Inspire | Love & Relationship

Ketika Komitmen Jadi Pilihan Sulit di Zaman Serba Instan

Kamis, 06 Nov 2025 17:34 WIB
Ketika Komitmen Jadi Pilihan Sulit di Zaman Serba Instan
Ilustrasi komitmen dalam hubungan. Foto: Unsplash
Jakarta -

Memasuki penghujung tahun, mulai terlihat banyaknya undangan pernikahan yang tersebar. Story Instagram teman-teman yang penuh dengan ucapan selamat memasuki kehidupan baru, tempat-tempat yang selalu ramai dengan acara saat akhir pekan, semua terlihat begitu bahagia.

Belum lagi melihat berita dipenuhi dengan iklan pameran-pameran pernikahan, sampai berita bahagia dari para public figure. Tapi di sisi lain, cerita-cerita soal perpisahan tak jarang memenuhi lini masa media sosial. Semua ini terasa umum di zaman modern seperti sekarang ini.

.Ilustrasi awal komitmen/ Foto: Freepik

Awal dari Sebuah Kisah Manis

Dalam sebuah relasi-terutama hubungan pernikahan-momen yang terjadi, bukan hanya menjadi sarana dua orang saling menyatakan cinta mereka. Pernikahan juga menjadi momen deklarasi komitmen mereka untuk hidup bersama.

Janji untuk saling menjaga dan mencintai tanpa mempedulikan masalah-masalah di masa depan. Jadi, janji pernikahan memang sungguh romantis, tapi apakah bermodal dengan cinta saja kehidupan pernikahan itu dapat bertahan?

Dibandingkan dengan perasaan yang hanya dirasakan sementara, yang membuat suatu hal bertahan adalah sebuah komitmen. Menurut Stanley dan Markman pada penelitiannya mengenai sebuah komitmen dalam relasi personal, komitmen dalam aspek psikologis memiliki dua sisi yaitu 'keinginan' dan 'keharusan'.

Kedua hal tersebut tergambarkan secara bertolak belakang sebagai dorongan dan tarikan dalam sebuah hubungan. Komitmen berdasarkan keinginan mengacu pada rasa ingin mempertahankan atau meningkatkan kualitas hubungan demi kepentingan bersama.

Sebaliknya, komitmen berdasarkan sebuah keharusan mengacu pada kekuatan internal atau eksternal yang menahan seseorang untuk bertahan dalam komitmen tersebut, terlepas dari keinginan pribadi. Dari kedua hal tersebut, dapat kita simpulkan kembali bahwa bertahannya sebuah komitmen, bukan hanya didasari oleh sebuah rasa. Perasaan dapat bersifat sementara, bahkan naik turun seiring waktu.

Menurut Timothy Keller pada Focus on The Family, dalam kehidupan pernikahan, keinginan tidak akan terus bertahan begitu saja. Ada kalanya di saat sudah hidup bersama begitu lama, sifat dan keburukan pasangan sudah terbuka, keinginan untuk menjalani hubungan akan menurun.Hal tersebut didukung dengan adanya Gray Divorce Phenomenon, fenomena pasangan dengan umur di atas 50 tahun dan telah menikah cukup lama memiliki persentase cukup tinggi untuk kemungkinan bercerai.

.Ilustrasi Gray Divorce Phenomenon/ Foto: Unsplash

Dalam Very Well Mind, disebutkan bahwa kelahiran 1946-1964 atau Baby Boomers memiliki persentase perceraian yang terus meningkat seiring waktu. Selain umur dan jangka waktu pernikahan, faktor lain yang mendukung persentase Gray Divorce Phenomenon ini adalah jumlah pernikahan yang dilalui. Dalam Lawrence Hudspeth Law, persentase perceraian dalam pernikahan pertama, meningkat dalam pernikahan kedua dan ketiga, menandakan pengalaman dalam perceraian memiliki persentase lebih tinggi untuk pengulangan kembali.

Ada pula sebuah ungkapan mengenai 'Seven Years Itch' yang menggambarkan ketidakstabilan sebuah hubungan saat memasuki umur pernikahan 7 tahun. Meski belum terbukti secara ilmiah mengenai angka dari hubungan 7 tahun ini, Dr Borland dalam Cleveland Clinic mengatakan bahwa ungkapan tersebut dimulai saat fenomena ini masuk ke layar lebar. Pada tahun 1955 Marilyn Monroe memainkan sebuah film berjudul 'The Seven Year Itch'.

Film ini menceritakan tentang seorang pria yang berencana untuk berselingkuh dari istrinya. Ada momen di mana dia membaca catatan psikiater yang memberi statistik bahwa kebanyakan pria berselingkuh di tahun pernikahan ketujuh. Dari film tersebutlah ungkapan tersebut muncul, dan ungkapan tersebut dipakai untuk menandakan ketidakpuasan pasangan dalam sebuah hubungan saat 'honeymoon phase' sudah berakhir.

Ada pula dalam perjalanan kehidupan ini, banyak perasaan yang masuk ke dalam suatu pribadi. Bukan hanya rasa cinta, ada pun rasa kosong, cemas, dan kesepian. Adjie Santosoputro pun mengungkapkan jika public figure memiliki kehidupan yang cukup ramai, di bawah sorot lampu dan perhatian seluruh orang.

Dari situlah rasa kosong yang dihadapi seorang public figure menjadi lebih berat, dan itulah yang membuat maraknya berita-berita yang ada. Mereka menutupi kekosongan tersebut dengan pelarian instan, salah satunya adalah perselingkuhan. Lantas, dari seluruh masalah-masalah yang ada, apakah menurutmu sebuah hubungan dapat bertahan di zaman ini?

.Ilustrasi cinta/ Foto: Unsplash

Nilai Komitmen yang Diam-Diam Masih Ada

Seiring berjalannya waktu, pasanganmu telah melihat kamu dalam kondisi terburuk namun tetap memilih untuk bertahan dalam hubungan, itulah komitmen sejati. Kenal sepenuhnya luar-dalam, tapi tetap dicintai dengan tulus. Banyak juga orang-orang yang masih bertahan dengan hubungannya setelah diterpa berbagai masalah dan perubahan yang ada.

Kembali pada penelitian yang dilakukan oleh Stanley & Markman, komitmen berdasarkan keharusan dapat muncul dari tekanan eksternal maupun internal. Akan tetapi, dapat kita camkan bahwa sebuah tekanan bukan hal yang selalu dinilai buruk. Tekanan tersebut dapat digambarkan sebagai masalah ekonomi, sosial, kepribadian, ataupun psikologis yang ada di dalam suatu hubungan.

Pribadi yang dewasa dapat mengolah masalah-masalah tertentu menjadi sebuah sumber kebahagiaan dan bukti perjuangan. Masalah dalam hubungan dapat terlihat seperti 'jebakan', tapi dalam kondisi tertentu masalah yang datang justru membantu menguatkan suatu hubungan dan menahan tindakan impulsif yang dapat merusak hubungan.

Dalam masalah-masalah yang datang seiring waktu, terbentuklah dedikasi untuk terus menguatkan diri dan mengingatkan kembali alasan awal sebuah komitmen terbentuk.

[Gambas:Instagram]

Pelajaran dari Mereka yang Bertahan

Sebuah unggahan dari Adjie Santosoputro kembali menghangatkan media masa di tengah berita-berita perpisahan public figure. Adjie kembali mengajak orang-orang untuk tidak terpengaruh dengan negativity bias dimana pikiran kita hanya terfokus pada hal-hal buruk sementara masih lebih banyak hal-hal baik yang ada.

Secara sederhana, Adjie meminta untuk menuliskan usia relasi dan pernikahan pada kolom komentar. Tak disangka dalam kolom tersebut, penuh dengan cerita-cerita bahagia dari orang-orang yang selama ini bertahan dengan komitmen mereka.

Melewati kolom komentar ini memberi kesadaran bahwa masih banyak yang mampu bertahan bukan karena cintanya tidak habis, melainkan kesadaran atas komitmen yang telah mereka ambil. Pada akhirnya, komitmen bukan hanya sekadar bertahan melalui rasa cinta atau keharusan, tetapi bentuk dari keputusan-keputusan kecil untuk tetap hadir, bahkan ketika hidup tidak mudah.

Jadi, untuk menjalani hubungan yang sehat dan langgeng, bukan hanya soal cinta. Rasa kasih sayang bisa saja padam, namun yang membuat itu tetap 'menyala' adalah komitmen diri yang telah memilih sejak awal siapa yang kita pilih untuk mendampingi dan kita dampingi seumur hidup.

Penulis: Anastasia Nadila
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS