Inspire | Love & Relationship

Hookup Culture Di Kalangan Remaja

Minggu, 02 Jan 2022 13:17 WIB
Hookup Culture Di Kalangan Remaja
Foto: Pexel Cottonbro
Jakarta -

Aplikasi kencan online yang beredar di Indonesia gak cuma dimanfaatkan oleh penggunanya untuk mencari pasangan yang serius, beberapa penggunanya bahkan memanfaatkan aplikasi tersebut untuk mencari kepuasan seksual yang dikenal dengan sebutan 'hookup'.

Tidak hanya di aplikasi kencan online, media sosial seperti Twitter atau aplikasi anonymous seperti Whisper juga banyak berkeliaran remaja-remaja Ibukota yang mencari partner yang bisa mem-provide kepuasan seksual mereka. Hal ini diperkuat dengan polling yang pernah dilakukan oleh CNN Indonesia tahun 2019 yang menunjukkan, mayoritas pengguna dating apps di Indonesia sebanyak 41,1 persen hanya menginginkan teman tidur semata.

Salah satu contoh hookup culture yang populer di kalangan remaja adalah Friends With Benefits atau dikenal dengan istilah FWB. "Looking for FWB, rules on chat. F25" inilah salah satu contoh postingan warga Twitter yang mencari partner hookupnya di media sosial.

Hookup culture sendiri kalau di definisikan adalah budaya yang menerima dan mendorong seks bebas, berhubungan intim termasuk one-night stand, dan aktivitas seksual lainnya. Dilakukan oleh dua orang yang bukan pasangan atau bahkan mereka baru mengenal satu sama lain, tidak berpacaran, dan tidak memiliki hubungan yang serius. Mereka juga tidak mengharapkan hubungan emosional lebih lanjut atau rencana apapun di masa depan, kecuali hanya hubungan seks sesaat.

Istilah hookup ternyata sudah populer di Amerika Serikat sejak tahun 2000. Istilah hookup juga bisa disebut sebagai seks tanpa hubungan (non-relationship sex), atau seks tanpa kencan (sex without dating). Bisa dibilang, konsep hookup sudah dianggap lumrah di kebudayaan pergaulan barat, tapi dianggap tidak ramah di Indonesia yang menjunjung tinggi nilai keagamaan.

Yang menjadi pertanyaan adalah, "Apakah remaja Indonesia bisa menahan rasa 'baper' (terbawa perasaan) ketika menjalani hookup culture?"

Sebagai gambaran, Saya mewawancarai seorang wanita yang sudah berpengalaman dalam dunia hookup culture selama kurang lebih 10 tahun. Wanita tersebut bernama Milka (bukan nama sebenarnya), seorang pegawai swasta yang berusia 27 tahun.

Sudah lebih dari puluhan pria yang menjadi partner seksual Milka selama kurun waktu 10 tahun tersebut. Beberapa diantaranya ada yang sampai terbawa perasaan, dan sebagian besar lainnya hanya berhubungan seks sesaat atau one night stand. Ketika Saya bertanya tentang pengalaman pertamanya tercebur dalam dunia hookup culture, Milka mengaku kalau dia mendapatkan partner seksualnya dari media sosial Twitter.

"I'm looking for a sex partner who can fulfill my fantasy. If you are interested, hit me up! F27 here." tulis Milka dalam cuitannya di Twitter. Tidak untuk bercanda, alasan Milka untuk terjun di dunia hookup culture murni untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dan untuk mencari kesenangan semata.

Meskipun hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis dan untuk mencari kesenangan, ada beberapa syarat yang diajukan Milka kepada calon partner seksualnya, si laki-laki harus tinggi dengan berat badan yang cukup besar, memiliki brewok, dan harus berusia lebih tua darinya.

Sebelum berhubungan seksual, Milka juga meminta calon partner seksualnya untuk direct message ke akun Twitternya untuk mengirimkan foto close up wajah, dan full body. Setelah sesuai dengan kriteria yang Milka mau, Milka juga segera mengirimkan fotonya ke calon partner seksualnya dan langsung memberitahu lokasi keberadaannya.

Begitulah kurang lebih flow dari seseorang yang mencari friends with benefits di media sosial. Ketika Saya bertanya kepada Milka, "Apakah pernah sampai terbawa perasaan?" Milka menjawab "Pernah". Tetapi hubungan mereka tidak pernah berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Ketika Milka mulai agresif, si laki-laki akhirnya mulai pergi tanpa pamit (ghosting).

Ada juga seorang laki-laki bernama Aldi (bukan nama sebenarnya) yang sudah sekitar 3 tahun bermain di aplikasi anonymous Whisper. Berbeda dengan Milka, Aldi sebagai laki-laki tidak pernah merasa baper sekalipun. Tujuan dari Aldi bermain aplikasi Whisper awalnya hanya untuk mencari teman ngobrol. "Kalo bisa sampe 'tidur', menurut gue itu bonus. Karena basic nya gue cuma nyari ngobrol yang bisa dengerin cerita gue, dan kehidupan gue."

Aldi menjelaskan kalau sampai saat ini, belum ada kriteria yang pas dari partner seksual Aldi untuk dijadikan pasangan yang serius. Aldi pun juga sebenarnya juga belum ingin menjalin hubungan terikat dengan lawan jenisnya. Aldi lebih memilih menjalani hubungan seperti ini tapi dengan durasi long term.

Durasi long term yang dimaksud Aldi adalah dia bisa me-maintain hubungannya dengan partner seksualnya dalam waktu yang cukup lama. Misalkan, disaat Aldi atau partner seksualnya sedang dalam kondisi kebutuhan seksual yang harus dipenuhi, salah satu dari mereka mulai menghubungi, dan mereka membuat janji untuk saling memenuhi kebutuhan seksual masing-masing.

Beda cerita dengan Shinta (lagi-lagi bukan nama sebenarnya), wanita berusia 23 tahun ini pertama kali tercebur ke dalam dunia hookup culture tanpa di sengaja. "Pada waktu itu gue dalam kondisi gak sadar karena mabuk, gak ada niatan sama sekali, dan semua terjadi gitu saja. Itu gue lakuin sama temen gue sendiri di kosannya".

Shinta yang mengaku pada saat itu masih 'polos', dan tidak mengenal dengan kebiasaan hookup culture merasa terbawa perasaan dengan temannya sendiri. "Awalnya gue ragu dan mikir, apakah yang gue jalanin ini benar atau salah? Apalagi ditambah gue melakukan hubungan seksual untuk yang pertama kali sama dia". Seiring berjalannya waktu, Shinta semakin mengerti dengan konsep hookup culture dan merasa nyaman berada di zona ini. Sampai singkat cerita, mereka berdua terbawa perasaan satu sama lain dan masih menjalin hubungan kekasih sampai sekarang.

Meskipun Shinta dan pasangannya masih berpacaran sampai sekarang, tidak bisa di pungkiri kalau kebiasaan hookup culture tidak bisa hilang begitu saja. Bahkan sampai saat ini, Shinta mengaku kalau dia masih me-maintain beberapa laki-laki yang jadi partner seksualnya. "Gue LDR sama pasangan gue, karena gak bisa ketemu dalam waktu yang lama, gue butuh orang lain untuk memenuhi social life gue dan physical needs gue. Tapi di satu sisi, gue sayang sama laki gue, meskipun terkadang gue juga suka baper sama FWB-an gue" kata Shinta ketika menjelaskan alasan kenapa dia nyaman berada di zona hookup culture.

Shinta juga menceritakan kalau mungkin awalnya kita akan denial kalau kita tidak merasa terbawa perasaan, tapi deep down inside sebenarnya rasa baper itu mungkin muncul secara tidak langsung. Tinggal bagaimana caranya kita saja agar rasa baper tersebut tidak muncul. Salah satu cara yang paling sering dilakukan adalah ghosting, bermediasi, atau jujur atas perasaan masing-masing. Dari situ, bisa ditarik kesimpulan tentang nasib dari apa yang sedang dijalankan.

Rules and Agreements

Dari tiga narasumber yang Saya wawancarai, ternyata ketika menjalani hookup culture atau khususnya friends with benefits, terdapat rules and agreement yang harus disetujui di antara keduanya. Ada empat poin penting yang Saya kompilasi, diantaranya:

  • Tidak boleh terbawa perasaan
  • Tidak boleh mencium selain bibir. Karena kalau mencium yang lain seperti kening atau pipi bisa men-trigger kita untuk terbawa perasaan, dan feeling nya pun akan berbeda
  • Tidak boleh cuddling, tapi hanya melakukan hubungan seksual
  • Tidak bermesraan dan bersikap seperti teman biasa di ruang publik

Dari penelusuran saya di media sosial Twitter dan aplikasi anonymous Whisper, fenomena ini sebenarnya bukan hal baru di Jakarta. Sudah banyak terjadi, walaupun dilakukan secara diam-diam karena seks masih dianggap tabu. Tapi faktanya, hookup culture sudah dipraktekkan.

Sebuah survey yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser Indonesia melalui sebuah brand alat kontrasepsi terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia menemukan, 33 persen remaja pernah melakukan hubungan seksual. Dari hasil survey tersebut, 58 persennya melakukan hubungan seksual di usia 18 sampai 20 tahun. Dan pastinya, mereka semua belum pernah menikah.

Selain itu sebuah survey yang dilakukan oleh Jessie Ford dan Paula England dari Online College Social Life Survey (OCSLS) terhadap 20.000 mahasiswa di Amerika Serikat menunjukkan, 40 persen hookup dilakukan dengan persetubuhan dan 35 persen melakukan hookup tidak lebih dari bercumbu dan tidak menyentuh alat kelamin. Sisanya hanya melakukan oral seks dan atau melakukannya dengan tangan. Beberapa mahasiswa juga melakukan hookup lebih dari sekali dengan partner yang sama, dan 29 persen di antaranya sudah melakukan persetubuhan saat pertama kali hookup.

Kelebihan dan Kekurangan

Dari tiga orang yang saya wawancara tadi, cukup mengejutkan kalau ternyata menjalani hookup culture memiliki lebih banyak kekurangan daripada kelebihannya. Disini Saya juga mengkompilasi kelebihan dan kekurangan dalam menjalani hookup culture.

Kelebihan

  • Adanya rasa percaya diri yang timbul karena merasa masih ada orang lain yang suka
  • Tidak pusing harus bertengkar layaknya kedua pasangan yang sedang bertengkar
  • Bisa memenuhi hasrat seksual tanpa harus terikat dalam suatu hubungan

Kekurangan

  • Seringkali terjebak rasa saling suka, tetapi tidak ingin terikat dalam suatu hubungan
  • Rentan terkena penyakit menular seksual
  • Berpotensi menyebabkan ketidakseimbangan mental
  • Menjadi zona nyaman dengan menjalani hubungan tanpa komitmen
  • Tidak bisa menuntut lebih layaknya dengan pasangan yang terikat
  • Buang buang waktu untuk hal yang tidak pasti

Kesimpulan Tentang Hookup Culture

Sebelum kita mencari jawaban tentang pertanyaan di awal tadi, ada kesimpulan menarik dari Lisa Wade, seorang sosiolog yang menulis buku berjudul American Hookup: The New Culture of Sex on Campus yang diterbitkan pada tahun 2017. Dalam buku itu Lisa menceritakan bagaimana hookup juga berakhir dengan perasaan saling suka.

Belum bisa ditarik secara pasti jawaban dari pertanyaan tadi. Hal ini karena belum ada survey atau studi yang valid untuk menjelaskan tentang problematika hookup culture di Indonesia. Tapi yang pasti, di Indonesia budaya ini sudah terjadi. Masyarakat tidak bisa lagi menutup mata atas budaya seks baru ini.

Fenomena ini juga sulit dibendung, apalagi hookup bisa dilakukan secara online lewat beragam aplikasi. Tapi kalau ditarik kesimpulan dari penelusuran saya terhadap ketiga narasumber tadi, mereka kompak menjawab "fifty-fifty". Semua tergantung dengan kebutuhan orang yang menjalani hookup culture.

Tapi yang perlu diingat adalah, setiap apa yang kita lakukan, pasti ada konsekuensi dan resikonya. Apapun yang kamu pilih, itu adalah pilihanmu. Tapi bersiaplah untuk bertanggung jawab dan menerima resiko atas apa yang dilakukan. Dalam artikel ini Saya sebagai penulis juga tidak menyarankan siapapun untuk terjun kedalam hookup culture, tetapi hanya memberikan informasi seputar semua hal yang harus kamu ketahui tentang apa itu hookup culture.

[Gambas:Audio CXO]



(PUA/MEL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS