Ada satu pemandangan yang selalu terasa ganjil bagi saya setiap kali menonton siaran televisi nasional: seorang juru bahasa isyarat berdiri di sudut layar, lebih kecil dari logo stasiun, seolah ditempatkan di sana bukan karena urgensi, tapi sekadar memenuhi kewajiban formal.
Saya sering membayangkan bagaimana jika posisi itu dibalik? Apa jadinya kalau porsi pembawa acara diperkecil, sementara juru bahasa isyarat yang memenuhi layar? Apakah masyarakat akan protes? Atau mungkin baru pada saat itu mereka menyadari betapa timpangnya akses informasi selama ini bagi jutaan warga Tuli di negeri ini?
Politik Bahasa dan Warisan Kolonial
Bayangan sederhana saya mengenai bagaimana sebuah konten dipresentasikan di kanal media arus utama mengantarkan kita pada persoalan besar yang jarang disentuh: bahasa, kekuasaan, dan warisan kolonial yang diam-diam membentuk cara masyarakat di negeri ini memandang ketulian—juga isu disabilitas lainnya.
Nyatanya, kita terlampau biasa hidup di dunia yang terpusat pada suara. Begitu terbiasa, sampai-sampai lupa bahwa "normal" adalah kesepakatan historis yang lahir dari urusan-urusan politis, berupa warisan kolot kolonialisme, sistem pendidikan yang kelewat menomorsatukan oralism, dan budaya yang terus mengukur kecerdasan dengan indikator kemampuan berbicara—bukan berbahasa.
Ketika saya bekerja di isu aksesibilitas, saya semakin sadar bahwa perjuangan komunitas Tuli bukan hanya soal juru bahasa isyarat, caption, atau teknologi. Inti persoalannya jauh lebih struktural: siapa yang mengatur bahasa, siapa yang mengendalikan pengetahuan, dan suara siapa yang dianggap paling layak menentukan apa itu akses.
Pada titik ini, saya tidak sedang membahas soal inklusivitas. Perkara utamanya di sini adalah dekolonialisasi. Istilah "dekolonialisasi" mungkin terdengar kaku dan berbau ideologi yang bersifat akademis, tetapi ia sebenarnya bicara tentang hal yang sangat manusiawi: meruntuhkan sistem yang selama puluhan tahun menempatkan bahasa lisan sebagai standar peradaban.
Dalam konteks Tuli, Paddy Ladd melalui "Understanding Deaf Culture: In Search of Deafhood" menyebut dekolonialisasi sebagai proses membongkar, menolak, dan merebut kembali kekuasaan atas bahasa, identitas, epistemologi, serta pengalaman hidup Tuli yang selama ini dibentuk, dikendalikan, atau ditekan oleh paradigma kolonial, baik kolonialisme literal maupun kolonialisasi pengetahuan oleh budaya mayoritas dengar (audisme).
Jika melihat realita yang ada Indonesia, jejak kolonialisme (dari era pendudukan Belanda) pun tidak bisa dimungkiri. Akarnya terasa menancap kuat pada sistem pendidikan kita, yang terasa abai terhadap aspek-aspek inklusivitas. Betapa banyak Sekolah Luar Biasa yang masih mengadopsi pendekatan oralism—anak Tuli terus dipaksa membaca gerak bibir dan dipaksa berbicara, sedang mempergunakan bahasa isyarat justru dianggap "menghambat perkembangan".
Padahal penelitian linguistik sejak 1970-an telah menunjukkan hal sebaliknya: anak Tuli yang mendapat akses bahasa isyarat sejak dini justru memiliki perkembangan kognitif, bahasa, dan literasi yang lebih baik.
UNESCO bahkan sudah ikut menegaskan bahwa bahasa isyarat harus menjadi bahasa pertama bagi anak Tuli. Namun, ironi tetap terjadi.
Menurut dokumen konsultasi Global Education Monitoring (GEM) UNESCO, dari sekitar 34 juta anak Tuli di dunia, lebih dari delapan puluh persennya—termasuk di Indonesia—tidak memiliki akses memadai terhadap pendidikan berbasis bahasa isyarat.
Angka tersebut jelas bukan hanya statistik, melainkan cermin dari politik bahasa yang gagal mengakui bahwa manusia tidak hanya belajar lewat telinga.
Ketika Kebijakan Tak Berpihak
Beberapa waktu lalu, wacana bahasa isyarat masuk kurikulum sempat menjadi pembahasan di berbagai media nasional. Isu itu muncul ketika sejumlah tokoh publik dan kementerian mulai berbicara tentang pentingnya literasi bahasa isyarat di sekolah-sekolah.
Publik lantas menanggapinya dengan reaksi yang cukup beragam: ada yang antusias, ada yang bingung, ada pula yang menolak dengan alasan "nanti anak-anak malah tidak bisa bicara".
Pola ini tentu saja menampakkan cara pandang ala kolonial. Hal yang sangat familiar, mengingat sampai hari ini masyarakat selalu mengabaikan unsur inklusivitas, dan terang-terangan memaksa bahasa lisan sebagai kewajiban.
Bahasa isyarat, faktanya masih dipandang sebagai "alternatif", bukan sebagai bahasa, apalagi bagian dari identitas budaya Tuli. Padahal memasukkan bahasa isyarat ke kurikulum bukan hanya soal menambah mata pelajaran, melainkan pengakuan negara bahwa bahasa visual juga sah dalam sistem pendidikan. Wacana itu pada akhirnya mereda begitu saja. Tidak ada kejelasan arah, apalagi tindak lanjut yang konkret.
Namun, bagi saya, kegaduhan singkat itu justru memperjelas satu hal: betapa kuatnya struktur kolonial yang membentuk cara kita memahami bahasa. Masyarakat merasa cukup dengan akses minimal; negara merasa cukup dengan wacana tanpa kebijakan; padahal bagi komunitas Tuli, bahasa isyarat adalah fondasi dari seluruh pengalaman hidup.
Jika Indonesia sungguh ingin menghadirkan keadilan, maka pembicaraan tentang kurikulum tidak boleh berhenti sebagai pemberitaan musiman. Ia harus menjadi bagian dari kebijakan jangka panjang yang mengakui bahasa isyarat sebagai bahasa penuh, bukan sebagai alat pengganti.
Akses yang Ditentukan oleh Mereka yang Tidak Menggunakannya
Masalah besar lainnya muncul ketika aksesibilitas diputuskan oleh mereka yang tidak menggunakannya—dan terlalu malas untuk memikirkannya lebih jauh.
Berbagai alasan klise ala birokrat seperti "tidak ada anggaran untuk juru bahasa isyarat," "belum dapat restu dari atasan," atau bahkan menyimpulkan bahwa karena audiens Tuli tidak hadir, sehingga juru bahasa isyarat dianggap tidak perlu menjadi tameng untuk ketidakadilan yang nyata.
Di banyak acara pemerintah, misalnya, juru bahasa isyarat baru dipanggil menjelang acara dimulai. Perlakuan yang tak adil pun tercermin di balik layar TV, di mana para juru isyarat tidak diberi naskah lengkap. Kinerja seadanya pun terpraktikkan dalam siaran layanan publik, yang menganggap caption otomatis, sekalipun salah, sebagai usaha yang sudah cukup.
Saya sendiri pernah menghadiri sebuah konferensi besar yang dilabeli "inklusif". Ketika saya memberi masukan: bahwa posisi juru bahasa isyarat terhalang lampu, panitia menjawab, "Yang penting ada." Kalimat yang sekilas terdengar sederhana itu jelas mencitrakan bias yang besar: bahwa keberadaan Tuli dianggap pelengkap, bonus, bukan subjek utama informasi.
Temuan-temuan tersebut akan terasa lebih ironik, ketika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, yang menunjukkan bahwa lebih dari 21 juta penyandang disabilitas masih kesulitan mengakses informasi publik secara utuh.
Jelas sekali, angka tersebut tidak muncul dari ketiadaan. Di sana terdapat struktur yang menempatkan bahasa isyarat-dan dengan sendirinya komunitas Tuli—pada ranah yang terpinggirkan.
Oleh sebab itu, rasanya mengupayakan inklusivitas tanpa menggoyahkan pusat kekuasaan hanyalah kosmetik belaka. Dan kita tahu, kosmetik tidak akan pernah bisa menjadi obat terhadap luka bernama ketidakadilan—ia hanya mempercantik permukaannya semata.
Jika kita ingin bicara keadilan Tuli, maka kita juga harus berbicara tentang siapa yang laik memimpin. Dekolonialisasi, dalam hal ini, berarti wajib mempertimbangkan pemindahan pusat kendali penentu kebijakan, dari "Hearing-led" menjadi "Deaf-led".
Yang ingin saya katakan ialah: ketika komunitas Tuli diberi kesempatan untuk terjun atau bahkan memimpin penyusunan pedoman akses, kualitas layanan yang diproyeksikan boleh jadi meningkat drastis.
Ketika Tuli terlibat sejak perencanaan, bukan hanya pascapelaksanaan, hasilnya punya kans yang lebih akurat, lebih manusiawi, dan lebih enak diikuti, karena mereka memang mengerti—bukan pura-pura mau memahami. Sebab mereka tahu dari pengalaman langsung: apa yang dibutuhkan, bukan sekadar menebak atau meniru standar "hearing-led" yang seringkali tidak relevan. Komunitas Tuli memahami seluk-beluk komunikasi visual, tantangan aksesibilitas di lapangan, dan cara menyampaikan informasi agar benar-benar dapat diterima.
Membayangkan Masa Depan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)
Saya membayangkan suatu masa ketika BISINDO bukan lagi dipelajari sebagai "keterampilan tambahan", tetapi sebagai pengetahuan dasar yang dihargai setara dengan bahasa lain. Ketika sekolah mengajarkan bahasa isyarat bukan untuk "menolong mereka yang Tuli", tetapi karena bahasa visual adalah bagian sah dari keberagaman linguistik Indonesia. Ketika juru bahasa isyarat tidak lagi diposisikan sebagai dekorasi layar, tetapi sebagai bagian integral dari produksi informasi publik.
Saya membayangkan suatu negara yang memahami bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi—ia adalah politik. Dan ketika kita bicara politik bahasa, kita tidak bisa menutup mata dari fakta bahwa komunitas Tuli telah lama berada di posisi paling tidak diuntungkan.
Menulis ini, saya tidak sedang menawarkan solusi instan. Yang saya tawarkan adalah ruang refleksi: bagaimana jika kita berhenti percaya bahwa dunia harus selalu dipandu oleh telinga? Bagaimana jika kita mengakui bahwa ada manusia yang memahami dunia bukan lewat suara, tetapi lewat cahaya, gerak, dan ekspresi wajah? Bagaimana jika kita memungkinkan generasi baru tumbuh memahami bahasa isyarat sebagai bagian dari kehidupan mereka, bukan sesuatu yang eksotis atau asing?
Politik bahasa menentukan siapa yang dihargai dan siapa yang tak kasat mata; kolonialisme menentukan siapa yang dianggap normal; dan nasib komunitas Tuli hari ini adalah cermin dari keduanya.
Mungkin sudah waktunya kita menggeser layar: bukan lagi mengecilkan juru bahasa isyarat di pojok, tetapi menempatkan mereka-dan bahasanya-di pusat perhatian. Bukan sebagai simbol, tetapi sebagai bagian sah dari cara bangsa ini berkomunikasi.
Dekolonialisasi adalah jalan panjang. Tetapi perjalanan panjang selalu dimulai dari keberanian paling sederhana: keberanian mendengarkan bahasa yang tak terdengar-dan mengakuinya sebagai milik kita bersama.
Ditulis oleh: Bagja Wiranandhika Prawira*
(*) Co-founder Silang.id dan Praktisi Budaya Tuli.