Inspire | Human Stories

Solidaritas Nasional: Dari Rakyat untuk Rakyat

Selasa, 09 Dec 2025 18:01 WIB
Solidaritas Nasional: Dari Rakyat untuk Rakyat
Banjir Bandang di Sumatera Utara dan Aceh gerakan warga untuk membantu. Foto: Antara
Jakarta -

Ketika banjir dan longsor melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, kita kembali diingatkan bahwa bencana selalu datang tanpa permisi. Air bah menerjang rumah, memutus jalan, dan memaksa ribuan keluarga mencari tempat berteduh. Namun, di tengah gelapnya situasi, ada cahaya lain yang justru terlihat lebih terang, yaitu solidaritas rakyat.

Sebelum sirene bantuan formal terdengar, masyarakat sudah lebih dulu berdiri. Mereka turun ke sungai, mengevakuasi tetangga, dan mengubah rasa cemas menjadi aksi nyata. Bencana selalu mengungkapkan kelemahan alam, tetapi kali ini ia juga memperlihatkan kekuatan sebuah bangsa.

Solidaritas yang mengalir cepat ini tidak muncul dari ruang kosong, melainkan tumbuh dari empati yang sudah lama tertanam dalam kultur Indonesia, yaitu gotong royong yang sejatinya tidak pernah benar-benar hilang. Ketika video banjir besar dan longsor memenuhi beranda, lalu foto orang hilang dibagikan ribuan kali, video warga ketika terjebak di hutan Tapanuli Utara, atau audio saat malam hari teriakan minta tolong di Aceh Tamiang menggambarkan betapa parahnya kondisi, publik merespons bukan dengan panik, tetapi dengan kesediaan untuk membantu.

.Banjir Sumatera gerakkan warga untuk menyatukan empati dalam sebuah solidaritas yang kuat./ Foto: Antara

Gerak Cepat ala Rakyat

Di era media sosial, jarak emosional kian tipis, derita seseorang di lembahan perbukitan Sumatera bisa terasa dekat oleh orang yang tinggal di satu kota dengan presiden. Di lapangan, warga menjadi penolong pertama. Di beberapa desa, evakuasi dilakukan tanpa menunggu alat berat atau pasukan berseragam resmi, warga menyeberangi arus atau menembus jalan berlumpur dengan alat seadanya.

Ibu-ibu mendirikan dapur umum dari peralatan rumah masing-masing, memasak untuk siapa pun yang datang ke posko. Pemuda desa membersihkan jalan yang tertutup lumpur hanya dengan sekop dan cangkul, berusaha membuka akses bantuan yang terisolasi. Komunitas lokal bergerak cepat, seolah mengatakan bahwa solidaritas bukanlah slogan, melainkan naluri.

Komunitas sipil ikut mengisi celah yang tidak mampu ditangani negara dalam hitungan jam pertama. Karang taruna, komunitas motor, kelompok rumah ibadah, dan mahasiswa turut menggalang logistik. Mereka membentuk rantai bantuan yang menghubungkan kota dan desa, memindahkan makanan, air bersih, dan pakaian dari tangan ke tangan. Di saat bencana memisahkan keluarga, solidaritas justru menyatukan orang-orang yang bahkan tak pernah saling kenal.

Media sosial lalu menjadi katalis besar. Tagar #PrayForSumatera mendominasi linimasa, unggahan soal kebutuhan mendesak di posko menyebar dalam hitungan menit. Lebih dari itu, publik ramai-ramai membagikan ulang foto orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya, upaya kolektif untuk membantu pencarian di tengah situasi darurat.

Bahkan ada seorang yang menyewa alat berat untuk mencari ibunya diantara reruntuhan rumah dan dan endapan lumpur. Pada saat genting seperti ini viralitas bukan lagi sekadar fenomena digital yang kosong, tetapi menjadi alat penyelamat. Empati pun bergerak jauh lebih cepat daripada kabar resmi.

[Gambas:Instagram]

Di tengah gelombang solidaritas ini, muncul figur-figur publik yang memainkan peran nyata, sekaligus menstimulasi gerakan sosial lainna, Ferry Irwandi, misalnya, berhasil menggalang Rp10,3 miliar dalam hanya 24 jam, salah satu mobilisasi donasi publik tercepat tahun ini. Ia bersama timnya segera menyalurkan bantuan tersebut ke berbagai titik terdampak, memastikan bahwa solidaritas bukan hanya angka di layar, tetapi makanan, air minum, dan obat-obatan yang sampai di tangan para penyintas.

Sementara itu, beberapa publik figur lainnya seperti, komika Praz Teguh memilih turun langsung ke lokasi bencana, melintas deras sungai, mengangkut dan membagikan logistik sambil melaporkan kondisi lapangan agar publik tetap tersadar bahwa medan bencana bukan sekadar headline berita atau bahkan hanya dianggap mencekam di media sosial saja, tetapi kehidupan nyata yang sedang bertahan.

Tidak sedikit pula warga dari berbagai kota yang mengorganisir bantuan secara mandiri, mengirim truk logistik dari dana swadaya komunitas, mengumpulkan pakaian layak, susu bayi, selimut, dan genset, atau membentuk tim kecil untuk mengantarkan bantuan ke wilayah yang sulit dijangkau. Mahasiswa di beberapa kota turun ke jalan berusaha mengumpulkan donasi secara langsung, seolah ingin menegaskan bahwa di negeri ini, kepedulian lebih kuat daripada sekadar retorika.

Rakyat, dalam segala keragamannya, menjadi tulang punggung dari respons kemanusiaan yang tidak menunggu birokrasi.

.Ribuan warga terdampak banjir bandang di Sumatera/ Foto: Antara

Tantangan dari Solidaritas Masyarakat

Di Aceh, banjir besar akibat hujan ekstrem membuat ada kampung yang hilang dan memutus akses vital. Di Sumatera Utara, longsor dan banjir menyapu permukiman hingga beberapa desa terisolasi. Di Sumatera Barat pun tidak kurang parahnya. Semua ini menggambarkan bahwa krisis tidak pernah sederhana, ia merentang dari kerusakan fisik hingga trauma sosial.

Namun, solidaritas yang besar tidak menghapus tantangan yang sama besarnya. Banyak bantuan tidak bisa masuk karena jalan amblas. Pengungsian terancam penyakit akibat sanitasi buruk. Kelompok rentan. anak, lansia, dan ibu hamil akan semakin rentan dalam situasi seperti ini.

BMKG terus memperingatkan potensi cuaca ekstrem susulan, yang berarti penduduk harus bersiap menghadapi risiko lanjutan. Pada titik ini, solidaritas bukan hanya tentang memberi, tetapi juga tentang bertahan melindungi satu sama lain. Kita tentu dapat merayakan solidaritas yang lahir spontan, tetapi kita juga perlu jujur bahwa solidaritas tidak boleh menjadi substitusi dari mitigasi.

Indonesia tidak bisa terus mengandalkan kebaikan rakyat untuk menambal kegagalan sistemik. Diperlukan tata ruang yang lebih tegas, pengawasan pembukaan lahan yang disiplin, sistem peringatan dini yang efektif, infrastruktur yang tahan terhadap cuaca ekstrem, serta pejabat yang tidak bodoh dan rakus, meskipun pada realitanya itu yang terjadi, tetapi ia tidak boleh menjadi alasan negara untuk terus 'datang terlambat.'

Akhirnya, setiap bencana selalu membawa dua cerita, yaitu tentang reruntuhan dan tentang tangan-tangan yang membantu mengangkatnya. Narasi kedua inilah yang membuat kita tetap percaya bahwa bangsa ini tidak berdiri di atas individualisme, melainkan pada kepedulian yang hidup. Solidaritas dari rakyat untuk rakyat adalah wajah terbaik Indonesia saat ini, wajah yang hanya muncul ketika kita diuji.

Namun, selalu ada pertanyaan yang tersisa jika rakyat bisa bergerak secepat ini menyelamatkan sesamanya, apakah negara siap bergerak secepat itu untuk mencegah agar bencana serupa tidak terus berulang?

Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS