Interest | Wellness

Padel Fever: Antara Gaya Hidup, Ruang Kota, dan Tantangan Keberlanjutan

Rabu, 19 Nov 2025 16:43 WIB
Padel Fever: Antara Gaya Hidup, Ruang Kota, dan Tantangan Keberlanjutan
Ilustrasi olahraga padel. Foto: iStock
Jakarta -

Beberapa bulan terakhir, lapangan-lapangan berdinding kaca mulai bermunculan di berbagai sudut Jakarta. Suaranya khas: bola memantul di kaca, tawa para pemain bergema di lapangan, dan lampu-lampu LED menyala terang hingga malam. Begitulah wajah baru ruang urban kita. Padel telah menyedot banyak perhatian warga urban dan tampaknya akan semakin menyita perhatian kita.

Namun di balik popularitasnya yang mendadak ini, ada banyak pertanyaan yang perlahan muncul "sampai kapan tren padel akan bertahan?" Apakah akan menjadi bagian dari gaya hidup baru masyarakat urban Indonesia, atau hanya sekadar euforia sementara yang menambah daftar panjang "olahraga tren" yang datang dan pergi?

.Ilustrasi tren olahraga padel di Jakarta/ Foto: iStock

Tren Padel di Indonesia: Antara lifestyle dan Ruang Sosial Baru

Padel pertama kali muncul di Meksiko pada 1960-an, lalu berkembang pesat di Spanyol dan Amerika Latin sebelum akhirnya menjadi olahraga global. Di Indonesia terutama di Jakarta padel mulai naik daun sekitar dua tahun terakhir. Lapangan padel kini dapat ditemukan di kawasan elit seperti SCBD, Kemang, hingga BSD.

Padel cepat diterima karena sifatnya yang inklusif dan mudah dimainkan. Ukurannya lebih kecil dari tenis, aturannya sederhana, dan tampilannya menarik dengan lapangan kaca dan lampu malam yang Instagramable. Tak heran, olahraga ini cepat jadi simbol gaya hidup urban yang dipopulerkan selebritas dan kelas menengah ke atas.

Bagi sebagian orang, padel bukan hanya olahraga, tapi juga social event. Di tengah kota yang makin padat, lapangan padel menjadi ruang interaksi baru seperti tempat berolahraga, berjejaring, bahkan sekadar bersantai setelah jam kerja.

Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa lonjakan fasilitas padel ini terjadi terlalu cepat, tanpa perencanaan ruang yang matang. Beberapa area publik, lapangan futsal, atau taman kecil mulai dialihfungsikan demi lapangan padel komersial. Di titik ini, pertanyaan mulai muncul: apakah kita sedang membangun budaya olahraga, atau sekadar memburu tren baru?

Padel dan Keberlanjutan

Dalam skala global, padel sering dikaitkan dengan isu keberlanjutan. Ukuran lapangan yang kecil dianggap efisien untuk kota padat seperti Jakarta, tetapi efisiensi ruang hanyalah sebagian cerita.

Infrastruktur padel tetap boros sumber daya: kaca tebal, rumput sintetis berbasis plastik, dan lampu intensif yang menambah jejak karbon. Beberapa inisiatif eco-padel mulai muncul di Eropa menggunakan panel surya, material daur ulang, dan sistem drainase air hujan.

Jika diterapkan di Indonesia, model ini bisa menjadi langkah menuju olahraga yang ramah lingkungan sekaligus berkelanjutan. Sayangnya, sebagian besar lapangan padel di sini masih berfokus pada gaya hidup dan eksklusivitas, bukan efisiensi energi atau akses komunitas-padahal di situlah kunci agar tren ini bertahan lama.

Pertanyaan soal sampai kapan tren ini berlanjut, wajar di tengah banyaknya pilihan olahraga yang sebelumnya pernah viral, terutama melihat fenomena pembangunan lapangan padel yang begitu cepat. Dalam waktu singkat, ruang terbuka dan fasilitas olahraga lama banyak yang beralih fungsi. Tapi tren, seperti yang kita tahu, selalu punya masa kadaluarsa.

Kita bisa belajar dari Swedia, salah satu negara yang sempat menjadi kiblat padel dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, industri padel di sana justru mengalami penurunan drastis. Lebih dari 600 lapangan padel ditutup atau dibongkar karena kelebihan pasokan dan turunnya minat masyarakat.

Beberapa operator besar seperti We Are Padel bahkan harus melakukan restrukturisasi bisnis karena biaya operasional tak sebanding dengan jumlah pengguna. Penyebabnya sederhana: pertumbuhan yang terlalu cepat tanpa perencanaan jangka panjang.

Saat antusiasme awal mereda, permintaan menurun, dan bisnis tidak lagi efisien, industri pun goyah. Fenomena ini bisa menjadi peringatan bagi Indonesia. Jika ekspansi lapangan padel terus dilakukan hanya karena "lagi ramai," tanpa riset pasar atau strategi komunitas, bukan tidak mungkin kita akan menghadapi gelombang kejenuhan yang sama seperti Swedia.

.Ilustrasi lapangan padel/ Foto: iStock

Padel di Indonesia, Antara Peluang dan Risiko

Indonesia punya peluang unik. Pertumbuhan padel di Jakarta, Bali, dan beberapa kota besar memang cepat, tapi basis pemainnya masih bisa diperluas. Artinya, industri ini belum jenuh asal dikelola dengan bijak.

Ada tiga hal yang bisa menentukan masa depan padel di Indonesia:

  1. Aksesibilitas. Jika padel tetap tersegmentasi sebagai olahraga mahal dan eksklusif, pertumbuhannya akan stagnan. Membuka lapangan komunitas dengan biaya terjangkau bisa memperluas basis pemain.
  2. Keberlanjutan. Pengelola perlu mulai memikirkan desain lapangan ramah lingkungan, penghematan energi, dan penggunaan material berkelanjutan.
  3. Komunitas. Padel akan bertahan jika ada sense of belonging. Jika pemain hanya datang untuk konten media sosial, tren akan cepat lewat. Tapi jika mereka merasa bagian dari komunitas, olahraga ini bisa tumbuh organik seperti futsal atau badminton.

Kuncinya ada di kolaborasi antara sektor swasta, komunitas olahraga, dan pemerintah kota dalam mengelola ruang. Jakarta, misalnya, punya banyak lahan terbatas. Mengintegrasikan padel ke dalam konsep multi-purpose space lapangan yang bisa digunakan untuk berbagai olahraga bisa menjadi solusi agar ruang kota tetap inklusif.

Fenomena padel bukan hal baru dalam pola olahraga musiman masyarakat Indonesia. Dari spinning hingga zumba, setiap beberapa tahun selalu muncul olahraga baru yang sempat viral lalu meredup begitu tren berikutnya datang.

Masalahnya bukan pada olahraganya, melainkan pada cara kita memaknainya sebagai gaya hidup sementara, bukan kebiasaan jangka panjang. Selama motivasi berolahraga masih didorong oleh fear of missing out dan citra sosial, bukan kesadaran akan kesehatan dan kebersamaan, setiap tren baru akan bernasib sama: ramai sesaat, lalu perlahan dilupakan.

Padel sebenarnya punya peluang untuk keluar dari pola itu jika dipahami bukan sekadar ruang gaya, tapi juga sarana merawat tubuh, membangun komunitas, dan menghormati ruang kota. Popularitasnya menunjukkan kerinduan masyarakat urban akan ruang sosial yang aktif dan inklusif.

Namun untuk menjadikannya lebih dari sekadar tren, padel perlu dirancang tak hanya bagi pemain, tapi juga bagi kota dan komunitas di sekitarnya: sebagai simbol kolaborasi antara gaya hidup modern dan kepedulian lingkungan.

Sampai saat itu tiba, padel akan tetap berada di persimpangan antara fenomena gaya hidup sementara dan awal dari budaya olahraga baru bergantung pada satu hal sederhana: apakah kita datang ke lapangan untuk ikut tren, atau untuk benar-benar bermain?


Penulis: Deandra Fadillah
Editor: Dian Rosalina


*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS