Interest | Wellness

Mengapa Kesepian pada Remaja Harus Kita Waspadai?

Senin, 24 Nov 2025 16:00 WIB
Mengapa Kesepian pada Remaja Harus Kita Waspadai?
Ilustrasi kesepian pada remaja. Foto: iStock
Jakarta -

Setiap orang mungkin pernah merasakan kondisi di mana hati terasa mengganjal. Ada sesuatu yang hilang yang membuat kita sedih berkepanjangan. Itulah rasa kesepian, rasa yang kerap disingkirkan dan tak diakui, hingga sewaktu-waktu bisa meledak kapan saja, dalam bentuk apapun. Remaja dan dewasa muda adalah yang paling sering merasakannya.

Faktanya, 19 persen remaja di Indonesia merasa kesepian, angka ini lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2007 hanya berkisar 8,7 persen. Proporsi remaja yang sama sekali tidak memiliki teman dekat pun meningkat 150 persen dari tahun 2007 hingga 2023.
Rasa kesepian bisa menjadi medan yang sulit dilalui.

Pada usia remaja, seseorang biasanya mulai bergerak pada pilihan-pilihan serta tanggung jawab yang dikendalikan oleh diri sendiri. Misalnya pilihan tentang sekolah, pertemanan dan cara memandang diri sendiri. Masa transisi itu sering kali terasa berat, saat tidak ada tempat aman untuk berbagi cerita.

Saya pun kembali mengingat bagaimana melewati masa-masa remaja waktu dulu. Penuh pencarian tentang diri, gelisah dan rasa ingin dimengerti. Namun sebagai Gen Z yang tumbuh sebelum media sosial benar-benar menjadi "pusat" kehidupan, saya merasa memiliki privilese tertentu. Handphone belum dimiliki oleh semua orang, interaksi masih sering secara langsung, obrolan tatap muka masih dominan dan permainan tradisional masih menjadi hiburan bersama teman.

Terasa berbeda dengan kondisi kebanyakan remaja saat ini. Saya sadar bahwa perubahan telah banyak terjadi. Sekarang, hampir semua remaja baik yang tinggal di kota besar maupun desa telah memiliki handphone. Dunia digital menjadi cara mereka untuk bertumbuh dari anak-anak menjadi seorang remaja.

Di sinilah letak ancamannya; mereka bisa bebas mengekspresikan dirinya dengan membentuk pola interaksi baru, lebih cepat dan lebih rentan terhadap pengaruh negatif. Tak sedikit remaja akhirnya terseret pada kondisi maupun tindakan yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.

.Ilustrasi kesepian pada remaja/ Foto: iStock

Kesepian Berubah Menjadi Kemarahan

Peristiwa ledakan yang terjadi di SMA 72 Jakarta Utara sebagai salah satu contohnya. Pada Jumat 7 November pukul 12.15 WIB saat ibadah Salat Jumat berlangsung, ledakan pertama terjadi dari dalam Mushola. Ledakan ini menyebabkan kaca pecah dan kepulan asap sehingga memicu kepanikan siswa dan guru. Setelahnya kembali terjadi ledakan kedua dari area kantin yang berada di belakang sekolah.

Terduga pelaku dikonfirmasi siswa langsung dari SMA 72 Jakarta yang duduk di kelas 12. Saat kejadian ia turut menjadi korban dan saat ini berada di Rumah Sakit Polri Kramat Jati Jakarta Timur. Sementara itu, korban lain dari peristiwa ini berjumlah 96 yang terdiri dari murid, guru dan satu orang yang diduga penjaga kantin.

Menurut beberapa informasi, terduga pelaku yang berinisial (F) ini sosok yang pendiam dan diduga menjadi korban perundungan. Ibunya diketahui bekerja di luar negeri dan ayahnya juga bekerja, Ia merasa tidak memiliki tempat untuk bercerita baik di rumah maupun di sekolah kombinasi inilah yang melahirkan kekosongan secara emosional pada dirinya.

Rasa kesepian menimbulkan kekosongan eksistensial yang mendorong seseorang mencari kelompok atau lingkungan baru untuk memberi validasi. Inilah letak kritisnya, dunia digital semakin masif untuk memberikan validasi, memberikan ruang bagi siapa pun yang membutuhkan tanpa melihat kondisi mentalnya.

Dunia Digital Menjadi Tempat Pelarian

Sebuah penelitian menjelaskan, bahwa penggunaan media sosial pada remaja dapat melawan isolasi sosial, perasaan kesepian serta membantu remaja menghindari pengucilan. Bagi sebagian remaja ruang digital menjadi tempat pelarian atas pencarian jati dirinya. Mereka dapat menjadi anonim, bisa mengekspresikan kesedihan atau amarah tanpa takut dihakimi secara langsung.

Tanpa banyak diketahui oleh mereka, ruang digital justru dapat menyediakan komunitas-komunitas yang memberi validasi semu dan mendorong perilaku destruktif. Hal ini pula yang menjadi "inspirasi" terduga pelaku. Bergabung dengan komunitas daring yang memberikan pujian setiap kali seseorang melakukan kekerasan dan mengunggahnya ke media sosial.

Validasi semacam itu mungkin terdengar mengerikan bagi kita sebagai orang telah dewasa. Berbeda, bagi remaja yang sudah lama merasakan kesepian secara emosional serta tertekan oleh perundungan. Rasa diabaikan ini menumpuk dalam dirinya hingga menyebabkan kemarahan yang besar. Keluarga yang tidak hadir secara emosional memperparah kondisi ini.

Sebagai orang dewasa, orang tua, tetangga atau siapa pun yang ada dalam lingkaran kehidupan remaja. Ada beberapa hal penting yang perlu kita pahami mengenai remaja masa kini di antaranya:

.Ilustrasi dukungan./ Foto: Freepik
  1. Ruang Aman untuk Bercerita
    Remaja sebagai orang yang sedang mencari jati diri akan sangat membutuhkan ruang untuk bercerita. Ada seseorang yang mendengarkan ceritanya tanpa penghakiman. Tidak harus selalu sesi konseling formal dengan bentuk percakapan hangat, pertanyaan ringan seperti bertanya kabar.
  2. Literasi Emosi
    Sebagai seseorang yang telah melewati masa remaja, saya tau betul bagaimana sulitnya mengelola emosi dengan baik. Literasi Emosional sangat diperlukan oleh remaja. Mengetahui tentang bagaimana mengenali rasa marah, sedih, bingung bahkan cemas, akan membantu memahami kebutuhan diri.

  3. Literasi Digital
    Literasi digital menjadi sangat penting, mereka tumbuh dalam dunia yang memungkinkan siapapun untuk berbicara, berekspresi dan membangun identitas dengan cepat. Remaja perlu dibekali kemampuan untuk memahami bagaimana ruang digital bekerja.

  4. Komunitas Positif sebagai Alternatif
    Tidak semua keluarga hadir dalam masa remaja anaknya karena harus memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti dalam kasus ini. Komunitas yang positif dapat menjadi solusinya, tempat yang menyalurkan hobi, kreativitas, literasi dan menjadi relawan untuk project sosial.

Tanpa membenarkan yang telah dilakukan oleh terduga pelaku. Peristiwa ini menunjukkan, seorang remaja yang dibiarkan tenggelam dalam kesepian, pengabaian emosional dan tekanan sosial yang terus-menerus sehingga ia terdorong mengambil keputusan serta tindakan keliru.

Remaja yang tidak memiliki ruang aman untuk bercerita akan mencari pelampiasan di tempat lain tanpa mengetahui apakah tempat tersebut baik atau tidak untuknya. Tindakan impulsif, komunitas daring yang berbahaya maupun bentuk-bentuk validasi semu memperparah kondisi mentalnya.

Dalam keadaan seperti itu, mereka kehilangan arah, kemampuan untuk membedakan mana dukungan yang sehat dan mana yang menjerumuskan ke hal negatif. Dunia remaja saat ini sangat berbeda dengan dulu. Mereka tumbuh bersama ruang digital yang tidak selalu baik bagi pertumbuhannya.

Maka dari itu, sebagai orang dewasa kita adalah jembatan agar mereka bisa melewati masa remajanya dengan cara yang lebih sehat dan positif. Kehadiran kita, baik sebagai orang tua, guru, tetangga atau sekedar figur dewasa dalam lingkungan mereka dapat mencegah rasa kesepian yang dihadapi oleh remaja.


Penulis: Ayu Puspita Lestari
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS