Interest | Art & Culture

Review Monkey Man: Balas Dendam Mereka yang Termarjinalkan

Jumat, 31 May 2024 18:30 WIB
Review Monkey Man: Balas Dendam Mereka yang Termarjinalkan
Review Monkey Man/Foto: Istimewa
Jakarta -

Monkey Man dibuka oleh adegan hangat di mana seorang ibu menceritakan kisah dewa Hindu Hanoman kepada anaknya, yang langsung disusul dengan timeskip menuju pertarungan penuh darah antara seorang pria bertopeng monyet hitam dan pria bertopeng ular di suatu klub tinju bawah tanah.

Tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa pria bertopeng monyet hitam adalah anak kecil di adegan awal, dan sisa dari kisahnya di layar akan menarik paralel dengan Hanoman. Berbagai serangan yang diterima sang tokoh utama (Dev Patel) di sini pun seakan menjadi pembuka untuk hantaman-hantaman yang kemudian akan menghujaninya—dan juga kita sebagai penonton.

Review Monkey Man

Selama lebih dari dua jam, film debut Dev Patel sebagai sutradara ini bergerak dengan alur yang kecepatannya tidak banyak menurun. Kehidupan keras sebagai petarung bawah tanah di mana ia akan mendapat bayaran lebih ketika kalah dijalani sang tokoh utama dengan tujuan yang ia simpan sendiri.

Tidak butuh waktu lama bagi kita untuk melihat rencananya mulai bergerak—mencari informasi soal pemilik suatu klub malam eksklusif, merencanakan pencurian dompetnya, mengembalikan dompet tersebut untuk mendapat imbalan pekerjaan, kemudian membeli pistol di pasar gelap. Seperti film aksi pada umumnya, jelas bahwa misi pribadi yang diemban akan mendikte alur film. Apa sebenarnya misi ini dan mengapa tokoh utama kita menjalaninya dibedah secara maju-mundur dalam ratusan menit setelahnya.

Dipasangkan dengan sinematografi yang stylish, aspek-aspek naratif di atas pun sebenarnya sudah cukup untuk membentuk film aksi yang mumpuni. Namun, Dev Patel memiliki ambisi lebih besar untuk Monkey Man. Dalam salah satu flashback ke masa kecil sang tokoh utama, terungkap bahwa desa tempat tinggalnya saat kecil digusur secara paksa oleh sepasukan polisi atas arahan seorang guru spiritual berpengaruh, Baba Shakti (Makarand Deshpande).

Dalam insiden ini, ia menyaksikan ibunya (Adithi Kalkunte) dibunuh secara brutal oleh kepala polisi Rana Singh (Sikandar Kher), menyulut dendam yang terus dibawanya hingga dewasa. Posisi yang diambilnya di klub malam semata-mata adalah untuk mendekati kaum elit yang merenggut kehidupannya dahulu.

Walau berlatar di kota fiktif bernama Yatana, terdapat paralel yang jelas antara kondisi politik pada Monkey Man dengan India dalam kehidupan nyata beberapa tahun ke belakang. Walau bukan politisi, Baba Shakti yang diceritakan terafiliasi dengan partai politik Sovereign Party bisa dibilang memiliki kemiripan dengan Perdana Menteri India, Narendra Modi, dan politisi serta pemuka agama Yogi Adityanath. Modi dan Adityanath merupakan bagian dari Bharatiya Janata Party, partai politik yang kerap dikritik karena kebijakan-kebijakan mereka yang dinilai meminggirkan minoritas di India.

Dalam wawancara bersama BBC, Dev Patel menyatakan bahwa ia memang berniat untuk mengangkat topik-topik yang "mengisi koran-koran di India" dan membawanya pada audiens yang tidak biasanya terekspos pada topik tersebut. Walau bukan merupakan kritik eksplisit, paralel ini memberikan Monkey Man urgensi yang dekat dengan sang sutradara dan aktor utama—sekaligus mempersulit penayangan film ini di India sendiri. Narasi populisme sayap kanan Sovereign Party dalam Monkey Man berkali-kali disandingkan dengan footage nyata aksi protes terhadap sentimen anti-Muslim di India.

Beda halnya dengan motivasi sang tokoh utama yang lebih bersifat personal daripada politis. Kegagalan rencananya membalas dendam kali pertama hampir mengambil nyawanya. Ia kemudian diselamatkan oleh komunitas hijra—kaum transgender, intersex, atau kasim di Asia Selatan.

Masa pemulihan diri di kuil yang terpencil dari kota inilah yang membuka matanya bahwa opresi Sovereign Party tidak hanya memengaruhi dirinya, tapi juga komunitas-komunitas termarjinalkan lain. Menyaksikan bagaimana mereka yang terpinggirkan hidup menjadi titik balik yang membawa tokoh utama kita menuju babak terakhir eksekusi rencana panjangnya. Yang berbeda, kini ia bukan hanya membawa dendam pribadi, namun juga ketidakadilan yang menimpa orang lain.

Porsi besar durasi Monkey Man berjalan dengan blurry. Editing yang terus bertransisi membuat adegan aksi dalam film ini terasa stylish, namun juga terkadang melelahkan. Menyaksikan Monkey Man terasa seperti dilempar langsung ke dalam narasinya, di mana kerasnya berbagai hantaman dan aksi yang tanpa henti tidak menunggu untuk siapa pun. Underbelly hitam India beserta segala kesenjangan yang ada dijukstaposisi dalam berbagai adegan yang berpindah dengan cepat. Namun, kontras antara dunia malam bagi lapisan masyarakat teratas dan terbawah hanya ada pada aspek glamor saja—keduanya diperlihatkan sama kotornya.

Dalam konfrontasinya dengan sang karakter utama yang hingga akhir tidak pernah disebutkan namanya, Baba Shakti dengan sadar menganalogikan dirinya sebagai Rahwana, raja raksasa dan antagonis utama dalam epik Ramayana. Ia menyatakan bahwa Rahwana bukanlah setan, melainkan sosok pemimpin yang terpelajar. Meski yang diucapkannya memang sejalan dengan Ramayana, pernyataan ini terasa sebagai justifikasi belaka akan tindakan-tindakan yang dilakukannya di balik layar lanskap politik. Setidaknya dalam film, kita bisa bernafas lega karena ada paralel sosok Hanoman yang berdiri tegak untuk melawannya.

(alm/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS