomi Kultural

Selasa, 05 Aug 2025 15:15 WIB
Jalin Annual 2025: Mimpi Besar dalam Membangun Ekosistem Ekonomi Kultural
Jalin Annual 2025 di Dia.Lo.Gue, Jakarta Selatan (Sabtu, 2/8/25)/Foto: Ridho Fachrezi
Jakarta -

Berbicara tentang kebudayaan tentu tidak lepas dari ekosistem yang mendukungnya. Dalam upaya membangun ekosistem tersebut, diperlukan pemahaman menyeluruh terhadap pemangku kepentingan, pemanfaatan kebudayaan, serta pengelolaan ekonomi yang berkelanjutan.

Hal inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam Jalin Annual 2025, yang diadakan pertama kalinya oleh Jalindonesia, pada Sabtu, 2 Agustus 2025, di Dia.Lo.Gue. Kemang, Jakarta Selatan. Dipimpin langsung oleh pendirinya, Hilmar Farid, yang juga pernah menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan periode 2015-2020 Kemendikbud RI, Jalin Annual 2025 mengangkat tema "Membangun Ekosistem Ekonomi Kultural" lewat dua sesi panel diskusi.

Membangun Ekosistem Ekonomi Kultural

Melalui Jalin Annual 2025, Hilmar Farid menjelaskan posisi Jalindonesia sebagai platform yang merangkul lima elemen penting dalam ekosistem kebudayaan, yakni: para pakar, pemerintah, pelaku usaha, lembaga pendidikan, serta komunitas, pegiat event dan media. Ia mengharapkan, dengan market yang mencakup lokal, nasional, dan regional, Jalin mampu mengembangkan ekonomi kultural Indonesia ke kancah dunia.

"Bukan membuat produk/pertunjukan tapi menyediakan fasilitas, untuk design. Service Jalin untuk provide cultural economy butuh waktu yang panjang, posisi untuk solusi benang kusut cultural economy, that's why namanya Jalin. Berusaha menjadi platform bersama untuk menjalin lima stakeholders, untuk bisa diamplifikasi dan sustain, bukan hanya hype," ujar Hilmar.

Reza Malik selaku Co-founder sekaligus CEO Jalindonesia lantas mengutarakan, perjalanan Jalindonesia yang dimulai 2023 lalu berangkat dari ide-ide dan pembahasan di Podcast hingga terbentuk Jalindonesia setahun setelahnya.

Jalin juga akan meluncurkan layanan JalinLab sebagai learning platform yang berkolaborasi dengan Menparekraf dengan adanya local communities di Pulau Seribu, selain itu Jalincubator, dengan IP (Intelectual Property) & Business Matchmaking sebagai senjatanya.

Menurut Reza, mengelola kekayaan intelektual, khususnya dalam masyarakat/komunitas adat ini belum ada rumus yang adil. Jalin ambil posisi bukan untuk mengeksploitasi, melainkan jalan pengelolaan yang paling baik dengan masyarakat.

JalinCo-founder dan CEO Jalin, Reza Malik di Jalin Annual 2025 (Jakarta, 2/8)/ Foto: Ridho Fachrezi

Acara perdana Jalin Annual 2025 menghadirkan dua segmen perbincangan luring: JalinTalks dan Menjalin Jakarta. Sesi JalinTalks Special Live 'Reader to Reader' sendiri mempertemukan Hilmar Farid bersama Gita Wiryawan dari Gamechangers dalam tajuk pembahasan "Bincang ASEAN: Ekonomi Kebudayaan & Semangat Regionalisme".

Sementara pada sesi Menjalin Jakarta Special Live, Martin Suryajaya dan Berto Tukan berbincang bersama Sir Dandy dan Utarie Widhy dari Canvas Confluence Collective/spaCCCe, dalam diskusi "Placemaking dan Tumbuhnya Komunitas Kreatif".

ASEAN: Ekonomi Kebudayaan & Semangat Regionalisme

"Kita harus berimajinasi, berambisi & memiliki keberuntungan," adalah jawaban konsisten Gita Wirjawan, dalam menjawab pertanyaan struktural mengenai kondisi negara-negara di Asia Tenggara yang sulit mengelola ekonomi kebudayaannya.

Menurut Gita, hal ini berakar dari kurangnya perhatian yang diberikan terhadap Guru, selaku pendidik, untuk menghasilkan produk-produk 'manusia' yang berkualitas dan bisa bersaing. Gita, yang pernah menjabat Menteri Perdagangan RI (2011-2014) menyebut, kurangnya investasi terkait pendidikan di Asia Tenggara secara mendasar adalah salah satu faktornya. Sebagai contoh, hanya ada 2 kampus di Asia Tenggara, yang secara konsisten masuk ke dalam daftar 100 kampus teratas di dunia, dan keduanya hanya berada di Singapura.

Dalam kadar semangat regionalisme, kata Gita, jika yang diinginkan adalah peningkatan terhadap mutu pendidik, maka upaya untuk memajukan generasi mendatang harus mewujud aksi nyata—bukan narasi belaka. Ia menegaskan, "Jenis pendidikan yang diperlukan saat ini adalah kemampuan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) dan Ilmu Filsafat."

Kepada Hilmar Farid, Gita turut mengusulkan Indonesia untuk mencontoh Malaysia, yang merupakan negara Asia Tenggara dengan konversi implementasi STEM terbanyak. Dengan kontur maritim serta keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia, potensi untuk mengejar jenis pendidikan STEM harusnya bisa mendorong kemampuan berpikir kritis para siswa, dengan cara yang kreatif serta kolaboratif. "Hal seperti ini bisa semakin mungkin untuk terealisasi dengan investasi di dunia pendidikan terlebih dahulu," jelasnya.

Secara lebih menyeluruh, Gita kemudian menyoroti komunikasi antar negara di ASEAN dalam mengembangkan sistem pendidikan serta ekonomi budaya. Menurutnya, alih-alih berkolaborasi, sesama negara ASEAN justru cenderung berkompetisi, sementara hal itu merupakan hal yang bisa menghambat perkembangan lebih jauh. Oleh sebab itu, negara-negara di ASEAN, termasuk Indonesia harus bisa fokus membenahi sektor pendidikan agar mimpi besar Indonesia emas 2045 bukan hanya angan-angan semata.

JalinSesi diskusi Gita Wirjawan dan Hilmar Farid di Jalin Annual 2025 (Jakarta, 2/8)/Foto: Ridho Fachrezi

Placemaking dan Tumbuhnya Komunitas Kreatif

Sesi lainnya di Jalin Annual 2025 mengangkat pendekatan kolaboratif dalam penyediaan ruang kreatif bagi komunitas seni. Inisiatif ini dijialankan oleh spaCCCe dan CCC melalui proyek-proyek alternatif; memungkinkan siapa saja, terutama pelaku seni untuk membuat karya dan memamerkannya, seperti eksibisi seni di Ruko-bukan hanya di galeri konvensional yang terkenal mainstream.

"Lewat CCC, kami ingin men-trigger pelaku seni budaya agar bisa terfasilitasi. Kami sedang mencoba menyediakan ruang," ujar Sir Dandy, Managing Director CCC.

Ia menambahkan, inisiatif dari akar rumput ini ingin menampung geliat seni yang kerap tak tertampung oleh institusi formal. Jakarta sendiri memiliki banyak potensi bagi seniman untuk menjadi besar, seiring terus bermunculannya kolektif seni baru.

Senada dengan hal tersebut, Utarie Widhy, selaku Project Director CCC mengungkap bahwa untuk menilai dan menguratori kolektif yang bisa ditampilkan, CCC bukan hanya mengedepankan aspek komersial, tetapi juga sosial dan value dari project-nya. "Pergerakan ini akan terus dilakukan. Kami memulai dari sistem internal, seperti pengarsipan, untuk memastikan keberlanjutan yang organik dan fluid-bukan sekadar menyisakan legacy," kata Utarie.

Dengan gerakan ini, kekhawatiran pelaku seni terhadap ide atau karya yang terhambat oleh tempat, diharapkan mampu bersaing untuk terus memberikan dampak. Dengan begitu, bukan tidak mungkin akan muncul nama-nama baru, dengan bakat yang luar biasa dapat mewarnai koleksi seni secara bebas dan ekspresif.

JalinSesi Menjalin Jakarta Special Live di Jalin Annual 2025 (2/8)/ Foto: Ridho Fachrezi

Usai dua diskusi hangat mengenai lingkup ekonomi kultural yang berkelanjutan, Jalindonesia, melalui acara Jalin Annual 2025 berharap dapat menghadirkan solusi yang konkret. Terutama, dalam mengelola segala kekayaan alam dan budaya yang ada dengan baik dan benar. Jalindonesia mengajak kita untuk melihat bahwa perubahan yang besar tidak terjadi sendirian; ia juga butuh langkah awal yang kolaboratif dan terhubung lintas sektor.

"Jalin Annual 2025 merupakan langkah pertama yang memperlihatkan visi kami. Namun, tentu tujuan kami tidak akan berhenti di sini. Ke depannya, Jalindonesia akan terus mengupayakan perkembangan kebudayaan dalam cara yang lebih terukur dan viable," ungkap Reza Malik.

(ktr/RIA)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS