Inspire | Love & Relationship

Sulitnya Merayakan Cinta 'In This Economy'

Senin, 20 Oct 2025 16:21 WIB
Sulitnya Merayakan Cinta 'In This Economy'
Ilustrasi mencintai di era ekonomi yang serba tak pasti. Foto: Freepik
Jakarta -

Bagi saya, jatuh cinta adalah sesuatu yang tak direncanakan. Mulai dari memandang paras seseorang atau dari modal komunikasi yang konon se-frekuensi, kita bisa dihadiahkan perasaan yang seketika memuncak, menggebu-gebu yang bahkan kita sendiri bertanya-tanya: apakah ini cinta atau sekadar kagum?

Dari komunikasi yang terus terjalin perasaan kian membuncah    seolah hormon dopamin mengalir deras di sekujur tubuh    yang tak disadari bermetamorfosa menjadi keinginan untuk memiliki. Tapi semakin kuat perasaan itu tumbuh, semakin besar pula rasa takut yang menyertainya. Bukan takut kehilangan, melainkan takut tidak cukup. Apalagi di keadaan seperti sekarang, mencintai seseorang seakan butuh modal-bukan hanya keberanian.

Walaupun tidak ada larangan merasakan jatuh cinta, tapi terkadang halangan besar cinta bukan kepada yang tak terbalas, melainkan situasi ekonomi yang serba tidak menentu. "In This Economy" bisa jadi penghalang untuk seorang merasakan cinta yang diharapkan.

Cinta Saat Ekonomi Serba Tak Jelas

Beberapa hari terakhir, di linimasa saya istilah "In This Economy" masih ramai diperbincangkan, segmentasi menyikapinya pun beragam: ada yang sebagai lelucon (meme), ada pula yang jadi pesan reflektif.

Saya seorang yang di barisan pesan reflektif. Mengingat keadaan realitas yang tak kunjung pulih, bahkan semakin mengkhawatirkan: PHK massal, pengangguran massif, hingga apa-apa serba mahal.

Krisis itu nyata: dari perusahaan yang berlomba memangkas tenaga kerja sementara harga kebutuhan harian terus menanjak. Lebih dari itu, menurut dari Trading Economics, bahwa Indonesia berada di urutan teratas negara yang tingkat pengangguran tertinggi di ASEAN, mencapai 4,76 persen pada periode Maret 2025, setara dengan lebih dari 7 juta orang tak memiliki pekerjaan.

Hal itu menimbulkan kekhawatiran bagi saya sebagai Generasi Z yang ternyata merupakan penyumbang tertinggi angka pengangguran tersebut-menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2025). Generasi yang disebut sebagai generasi emas mendatang justru terancam di masa depannya.

Pengangguran adalah parameter kondisi perekonomian suatu negara. Dengan data seperti itu menjadi alarm bagi saya untuk "mengencangkan ikat pinggang". Sebab fenomena ini mengubah juga kebiasaan saya, seperti, kebiasaan ngopi susu gula aren menjadi ngopi sachet; hingga membeli kaos band menjadi 4 bulan sekali. Ini bukan karena tidak sanggup, ini bentuk antisipasi "In This Economy" yang tak menentu.

Fenomena "In This Economy" adalah ironi kita saat ini. Ia tak lagi sekadar meme - melainkan kekhawatiran yang merongrong acap kali unggahan meme tersebut terlintas di beranda. Dari pertanyaan yang tumbuh tiap malam, "Apakah kita bisa melewati semua ini? Dengan gaji yang layak; terhindar dari PHK; dagangan yang berhasil laku setiap hari; hingga asmara yang bisa digapai?". Hal itu bukan sekadar pertanyaan kosong melainkan harapan batin agar dimanifestasikan oleh Sang Maha Kuasa.

Emosi vs Ekonomi: Ketika Rasa Tak Sejalan dengan Realitas

Fenomena "In This Economy" menuai berbagai masalah terutama soal kisah cinta. Di tengah ketidakpastian finansial ini membuat saya merayakan cinta menjadi terhambat; bukan lagi tentang keberanian melainkan modal yang kerap tak cukup. Bagaimana ingin mengajak pasangan kencan kalau saldo saja pas-pasan?

Realitas berbenturan, antara emosi yang membuncah melawan ekonomi yang tak terarah. Harga kopi yang semakin menggila, upah bulanan yang masih di bawah standar, rasanya untuk saat ini   seperti saya   menjalin hubungan kerap dipertimbangkan secara berantai.

Lagi-lagi bukan karena tak tahu cara menaklukkan doi, melainkan menjaga hubungan tak hanya diberi sajak Joko Pinurbo, bukan? Kita butuh kocek yang tak sedikit: memberi hadiah, mengajak ke tempat favoritnya, memesan daring menu favoritnya, hingga biaya operasional lainnya.

Tak jarang juga seliweran kasus berakhirnya hubungan akibat dari ekonomi yang tak mendukung. Hal itu yang membuat saya dalam merayakan cinta butuh pemikiran yang matang. Kekhawatiran finansial (financial worry), dalam studi How Individuals Perceive Their Partner's Relationship Behaviors When Worrying about Finances (2024), dapat mengubah persepsi pasangan ke arah negatif, bahkan berpotensi putusnya suatu hubungan. Bagi saya merayakan cinta, tak membutakan melainkan menjadi rasional. Rasional bisa dengan melihat permasalahan yang terjadi di negara kita.

Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) menunjukkan kasus perceraian karena masalah ekonomi mencapai 100.198 kasus. Walaupun faktor ekonomi menempati urutan kedua sebagai penyebab perceraian namun tetap menjadi faktor kuat dalam hubungan yang kandas. Saya tidak ingin terjerembab ke dalam jurang kenihilan itu.

Sebagai demografi terbesar saat ini, yakni Generasi Z, dengan jumlah sekitar 74,93 juta jiwa-menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2025)--menjadi tantangan tersendiri untuk mengarungi cinta di tengah realitas yang tak mendukung. Namun, pada akhirnya, saya sadar bahwa jatuh cinta di tengah ekonomi yang gamang ini bukan hanya tentang perasaan, tapi juga keberanian untuk tetap berharap meski realitas berkata sebaliknya.

Dari cara sederhana: nge-date di warung tepi jalan, bermain di taman kota sambil dengar "Rona Merah Langit" Kunto Aji, atau saling menghibur saat gaji belum turun. Hal-hal itu bisa dirayakan saat ini sebagai pelipur ketidakpastian finansial yang menyesakkan.

Mungkin cinta di masa sulit memang tak megah, tapi justru di situlah ia terasa paling nyata-karena lahir bukan dari kelimpahan, melainkan dari keberanian untuk tetap memberi meski dunia sedang kikir.

Penulis: Iqra Ramadhan Karim
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS