Di zaman yang serba digital ini, kehidupan kita telah terperangkap oleh satu benda kecil yang selalu menyala: layar. Entah itu layar ponsel, laptop, tablet, atau televisi, silau cahayanya tidak lagi sekadar alat bantu, melainkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ritme harian manusia modern.
Kita membuka hari dengan notifikasi, menyambut malam dengan scroll, dan di antaranya, waktu terselip di antara detik-detik screen time yang makin sulit dikendalikan. Namun, di balik semua kemudahan dan keterhubungan itu, layar juga menyimpan paradoks, yaitu mendekatkan yang jauh, tapi perlahan menjauhkan kita dari diri sendiri.
Ilustrasi pakai hp terus./ Foto: istock |
Waktu Layar yang Diabaikan
Berdasarkan data yang diungkapkan oleh Menteri Koordinator (Menko) Pembangunan dan Kebudayaan (PMK) bahwa rata-rata screen time harian orang Indonesia telah menyentuh angka 7 jam 30 menit, angka yang melampaui waktu tidur sehat yang disarankan oleh pakar medis. Kemudian, berdasarkan data lain yang dipublikasi oleh Demand Sage bahwa sebagian besar waktu tersebut dihabiskan untuk konsumsi media sosial, menonton video, dan pekerjaan digital.
Pertanyaannya bukan lagi soal berapa lama kita menatap layar, tapi lebih pada: apa yang dikorbankan saat kita melakukannya?
Secara biologis, tubuh manusia tidak diciptakan untuk berinteraksi konstan dengan layar. Paparan cahaya biru dari perangkat digital terbukti menekan produksi melatonin, hormon yang mengatur siklus tidur. Akibatnya, tidur menjadi dangkal, terganggu, atau bahkan tertunda.
Kualitas tidur yang menurun ini berimbas pada konsentrasi, suasana hati, hingga fungsi imun tubuh. Tak mengherankan jika keluhan seperti kelelahan kronis, mata kering, sakit kepala, dan mudah cemas menjadi semakin umum ditemukan, bahkan pada usia muda. Harvard Medical School dalam suatu artikelnya mengungkapkan bahwa banyak anak muda kekurangan tidur Rapid Eye Movement (REM) yang penting untuk memproses dan menyimpan informasi di hari itu. Hal tersebut, cenderung disebabkan oleh penggunaan perangkat sebelum tidur yang mengacaukan pola tidur.
Namun lebih dari itu, waktu layar yang berlebihan juga berdampak pada lanskap psikis manusia. Di balik layar yang menyala, ada kesendirian yang tak diakui, ada tekanan yang tak kasat mata. Dunia digital, dengan segala algoritma dan notifikasinya, menciptakan semacam kesibukan semu seolah kita selalu harus hadir, selalu harus merespons, selalu harus tahu.
Tanpa disadari, kita masuk dalam siklus adiktif: membuka layar bukan karena butuh, tapi karena takut tertinggal, takut kehilangan koneksi sosial, bahkan takut menghadapi diam. Layar, dalam konteks ini, menjadi cermin dari kegelisahan zaman. Kita mencarinya untuk pelarian, tapi seringkali justru tersesat lebih jauh.
Screen time yang sulit untuk ditangani/ Foto: istock |
Ironisnya, ruang yang paling minim screen time hari ini justru adalah ruang-ruang kesunyian: taman yang sepi, bangku di bawah pohon, percakapan tanpa distraksi. Semua itu terdengar romantik, bahkan utopis, karena dalam realitasnya, jari kita nyaris tak pernah lepas dari layar.
Masalahnya bukan pada teknologinya, tapi pada relasi kita dengannya. Kita telah membiarkan layar mengambil alih fungsi-fungsi yang dulu diisi oleh interaksi manusiawi dan aktivitas natural. Bayangkan seorang anak yang lebih mengenal wajah YouTuber daripada wajah temannya di kelas. Atau pasangan yang duduk bersebelahan tapi tak benar-benar hadir satu sama lain karena tenggelam dalam notifikasi masing-masing.
Di titik ini, screen time bukan lagi hanya tentang waktu, tapi tentang kualitas kehadiran. Pertanyaannya kemudian: adakah batas maksimal screen time yang aman?
WHO dan American Academy Pediatry memberi panduan yang jelas, terutama bagi anak-anak. Namun, bagi orang dewasa regulasi ini cenderung kabur karena konteks pekerjaan dan budaya digital menjadikan screen time seolah tak terelakkan.
Meski demikian, para ahli sepakat bahwa membangun digital hygiene sangatlah penting. Ini mencakup kebiasaan seperti mengatur waktu istirahat layar (screen break), menghindari layar sebelum tidur, hingga memperbanyak aktivitas fisik dan sosial yang bebas gawai. Lebih dari sekadar tips, ini adalah bentuk perlawanan kecil terhadap arus deras keterpaparan digital yang terus menggerus kesadaran akan tubuh dan mental kita sendiri.
Dalam dunia yang tak pernah benar-benar padam, tubuh dan jiwa manusia tetap butuh gelap. Butuh jeda dari keriuhan, dari pencahayaan buatan, dari informasi yang tiada henti. Di sana, kesehatan bukan sekadar bebas penyakit, tapi tentang kemampuan untuk hadir utuh, menyimak diri, dan menemukan kembali ruang batin yang kian sempit oleh sorot layar.
Layar memang tak bisa dimatikan sepenuhnya. Tapi kita bisa belajar menutupnya sesekali untuk melihat lebih dalam ke dalam diri sendiri, bukan sekadar dunia yang dibingkai algoritma, sebab kesehatan sejati barangkali bukan tentang apa yang kita konsumsi, tetapi tentang apa yang masih mampu kita lepaskan.
Mampukah kamu untuk jeda sejenak dari layar yang menatap kamu sekarang ini?
Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Ilustrasi pakai hp terus./ Foto: istock
Screen time yang sulit untuk ditangani/ Foto: istock