Inspire | Human Stories

Bertemu Oh Su Hyang, 'Seniman' Komunikasi dari Korea Selatan di Makarya

Senin, 03 Nov 2025 15:45 WIB
Bertemu Oh Su Hyang, 'Seniman' Komunikasi dari Korea Selatan di Makarya
Oh Su Hyang di Makarya, Gramedia Matraman, Jakarta (Jumat, 31/10/2025). Foto: CXO Media
Jakarta -

Oh Su Hyang, penulis buku laris Bicara Itu Ada Seninya, mampir ke Makarya, Gramedia Matraman, pada Jumat (31/10/20) sore lalu. Meski namanya tak asing lagi bagi pembaca setia genre buku self-improvement di tanah air,  ini merupakan kali pertamanya berkunjung ke Indonesia.

CXO Media, bersama sejumlah awak media lainnya, berkesempatan langsung untuk menemui Oh. Di tengah agendanya yang padat, pertemuan singkat kami dengannya menyisakan pengalaman penuh kesan. Sang penulis, yang membahas banyak trik berkomunikasi pada buku-bukunya itu, bahkan memberi tips secara langsung—menyatakan karya tulisnya dengan praktik berkomunikasi yang menyenangkan. 

Dari Pinggir Rel Kereta ke Panggung Internasional

Oh Su Hyang termasuk tokoh populer di dunia komunikasi Korea Selatan. Bukan hanya penulis, ia juga melakoni peran sebagai akademisi hingga pelatih public speaking yang telah membimbing ribuan orang—dari pekerja korporat hingga pegiat dunia hiburan seantero negeri Ginseng.

Di Indonesia sendiri, ia dikenal lewat buku Bicara Itu Ada Seninya, yang berlabel "mega best-seller" usai terjual lebih dari 150.000 eksemplar. Ia yang sudah menerbitkan belasan buku juga memiliki beberapa karya lain—Seni Berbicara Tanpa Bikin Sakit Hati, Berani Ngomong Langsung, Siapa Bilang Bicara Positif Itu Gampang, dan Komunikasi Itu Ada Seninya—yang telah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Bhuana Ilmu Populer (BIP).

Namun demikian, perjalanan Oh menuju kesuksesan bukanlah cerita yang mulus. Ia mengaku, datang dari keluarga yang jauh dari kata berkecukupan. Ayahnya, lahir tahun 1945 dan ibunya yang lahir 1955, hanyalah lulusan SD. Keduanya bekerja sebagai buruh di pabrik sepatu.

"Namun, walaupun kehidupan kami tidak kaya, ibu saya selalu mengucapkan afirmasi positif kepada saya setiap pagi," kenang Oh. "Dia [Ibu saya] mengucapkan: saya bisa, saya bisa, saya bisa. Itu membuat saya mempunyai kekuatan yang lebih daripada orang lain."

Dari ibunya pula, Oh belajar mencintai buku. "Sampai sekarang, setiap bulan saya bisa membaca hingga 70 buku," katanya. Kebiasaan itu bahkan membuatnya turut melakoni pekerjaan sebagai pembaca profesional. Ia dibayar untuk membaca dan merekomendasikan buku.

Kekuatan Kata dan Inspirasi dari Puisi

Salah satu karya yang paling menginspirasi Oh adalah buku puisi penyair Korea, Na Tae Joo, berjudul I See You Like a Flower. Oh mengutip salah satu bagian favoritnya dengan antusias: "...Kalau dilihat itu cantik, semakin dilihat semakin cantik, semakin dilihat semakin cantik..."

Caranya berbicara, juga mengutip puisi itu sangat komikal. Ia selalu tersenyum. Mukanya sumringah dan mencitrakan kesan positif, serta penuh dengan gestur. 

"Etos itu serupa dengan pemahaman saya saat berkomunikasi," jelasnya. "Untuk memahami lawan bicara, kita harus melihatnya dengan lebih terang agar seluruh pesan dan hati kita berdua bisa tersampaikan dengan benar."

Puisi tersebut, tambahnya, juga pernah dibacakan oleh J-Hope, personel BTS, yang turut menginspirasi lirik-lirik boyband terkenal itu.

Secara tidak langsung, Oh sepertinya tengah mempraktikkan apa yang ditulisnya selama ini. Caranya berinteraksi dengan kami begitu saksama. Ia selalu saja mendengarkan dengan baik, mencernanya dengan cermat, lalu menjawab dengan penuh semangat. 

Saat menjawab pertanyaan kami yang singkat, misalnya, ia menjabarkan dengan beberapa contoh. Serunya, presentasi oh jauh dari kata membosankan. Kepalanya terus mengangguk-angguk, tangannya terus bergerak, seperti menegaskan simbol dari setiap kata yang ia ucapkan. Sesekali matanya mengecil, lalu senyumnya melebar. Ia berbicara seperti sedang melakukan pertunjukan—semacam pentas monolog atau praktik public speaking.

Lebih dari Sekadar Buku Komunikasi

"Ini adalah buku yang terus-menerus menjadi juara satu di Korea," kata Oh tentang Bicara Itu Ada Seninya, yang telah diterbitkan dan diterjemahkan ke 10 negara dan bahasa berbeda, seperti Amerika, Jepang, Thailand, Taiwan, Vietnam, Singapura, Yunani, juga Indonesia.

Kesuksesan buku tersebut memang bukan tanpa alasan. Oh, lewat tulisannya—juga caranya berinteraksi dengan kami—mengajarkan bahwa berbicara bukan sekadar menyusun kata, melainkan bagaimana kata-kata itu dapat bermakna bagi orang lain. Ia menekankan pentingnya komunikasi yang berlandaskan empati dan kejujuran.

"Kemampuan berbicara bukanlah bakat bawaan. Setiap orang bisa belajar untuk berkomunikasi dengan lebih baik," tegasnya. "Yang terpenting adalah niat untuk memahami dan menghargai orang lain."

Ia pun senang sekali saat tahu masyarakat Indonesia memiliki antusias yang besar terhadap bukunya. "Semoga setelah membaca, kehidupan teman-teman Indonesia jadi lebih baik dan berkembang," harapnya.

Praktik Langsung: Seni Berbicara dengan Senyum

Perbincangan dengan Oh di Makarya lebih terasa seperti lokakarya privat. Alih-alih menjabarkan bukunya secara terperinci, Oh malah bersukarela menerapkan dan mencontohkannya langsung kepada kami.

Bisa diakui, ia adalah orang yang memang pandai berkomunikasi. Caranya berinteraksi selalu dibubuhi pandangan mata yang tak putus dan goyah ke masing-masing orang. Ia juga kerap menunjuk-nunjuk, satu per satu, dengan muka sumringah, membuat kami sulit teralihkan dari pesan-pesannya. 

Rasanya ini momen keberuntungan kami. Karena Oh, yang begitu pandai, secara sukarela memberi sedikit pelatihan langsung kepada kami.

Misalnya, trik mudah agar pembawaan kita berbicara terus diisi senyuman. "Kalau kita senyum, itu bisa membuat pesan kita lebih menyentuh hati lawan bicara. Ketika kita berbicara dengan senyum, hati kita akan lebih terbuka dan orang lain akan merasa nyaman," jelasnya, setelah praktik.

Oh juga mendemonstrasikan pemanasan vokal yang biasa dilakukan para pembawa acara di Korea. "AAAA," mulutnya menganga lebar lalu terkatup. Ia juga berdehem agak panjang, lalu memancungkan bibir, membentuk suara "UUUU". 

"Cara itu bisa membuat suara kita lebih bulat, lebih enak didengar. Seluruh penampil di Korea-pembawa acara, presenter, sampai artis-menerapkan cara ini. Dan saya adalah pembimbingnya," ia berkata dengan percaya diri.

Ia juga membeberkan rahasia tiga kata. "Cara ini adalah upaya terbaik untuk menyampaikan sesuatu. Tidak berlebihan. Efisien," jelasnya. "Otak manusia cenderung mengingat hal-hal yang disusun dalam tiga kata, karena itu penting untuk membiasakan diri berbicara secara padat dan terstruktur." 

Oh merujukkan berdasarkan aturan: Triangle of Life—di mana banyak hal di dunia tersusun atas pemahaman akan trinitas, seperti Padi, Siang, dan Malam pada sebuah hari dan lain sebagainya.  

Lebih Jago Sebagai Pembicara

Menjelang akhir sesi, saya mengajukan pertanyaan: "Anda seorang penulis, Anda seorang pembicara, dan Anda seorang pembaca profesional. Jadi menurut Anda, bidang mana yang paling Anda kuasai?"

Oh tampak berpikir sejenak. Katanya pertanyaan itu sulit. Ia meminta waktu sebentar sebelum menjawabnya. Ia berpikir sambil tersenyum. Saya tak percaya itu sulit baginya. Ia adalah pakar komunikasi. Bisa jadi cara ia menjawab adalah bagian dari triknya juga. Tapi ia menjawab dengan paripurna dan masuk akal.

"Saya pikir, saya lebih pandai saat menjadi pembicara. Ya, seorang pembicara," tegasnya. "Itu memang kemampuan terbaik saya. Itulah juga alasan kenapa saya menulis, dan semua yang saya tuliskan membahas itu."

Dia menjabarkan lagi. "Waktu jadi pembicara saya bisa menyampaikan apa saja secara langsung, dan dalam ruang yang langsung. Hal itu saya harap bisa lebih berguna dan bermanfaat karena kami bertukar informasi tanpa alat bantu tapi bertatap muka."

Jawaban barusan jelas sangat bisa diterima, dan amat merangkum esensi Oh Su Hyang: seseorang yang percaya pada kekuatan komunikasi langsung, di mana pesan dapat tersampaikan tanpa tedeng aling-aling, karena hati bertemu dengan hati. Namun, tentu saja ia juga pandai menulis. Minimal, 150 ribu orang di Indonesia telah membeli dan membaca bukunya.

Oh, kemudian menandatangani buku-bukunya dan berpose di rak spesial Makarya yang memuat namanya—dan telah ialegalisir pula. 

"Tolong beli buku saya! Terima kasih," tutupnya dengan bahasa Indonesia yang lumayan fasih, sambil melekatkan ujung jempol dengan telunjuk—simbol hati yang populer di Korea dan menjangkiti dunia. 

[Gambas:Instagram]

(RIA/RIA)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS