Beberapa bulan lalu, saya sempat berada di fase burnout. Jumlah pekerjaan makin banyak, tetapi waktu untuk menyelesaikannya tak pernah cukup. Akhirnya, saya melimpahkan sebagian besar pekerjaan kepada AI generatif.
Ajaibnya, cara itu berhasil. Sebagai penulis konten website, AI sangat membantu mempercepat penyelesaian pekerjaan saya. Tinggal memasukkan prompt, lalu saya tunggu hasilnya sambil menyeruput kopi. Masalahnya, seiring waktu saya jadi ketergantungan.
Walhasil, di satu titik saya mulai merasa kesulitan untuk membuka kalimat saat menulis tanpa bantuan AI. Otak saya dingin, seperti mesin motor yang jarang dipanasi. Sejak saat itu saya mulai mengurangi penggunaan AI generatif karena dampaknya ternyata cukup ngeri.
Ilustrasi burnout/ Foto: iStock |
Ketergantungan AI Bikin Otak Tumpul
Apa yang sempat saya alami dikonfirmasi oleh laporan penelitian dari MIT Media Lab yang keluar pada Juni 2025. Penelitian ini melibatkan 54 peserta. Mereka dipakaikan alat EEG untuk mengukur aktivitas otak saat menulis esai. Peserta dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu mereka yang menggunakan bantuan LLM (Large Language Model), pencarian Google manual, dan tanpa bantuan teknologi.
Singkatnya, kelompok pengguna LLM mengalami penurunan aktivitas otak dan kemampuan kognitif paling signifikan dibandingkan dengan kelompok lain. Bahkan ada efek jangka panjangnya.
Setelah beberapa bulan, sejumlah peserta dari kelompok pengguna LLM kembali melakukan tes, kali ini dengan metode "brain-only". Akan tetapi, konektivitas otaknya tetap tidak sekuat mereka yang sebelumnya tidak menggunakan LLM.
Saat beralih ke metode penulisan esai secara manual, pengguna LLM cenderung mengulang ide-ide sempit tanpa analisis kritis. Menurut MIT, ini menunjukkan gejala 'cognitive debt', yakni penurunan kemampuan berpikir mandiri akibat ketergantungan pada AI.
Gampangnya begini, saat menggunakan LLM, alat tersebut menggantikan proses berpikir jangka pendek yang seharusnya dilakukan oleh otak. Pada akhirnya, itu meninggalkan 'utang' jangka panjang berupa berkurangnya kemampuan berpikir kritis hingga kreativitas.
Betul saja, dalam salah satu sesi wawancara, kelompok pengguna LLM cenderung lebih sulit mengingat atau mengutip hasil tulisannya sendiri. Hasil laporan MIT itu sejalan dengan satu penelitian lain yang menyebutkan ketergantungan AI (dan pencarian online) juga memunculkan fenomena 'digital amnesia', yaitu otak jadi kurang terlatih untuk menyimpan dan mengingat secara mandiri.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara merebut kembali ketajaman otak yang sudah terlanjur tumpul akibat ketergantungan AI selama beberapa waktu?
Ilustrasi ketergantungan chatgpt/ Foto: iStock |
Strategi Detox Otak dari Ketergantungan AI
Tidak salah juga kalau kamu mau menggunakan AI, sebab alat ini memang memudahkan pekerjaan. Saya pun demikian. Akan tetapi, ketergantungan berlebih terbukti dapat menurunkan fungsi kognitif. Oleh karena itu, kita butuh 'detox' otak.
Sebenarnya ini bukan berarti berhenti total menggunakan AI, melainkan mengubah cara kita berinteraksi dengannya. Tujuannya untuk menjadikan model AI hanya sebagai alat bantu, bukan menggantikan peran otak.
Bagi kamu yang mungkin sudah mulai merasakan gejala ketergantungan AI, coba beberapa cara detox yang selama ini juga saya lakukan.
1. Berhenti Sementara Menggunakan AI Generatif
Cara ini terinspirasi artikel Bloomberg dari Parmy Olson. Dilaporkan ada seorang karyawan magang yang menyadari dirinya telah mengalami penurunan kepercayaan diri dan kemampuan berpikir kritis akibat ketergantungan ChatGPT dalam bekerja.
Ia kemudian memutuskan untuk berhenti berlangganan ChatGPT. Akhirnya, ia bisa lebih fokus, lebih produktif, dan mengembalikan kepuasan atas hasil kerjanya.
Cara tersebut saya ikuti di awal karena sangat simpel. Saya menjauh dari AI sementara waktu untuk memaksa otak bekerja secara 'manual'. Rasanya cukup menyenangkan, seperti tidak ada lagi blokade di otak ketika hendak menuangkan apa yang saya pikirkan.
Puasa sementara ini setidaknya memulihkan kemampuan berpikir kritis otak saya yang selama beberapa waktu otot-ototnya sempat mengendur.
2. Menerapkan Konsep Metakognisi
Kalau peran AI memang sangat krusial dalam pekerjaanmu, kamu boleh kembali menggunakannya, tetapi lewat pendekatan yang berbeda. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan konsep metakognisi.
Metakognisi adalah kesadaran atas proses berpikir kita sendiri. Konsep ini diperkenalkan oleh John Flavell pada tahun 1976.
Dalam konteks ketergantungan AI, alih-alih menerima output dari model LLM secara pasif, kita harus turut aktif dalam merencanakan, memantau, serta mengevaluasi output tersebut.
Jadi, saat menggunakan AI, tanyakan pada diri sendiri: "Apa tujuan saya? Informasi apa yang saya butuhkan? Bagaimana informasi ini akan saya olah?"
Menurut Sheryl Einhorn (dosen tamu Cornell University), AI sebaiknya digunakan setelah kita menyusun rencana terlebih dahulu. Dengan begitu, AI tidak menggantikan proses berpikir kita.
Cara ini sangat membantu untuk melawan kemalasan kognitif dengan mendorong otak terlibat secara sadar atas apa yang kita lakukan.
3. Menguji Diri Sendiri dengan Active Recall
Sering kali saat mendapat output dari AI generatif, kita langsung menyalin teksnya ke lembar kerja, bahkan tanpa mencoba memahami isi teks tersebut. Supaya otak tidak 'membusuk' akibat keseringan copy-paste jawaban dari AI, teknik belajar active recall patut dicoba.
Studi MIT di awal tadi menunjukkan kelompok pengguna LLM kesulitan mengingat tulisannya. Nah, metode active recallcocok untuk melatih otak kita agar mampu mengingat informasi secara lebih kuat.
Dalam konteks penggunaan AI, hal yang biasa saya lakukan setelah mendapatkan informasi dari chatbot adalah membacanya, memahaminya, lalu menutup (atau pindah) tab di browser, dan menuliskan ulang konsepnya berdasarkan pemahaman saya sendiri.
Tujuan active recall ini adalah memberi tahu otak bahwa informasi tersebut penting dan perlu disimpan dalam memori jangka panjang. Jadi, informasinya tidak sekadar numpang lewat.
4. Mempraktikkan Interleaving
Lagi-lagi mengadopsi metode belajar siswa. Kali ini namanya interleaving, yaitu proses di mana kita sengaja menciptakan kesulitan untuk memaksa otak bekerja lebih keras dengan cara mencampuradukkan berbagai metode atau konsep. Dengan cara ini, otak jadi tidak terlalu bergantung pada satu jalan pintas.
Contohnya, saat menulis konten website, saya tidak cumamenggunakan satu AI generatif. Untuk riset keyword potensial saya pakai Keyword Planner, kemudian untuk mencari referensi menggunakan Google Search atau Perplexity, dilanjutkan membuat outline secara manual, menulis kontennya, dan terakhir menggunakan ChatGPT untuk merapikan tulisan.
Percampuran metode ini, selain melibatkan otak Anda untuk berpikir aktif, juga akan melatih fleksibilitas kognitif.
Kesimpulannya, detox AI adalah suatu pendekatan yang cepat atau lambat mesti segera disadari, khususnya bagi generasi muda yang sudah terlanjur ketergantungan AI untuk belajar, bekerja, maupun berkarya. Cara-cara yang juga sudah saya lakukan di atas bisa kamu coba sendiri untuk menyeimbangkan penggunaan AI dalam keseharian.
Tenang saja, pendekatan ini bukan bertujuan untuk menjauhkan dari AI, tetapi agar bisa memanfaatkannya tanpa mengorbankan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas, yang mana itu krusial untuk perkembangan pribadi kita ke depan.
Penulis: Bagas Dharma
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
Ilustrasi burnout/ Foto: iStock
Ilustrasi ketergantungan chatgpt/ Foto: iStock