Suara klakson panjang dan knalpot bising di jalan mungkin terdengar sepele. Tapi di balik "tot tot wuk wuk", tersimpan simbol kuasa: seakan ada yang bisa memaksa orang lain minggir hanya karena status atau privilese. Bisingnya bukan cuma di telinga, tapi juga di rasa keadilan kita.
'Tot Tot Wuk Wuk', Arogansi di Atas Roda
Pernahkah kamu sedang naik motor atau jalan kaki, tiba-tiba ada suara klakson panjang "tot tot tot" dari belakang, lalu disusul suara knalpot "wuk wuk wuk" yang bikin telinga panas? Fenomena ini sekarang sering kita sebut "tot tot wuk wuk" sebuah frasa sederhana tapi punya makna yang jauh lebih besar daripada sekadar bunyi.
Di banyak kota, jalan raya sering berubah jadi panggung pamer kuasa. Konvoi mobil mewah dengan strobo ilegal, motor gede dengan knalpot bronk, atau rombongan pengendara yang seakan punya "hak istimewa" untuk dilayani. Bagi sebagian orang, klakson panjang dan suara knalpot bukan sekadar iseng, tapi simbol dominasi. Pesan yang disampaikan jelas: "Saya lebih penting dari kamu, minggir dulu."
Arogansi semacam ini bikin ruang publik yang seharusnya setara terasa timpang. Pengguna jalan lain dibuat inferior, sementara pemilik privilese entah karena kendaraan mewah, modifikasi ekstrem, atau sekadar berani lebih bising menjadikan jalanan sebagai panggung eksistensi.
Kalau dipikir-pikir, privilese di jalan raya ini mirip dengan privilese di aspek kehidupan lain: ada yang bisa melanggar aturan dengan mudah, sementara orang kebanyakan harus patuh. Dan yang paling terasa: privilese ini punya suara yang keras.
Meme 'Tot Tot Wuk Wuk' yang viral di media sosial./ Foto: Jabarnews |
Ketika privilese Jadi Meme: Perlawanan Publik dengan Humor
Menariknya, publik tak tinggal diam menghadapi arogansi ini. Di era digital, perlawanan muncul bukan dalam bentuk protes fisik, tapi lewat kreativitas. Satire, meme, dan parodi jadi senjata ampuh.
Di TikTok, video parodi "tot tot wuk wuk" berseliweran-dari anak muda yang menirukan gaya arogan pengendara, sampai remix suara knalpot jadi musik EDM. Di Twitter/X, frasa ini sering dipakai sebagai metafora untuk menggambarkan pejabat yang suka potong antrean atau influencer yang merasa lebih penting dari orang lain.
Apa yang tadinya bikin telinga panas, sekarang justru jadi bahan ketawa. Humor mengubah keresahan jadi tawa, dan tawa jadi bentuk resistensi. Generasi muda khususnya tahu betul cara melawan: bukan dengan teriak di jalan, tapi dengan share button, ironi, dan kreativitas digital.
Fenomena ini juga memperlihatkan sisi budaya performatif. Banyak aksi "tot tot wuk wuk" di jalan sebenarnya dilakukan demi kamera. Aksi klakson panjang atau knalpot bising direkam, diedit, lalu diunggah ke media sosial.
Semakin nyeleneh, semakin kontroversial, semakin viral. Tapi publik nggak mau kalah: mereka bikin konten tandingan berupa satire. Akhirnya, jalan raya bukan cuma arena rebutan ruang, tapi juga rebutan narasi di dunia maya.
Dari Suara Bising ke Kritik Sosial: Pelajaran dari Tot Tot Wuk Wuk
Kenapa sih kita begitu terganggu dengan suara "tot tot wuk wuk"? Jawabannya simpel, karena hal itu merusak rasa kesetaraan. Jalan raya seharusnya ruang publik yang memberi hak sama bagi semua orang. Tapi begitu ada suara keras yang memaksa orang lain mengalah, kita sadar bahwa tidak semua orang bermain dengan aturan yang sama.
Fenomena ini mengajarkan dua hal penting. Pertama, privilese bisa muncul di mana saja, bahkan di jalan raya.Bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga soal siapa yang merasa berhak menguasai ruang bersama. Kedua, masyarakat punya cara kreatif untuk melawan. Humor dan satire jadi medium kritik sosial yang efektif-menyuarakan keresahan banyak orang tanpa harus turun ke jalan.
Pada akhirnya, "tot tot wuk wuk" bukan cuma soal suara bising. Namun, metafora tentang privilese, tentang bagaimana segelintir orang merasa berhak menguasai ruang publik. Tapi juga jadi bukti bahwa masyarakat, terutama generasi muda, punya cara unik untuk menanggapi arogansi tersebut. Lewat meme dan parodi, keresahan berubah jadi kreativitas, arogansi berubah jadi lelucon, dan privilese berubah jadi bahan satire.
Mungkin kita belum bisa sepenuhnya menghilangkan "tot tot wuk wuk" dari jalanan. Tapi di timeline digital, kita bisa membalikkan narasi. Kita bisa menjadikan suara bising itu sebagai pengingat bahwa ruang publik mestinya setara-dan bahwa suara kecil, meskipun tak selalu keras, bisa menggema lebih kuat lewat humor, solidaritas, dan kreativitas digital.
"Tot tot wuk wuk lahir di jalan, tapi hidup di media sosial"
Penulis: Deandra Fadilah
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
Meme 'Tot Tot Wuk Wuk' yang viral di media sosial./ Foto: Jabarnews