“Duh capek banget. Pengen healing”.
Keluhan ini mungkin kerap kamu dengar di sela-sela perbincangan di kafe, kampus, tempat kerja, bahkan media sosial. Healing menjadi semacam 'kode’ nasional sekaligus simbol kelelahan kolektif. Tapi jika kita diam sejenak dan ditanya, “Capek karena apa?”—banyak dari kita mendadak diam, bingung, atau bahkan tidak yakin dengan jawabannya.
Healing Sebagai Mantra Baru
Saat ini, healing bukan hanya istilah psikologis atau bagian dari proses pemulihan emosional. Ia telah menjelma menjadi mantra modern, semacam jalan keluar instan dari rutinitas yang melelahkan. Kita mendengar kata ini digunakan dalam banyak konteks: saat habis lembur, setelah drama percintaan, atau ketika terlalu lama berada di tengah hiruk-pikuk sosial.
Kita scrolling media sosial, dan disambut oleh konten bertagar #healing—visual lautan luas, kopi estetik di tempat sunyi, pemandangan gunung berkabut, hingga kamar hotel minimalis dengan jendela besar menghadap senja. Semua seolah berkata: “Ini loh cara healing yang benar.”
Namun benarkah kita sedang menyembuhkan diri? Atau sebenarnya hanya berusaha kabur dari sesuatu yang terlalu sulit kita hadapi?
Budaya Healing dan Dunia yang Terlalu Cepat
Generasi kita—entah itu Gen Z atau millenial akhir—tumbuh di era yang serba cepat dan penuh tekanan. Kita hidup dalam lanskap digital yang tidak pernah hening. Notifikasi berbunyi bahkan di jam tidur, deadline tidak kenal waktu. Kita dituntut produktif sekaligus bahagia, berprestasi sekaligus santai, dekat dengan banyak orang sekaligus tak pernah merasa benar - benar terhubung.
Media sosial memperparahnya. Kita tidak hanya bekerja dan hidup, tetapi juga “berkinerja” di depan publik. Setiap unggahan adalah representasi dari versi terbaik hidup kita, dan dari sanalah standar kebahagiaan jadi makin tinggi dan kabur. Kita pun merasa harus healing karena kelelahan ini tidak bisa sadari sepenuhnya, hanya terasa sebagai ketidaknyamanan yang samar.
Akhirnya, healing jadi kebutuhan. Tapi seringkali aktivitas itu justru dibingkai secara visual sebagai liburan, spa, skincare mahal, belanja online, atau sekadar rebahan. Bukan berarti salah semua itu bisa menjadi bagian dari self-care. Namun, kita perlu bertanya apakah itu benar-benar perawatan diri, atau hanya jeda sementara dari tekanan?
Healing atau Hiding: Memahami yang Kita Butuhkan
Pelarian atau escapism bukan hal baru. Namun kini ia tampil lebih halus, lebih glamor, bahkan lebih bisa diterima secara sosial. Kita menyebutnya “butuh healing,” padahal bisa jadi kita hanya sedang bosan, hampa, atau gelisah tapi tak tahu kenapa.
Alih-alih diam bersama rasa itu, kita memilih distraksi nonton film tanpa henti, scroll media sosial hingga pagi, belanja impulsif, atau pergi liburan tanpa rencana yang matang. Sekilas menyenangkan, tapi sering kali kita kembali dengan perasaan yang sama, kosong, bingung, dan kelelahan yang belum juga pulih.
Mungkin yang kita cari bukan destinasi, bukan kegiatan, bukan suasana baru. Tapi kejelasan tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi di dalam diri. Apa yang sebenarnya “sakit,” dan kenapa rasanya tak kunjung reda.
Self-care yang sejati jarang terlihat menarik. Ia lebih sering sunyi, lambat, bahkan menyakitkan. Ia bukan tentang foto-foto yang estetik, tetapi keberanian untuk duduk diam bersama rasa yang tidak enak.
Kadang, self-care berarti tidur cukup. Kadang berarti mematikan ponsel selama satu hari penuh. Kadang berarti pergi ke terapis, atau menolak ajakan nongkrong karena ingin waktu sendiri. Kadang berarti mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja—dan itu semua sah.
Kita perlu belajar membedakan antara healing dan hiding (bersembunyi). Ini bukan soal aktivitas yang kita lakukan, tetapi soal niat dan kesadaran di baliknya.
- Apakah kita liburan untuk menemukan kembali diri kita, atau untuk menjauh dari kenyataan
- Apakah waktu sendiri membuat kita merasa lebih utuh, atau justru semakin tidak mengenal diri sendiri?
- Apakah rutinitas “me time” itu menyembuhkan, atau sebenarnya hanya bentuk penundaan luka yang belum selesai?
Tidak ada rumus pasti. Tapi kejujuran adalah titik mula dari semuanya.
Ada banyak alasan mengapa healing menjadi kata kunci generasi ini. Salah satunya adalah karena kita kurang ruang untuk benar-benar merasakan. Kita dibesarkan di budaya yang cepat-cepat: cepat sukses, cepat move on, cepat bahagia. Tidak ada waktu untuk berhenti dan bertanya: “Apa yang sebenarnya sedang aku rasakan?”
Kita tidak pernah diajarkan untuk duduk bersama kesedihan, untuk menatap luka, atau untuk memahami trauma. Maka, ketika ada sedikit celah dari rutinitas, kita buru-buru mengisinya dengan sesuatu yang tampak menyenangkan. Padahal, mungkin yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk merasa sepenuhnya.
Healing tidak selalu tentang pergi. Kadang, ia justru tentang berani tinggal. Tinggal bersama rasa tidak nyaman, tinggal bersama pertanyaan yang belum terjawab, atau tinggal bersama diri sendiri yang belum utuh. Generasi ini haus akan kedamaian dan itu bukan kelemahan. Kita hanya belum diajarkan bagaimana cara mencarinya ke dalam, bukan ke luar.
Sebelum memesan tiket perjalanan atau menambah barang ke keranjang belanja, mungkin kita bisa berhenti sejenak dan bertanya, apa yang sebenarnya aku butuhkan?
Mungkin, yang kita cari selama ini bukan healing, tetapi kejujuran. Bukan pelarian, tapi penerimaan. Itu hanya bisa ditemukan jika kita mau menengok ke dalam pelan-pelan, dengan penuh belas kasih.
Penulis: Deandra Nurul Fadilah
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)