Inspire | Love & Relationship

Mencari Celah Kabur dari Siklus Kekerasan dalam Hubungan

Selasa, 21 Feb 2023 16:00 WIB
Mencari Celah Kabur dari Siklus Kekerasan dalam Hubungan
Foto: Freepik
Jakarta -

Tujuan utama menjalin sebuah hubungan percintaan adalah mendapatkan kebahagiaan dan tentu saja pasangan yang akan menghabiskan waktu hingga akhir hayat. Tapi, tidak pernah terlintas di pikiran siapapun bila relasi asmara—yang seharusnya menjadi jalan memperoleh kepuasan dalam hidup—bisa menjadi sebuah sangkar yang mengerikan.

Hal ini serupa dengan yang dialami oleh AS, seorang mahasiswi Universitas Pelita Harapan (UPH) yang menjadi korban kekerasan dalam hubungan oleh kekasihnya sendiri, BJK. Dalam sebuah thread Twitter yang ditulis AS dan kini tengah viral, memaparkan betapa ia harus menerima perlakuan kekerasan dari kekasihnya, mulai dari pukulan, jambakan, sampai menyeret dirinya.

Tak ayal aksi kekerasan yang dilakukan oleh kekasih AS itu pun dipicu oleh hal sepele, yakni menolak untuk pulang bersama. Bukan cuma kekerasan fisik, kekerasan verbal pun juga diterimanya hampir setiap hari. Lebih parahnya lagi, kekerasan tersebut sempat dilakukan di lingkungan kampus, tempat keduanya mengemban pendidikan. Meskipun penganiayaan yang dialaminya sudah berlangsung sejak Juni 2022, namun AS baru melaporkan kasus kekerasan tersebut ke Komnas Perempuan dan ke kepolisian beberapa waktu lalu.

Kasus kekerasan dalam hubungan atau pacaran (KDP) ini pun menguak sebuah fakta miris bahwa kasus seperti ini menempati posisi 3 besar sebagai kasus kekerasan di ranah privat terbanyak di Indonesia. Bahkan sepanjang 2021, tercatat ada 1.685 kasus KDP yang terjadi. 1.222 kasus diadukan ke lembaga layanan perlindungan dan 463 kasus lainnya diadukan ke Komnas Perempuan.

Itu pun hanya yang tercatat, yang tidak tercatat atau yang tak terlapor kemungkinan lebih dari jumlah tersebut. Meskipun kini masyarakat sudah aware dengan kasus-kasus serupa, namun di antara komentar di thread AS masih banyak juga yang mempertanyakan mengapa AS tidak langsung melaporkan kekasihnya itu sejak pertama kali kekerasan tersebut dilakukan.

Padahal, siklus kekerasan dalam sebuah hubungan tidak semudah itu untuk diputus atau korban dapat keluar dari "lingkaran setan" tersebut. Oleh sebab itu, sebelum menghakimi para korban kekerasan, pahami dulu siklusnya dan cari celah untuk keluarnya.

4 Tahap dalam Siklus Kekerasan dan Pelecehan

Banyaknya korban kekerasan dalam hubungan—pacaran atau pernikahan—yang terus berulang, kemungkinan dilandasi kurangnya pemahaman siklus kekerasan. Biasanya orang yang menjadi korban tidak sadar bahwa dirinya telah masuk ke dalam "lingkaran setan" dan sulit untuk keluar karena siklus yang tak terdeteksi.

Konsep siklus kekerasan dikemukakan pada tahun 1970-an oleh seorang psikolog bernama Lenore Walker dalam bukunya The Battered Woman. Buku tersebut merinci bagaimana perempuan menjadi korban kekerasan dan mengapa hal tersebut terus terjadi. Dilansir dari Very Well Health, siklus kekerasan dan pelecehan dibagi menjadi 4 tahap, berikut di antaranya.

1. Tension

Selama tahap tension atau ketegangan, stresor eksternal mungkin mulai terbentuk di dalam diri pelaku. Stresor eksternal bisa mencakup masalah keuangan, hari yang buruk di tempat kerja, kelelahan, atau hal sepele seperti tidak mau pulang bersama. Saat pelaku kekerasan merasa ketegangan dalam dirinya menumpuk dari luar, seiring berjalannya waktu, mereka akan marah dan kehilangan kendali.

Sementara pasangannya-yang menjadi target kekerasan-akan mencoba untuk mencari cara termudah untuk meredakan ketegangan tersebut untuk mencegah terjadinya kekerasan. Selama ini, orang yang berisiko jadi korban akan merasa cemas dan menjadi terlalu waspada di sekitar pelaku dengan harapan pelaku tidak melakukan apapun.

2. Kejadian

Sayangnya, pelaku abuse tergambar layaknya bom yang siap meledak kapanpun. Ketegangan yang menumpuk mau tak mau harus dilepaskan oleh pelaku untuk membantu mereka merasa seolah-olah mereka punya kekuatan dan kendali terhadap korban. Kekerasan yang terjadi seperti:

- Mengucapkan kata-kata hinaan saat memanggil pasangannya
- Mengancam menyakiti
- Mengontrol pasangannya, mulai dari tindakan, cara berpakaian, hingga hubungan yang dijalani
- Melakukan kekerasan fisik atau seksual
- Memanipulasi pasangan secara emosional yang bisa berupa tuduhan bahwa mereka berbohong

Pelaku juga bisa mengalihkan kesalahan atas perilaku yang dilakukannya kepada pasangan. Misalnya, jika pelaku melakukan kekerasan fisik, dia mungkin akan mengatakan bahwa tindakannya melakukan itu akibat korban berbuat sesuatu yang membuat mereka marah.

3. Rekonsiliasi

Saat tahap kejadian telah usai, korban kemungkinan menyadari bahwa pasangannya memiliki red flag dan mencoba untuk melepaskan diri dari hubungan tersebut. Namun, alasan mengapa banyak korban yang kembali terjerat adalah karena rekonsiliasi yang dilakukan oleh pelaku.

Dalam banyak kasus, orang yang melakukan kekerasan dan pelecehan akan berusaha memperbaiki dengan menawarkan hadiah dan bersikap 180 derajat dari sebelumnya—baik dan penuh kasih. Periode rekonsiliasi ini kerap disebut juga episode honeymoon yakni saat seseorang menunjukkan perilaku terbaiknya.

Ketika korban mengalami tahap ini, mungkin ia kembali merasa bahwa perilaku yang dilakukan pasangan sebelumnya kemungkinan hanya ketidaksengajaan. Cinta dan kebaikan yang dicurahkan oleh pelaku ini akan memicu reaksi dopamin dan oksitosin di otak korban. Korban pun terbuai dan seolah kembali ke mode normal.

4. Tenang

Pada tahap tenang, pembenaran atau penjelasan yang dibuat disampaikan oleh pelaku agar bisa dimaafkan. Misalnya, pasangan yang kasar mungkin mengatakan bahwa mereka menyesal, tetapi tetap menyalahkan faktor luar sebagai penyebab mereka berperilaku seperti itu dan membenarkan tindakan yang mereka lakukan.

Pelaku juga menyangkal bahwa tindakan mereka kepada korban tidak separah itu. Beberapa kasus di antara mungkin menyalahkan korban karena perilaku mereka juga menjadi faktor penyebab amarah mereka. Sifat yang meyakinkan bisa membuat korban percaya bahwa insiden kekerasan yang mereka alami memang tidak seburuk itu dan tidak memperpanjang agar tidak terjadi ketegangan selanjutnya.

Celah Jalan Keluar dari Siklus Kekerasan

Ketika memulai sebuah hubungan, beberapa orang mungkin dalam keadaan lemah secara mental sehingga membutuhkan dukungan dari orang lain untuk mencapai kebutuhan emosional yang mereka cari. Dalam keadaan insecure kepada diri sendiri, orang cenderung sulit untuk melihat secara jelas mana yang terbaik untuk dirinya. Tak heran, merekalah yang bisa menjadi sasaran empuk pelaku kekerasan.

Sulit bagi korban yang lemah secara mental untuk melepaskan diri dari siklus kekerasan, terutama jika pasangan telah dianggap sebagai "penyelamat" dalam hidup mereka dan bisa memenuhi kebutuhan emosional yang dicari selama ini. Tapi bukan tidak mungkin untuk kamu yang terjebak, lepas dari siklus mengerikan tersebut.

Langkah pertama adalah mengakui bahwa pertama kali kamu melihat perilaku kasar pasanganmu itu merupakan red flag pertama dan bukan kesalahan. Kamu juga akan mengetahui bahwa periode honeymoon dan menyimpulkan bahwa itu adalah ciri paling kuat dari hubungan toksik.

Walaupun kamu dimanjakan oleh cinta oleh pasanganmu pada saat ini, kamu harus menyadari bahwa periode tersebut hanyalah tindakan untuk membantu pelaku mendapatkan kendali atas dirimu. Jika sudah tidak beres, jangan takut dengan ancamannya dan carilah teman atau keluarga yang bisa kamu percaya.

Bila sudah dalam terdesak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyediakan layanan Call Center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129. Selain itu, kamu juga bisa mengadukan kasus kekerasan yang kamu alami atau orang di sekitarmu dengan melakukan aduan ke nomor WhatsApp 08111-129-129.

Ingatlah, sebagai manusia kamu berharga, dan tidak ada satu orang pun yang boleh memperlakukanmu buruk. Sebelum kamu mencintai orang lain sebegitunya, kamu harus mencintai dirimu dulu sebegitunya.

[Gambas:Audio CXO]

(DIR/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS