Interest | Art & Culture

Busting Myths: Arti Mimpi

Jumat, 08 Apr 2022 20:00 WIB
Busting Myths: Arti Mimpi
Foto: Johannes Plenio/Unsplash
Jakarta -

Mengartikan sebuah mimpi merupakan sebuah fenomena yang unik. Banyak orang yang mencoba menganalisa dan menafsirkan mimpi-mimpi mereka. Entah baik atau buruk, mimpi diterka manusia untuk tujuan-tujuan yang disesuaikan. Mulai dari menafsir mimpi untuk judi Togel; membacanya sesuai ramalan primbon; melihatnya dari kacamata agama; hingga menolak memandang mimpi sebagai hal gaib.

Tentu kita pernah mendengar, mengalami atau bahkan mempercayai, mitos-mitos soal arti mimpi. Misalnya, mimpi gigi tanggal berarti akan ada orang yang meninggal; mimpi pasangan selingkuh berarti hubungan gagal; atau paling tidak, mimpi terjatuh. Setiap mimpi yang pernah dialami manusia, dibentuk arti dan maknanya oleh sesama. Dari sana, muncul perdebatan yang dilakukan para pengarti mimpi dan yang menganggapnya sebatas bunga tidur biasa.

Jika memang cukup kontroversial, kenapa kita terus keukeuh mencari arti mimpi yang sebenarnya? Apakah kita benar percaya dengan kisah di dalam mimpi atau sedang ingin membuktikan ego semata?

Sekilas Perjalanan Tafsir Mimpi

Kurang dapat dipastikan siapa yang mengawali fenomena ini. Namun hingga kini, banyak literasi mengenai mimpi yang telah diterbitkan. Merujuk serat Hinduisme India, Kitab Upanishad (300 SM) menyatakan bahwa "mimpi hanyalah ekspresi dari hasrat batin," selain turut mengartikan keadaan "jiwa meninggalkan tubuh kita dan kita dibimbing sampai kebangkitan yang sebenarnya." Sementara penganut Buddhism, mengasumsikannya sebagai pertanda kehidupan, sebagaimana kisah yang mengawali perjalanan Sang Buddha.

Pada pandangan penganut agama Abrahamik, mimpi justru diartikan sebagai pembelajaran yang berasal dari kegaiban kuasa Tuhan, dan mengandung arti tertentu--walaupun tidak selamanya berkonotasi positif serta bisa mentah-mentah dipercaya, dan lebih berfungsi sebagai wahana refleksi diri. Secara garis besar, Islam memandang mimpi melalui tiga teropong. Mimpi yang benar, sebagaimana yang tercatat di Al Quran--biasanya berbentuk komunikasi Tuhan kepada orang beriman; mimpi palsu, lebih disebabkan godaan setan; dan mimpi yang memuat ego atau hasrat individual.

Di Indonesia, meskipun masyarakatnya mayoritas memeluk ajaran Islam, membedah mimpi melalui kepercayaan dan klenik budaya masih umum dilakukan. Mengikuti adat budaya Jawa, mimpi bahkan dipercaya sebagai pertanda akan kejadian di kehidupan nyata. Namun, tidak semua mimpi bisa dianggap demikian, karena primbon jawa mengklasifikasikan arti mimpi lewat beberapa istilah. Misalnya, godo atau bunga tidur semata; rencono, yaitu wacana dari Tuhan; apes, yakni kesialan; impen, mimpi yang berupa firasat; doro, hal yang menyakitkan; gati atau genting, yakni situasi yang mencemaskan.

Menafsir Mimpi Menurut Para Intelektual

Mengalami sebuah mimpi, adalah hal menarik yang didapati manusia ketika tertidur lelap. Bagi Nietzsche, mimpi adalah bunga poppy dalam jiwa manusia. Banyak kesenangan yang bisa muncul dari sebuah mimpi. Pun demikian sebaliknya.

Sebuah mimpi dipercaya dapat menyiratkan berbagai arti. Oleh karena itu, kita mengenal istilah mimpi indah dan mimpi buruk beserta pelbagai teori penafsiran yang ada. Namun demikian, ilmu sains justru skeptis dalam memandang mimpi. Bukannya memvalidasi teori masyarakat mengenai mimpi, sebagian ilmuwan justru menganggap bahwa mimpi itu merupakan sebuah produk dari evolusi yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Sesungguhnya, mimpi lebih terbentuk dari potongan-potongan kenangan yang kita miliki dan rangkai bersama.

Sementara lain, filsuf psikoanalis Sigmund Freud, menjabarkan mimpi melalui bukunya, "Interpretasi Mimpi." Teori ini menegaskan suatu kesadaran mental di luar pikiran sadar. Bagi Freud, mimpi adalah ekspresi dari dunia bawah sadar, yang belum tuntas atau terpuaskan di kehidupan nyata. Oleh karena itu, Freud berasumsi bahwa setiap mimpi bisa ditafsir, melalui simbol atau elemen yang muncul di dalamnya.

Aktivitas bermimpi juga disebut sebagai aktivitas adaptif yang berkaitan dengan regulasi emosi, pembelajaran, dan memori. Aktivitas bermimpi mengaktifkan kembali pengalaman individu yang relevan dan terjadi selama ia bangun dan sadar. Jadi, semacam pengulangan yang terjadi ke alam mimpi. Di lain sisi, Carl Jung mengatakan bahwa karakteristik mimpi adalah membingungkan dan tidak rasional. Makna mimpi dapat dibedah melalui konteks personal, dan tidak bisa mengandalkan teori umum mengenai mimpi.

***

Ketika bermimpi, otak manusia tetap aktif. Seperti mamalia yang lainnya, bermimpi ini memiliki tujuan yang berkaitan dengan evolusi, sehingga mungkin saja, membuat kita bersiap untuk situasi mengancam di kehidupan nyata. Mimpi lebih berkaitan dengan pemrosesan emosi. Beberapa bagian di otak memproses memori dan emosi visual yang kemudian berhubungan dengan aktivitas bermimpi, sehingga bisa jadi, tidak berkaitan dengan pesan-pesan gaib atau unsur keilahian. Namun secara selektif, makna dalam mimpi ditemukan di dalam bias. Meskipun terdengar spekulatif, sugesti kuat berdasarkan mimpi, membuat seseorang memotivasi diri sehingga bayangan yang tercipta semakin mungkin terpenuhi secara sendirinya.

Jadi, meski di luar nalar, kepercayaan yang multitafsir mengenai mimpi tidak selamanya bisa disalahkan. Terkadang, hidup dan misterinya memang merupakan teka-teki seru untuk dipecahkan. Maka, membedah mimpi, rasanya juga lazim untuk dikerjakan, selama batasan manfaat dalam menafsirkan mimpi tidak memberi pengaruh buruk bagi diri sendiri dan sekitar. Besok, kalau kamu bermimpi sial, sugestikan saja kebaikan. Dan kalau kamu mimpi dapat uang banyak, saya doain, bangun tidur banyak duit di kolong kasur. Jadi, maukah kamu berhenti bermimpi dan menafsirkannya?

[Gambas:Audio CXO]



(RIA/MEL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS