Peluit panjang dibunyikan. Skor 3-0 terpampang di layar kaca. United kalah dalam Derby Manchester (14/9) di Etihad Stadium. Akan tetapi, saya tidak marah, yang keluar hanya desahan pasrah, "Ah, kalah lagi." Biarlah emosi saya diwakili oleh Donne Maulana.
Fase di mana hasil pertandingan Manchester United (MU) merusak mood, buat saya sudah lewat. Kini, menonton mereka sekadar jadi ritual mingguan saja. Kalah, ya sudah. Menang? Anggap saja bonus dopamin untuk menambah motivasi hari itu.
Namun, ada satu hal yang sudah pasti: kekalahan MU akan menjadi bahan bakar komedi akun-akun media sosial selama seminggu ke depan. Meme bertebaran, teman yang tidak pernah nonton bola tiba-tiba jadi analis, dan timeline media sosial lebih riuh dari biasanya.
Kadang-kadang, ketika sedang ngopi sambil menatap poster skuad MU musim 2006/2007 di dinding kamar, saya berpikir, "Bagaimana bisa sebuah klub yang dulu begitu dipuja, kini berubah menjadi bahan lelucon receh favorit orang-orang?"
Klub itu Dulu Dipuja
Mari sedikit mengulas sejarah, hal yang katanya jadi keahlian para fans MU, termasuk saya. Tumbuh besar di era 2000-an awal, saya merasa beruntung karena sempat menyaksikan superioritas Manchester United selama beberapa tahun. Kalau musim ini tidak juara, tinggal tunggu musim depan.
Sir Alex Ferguson pasti akan membayar kegagalan musim sebelumnya dengan merebut trofi juara, terutama di liga. Pada masa itu, MU adalah representasi kesuksesan yang melampaui sepak bola. Setelah keberhasilan treble winners bersejarah pada musim 1998/1999, MU kemudian menjalankan strategi komersialisasi besar-besaran di berbagai negara.
Mereka melakukan rebranding identitas pada tahun 2001 untuk menjadi lebih dari sekadar klub sepak bola. Salah satunya ditandai dengan penghapusan tulisan "Football Club" di emblem. Sejak itu, Manchester United dikenal sebagai brand global ternama. Mereka mendaftarkan lebih dari 2.000 merek dagang di seluruh dunia untuk nama, logo, hingga julukannya.
MU pun berubah menjadi ikon budaya pop yang emblemnya tercetak di mana-mana, dari jersey sampai sprei tempat tidur. Mendukung United pada masa kejayaannya terasa seperti mendukung pihak yang paling benar, pihak berisi para pemenang.
Berkat gelar juara demi gelar juara, MU juga berhasil terus menambah jumlah fans mereka. Tidak heran, banyak fans klub lain mungkin agak 'iri' terhadap romantisme United dengan para pengikutnya. Sampai akhirnya, superioritas United dicabut paksa pada 2013, tepatnya saat Sir Alex Ferguson mengumumkan pensiun.
Jika diingat kembali, gelar juara liga di akhir musim 2012/2013 memang lebih terasa seperti sebuah perpisahan, alih-alih perayaan. Ferguson mematikan saklar, dan sejak saat itu, Setan Merah berjalan dalam kegelapan.
'Setan Merah' yang Kini Dicemooh
Setelah lampu padam, MU yang awalnya dikira sedang dalam masa transisi, malah terus terjatuh di lubang yang sama selama bermusim-musim. Simpati lalu berganti menjadi cemoohan dari orang-orang.
Satu dekade lebih telah berlalu. Masa muda saya habis untuk menanti MU kembali ke puncak, tetapi yang datang justru sebaliknya, dari sering ganti pelatih hingga rekrutmen pemain yang jarang berhasil. Ledekan kepada MU pun makin hari makin keras, kreatif, bahkan universal.
Masih segar di ingatan ketika MU terbantai di kandang Liverpool dengan skor telak 7-0 pada 2023. Apakah yang meledek cuma fans Liverpool? Tentu tidak. Di luar ranah sepak bola, akun-akun resmi brand Tanah Air, termasuk brand kondom ikut membuat postingan menyindir kekalahan MU. Efeknya, orang-orang awam yang sebelumnya tidak pernah terpapar berita MU jadi tahu tentang tragedi menyedihkan di Anfield tersebut.
Setahun sebelumnya, ada pula satu video viral dari sebuah rapat parlemen, di mana pejabat Ghana bernama Isaac Adongo mengkritik tata kelola ekonomi negaranya yang buruk dengan analogi bek MU, Harry Maguire. Saat itu, performa Maguire memang sedang jeblok.
Bagi penonton stand up comedy, mungkin di antara kalian ada yang ingat materi Boah Sartika ini di salah satu show SUCI 7. "MU, mah, jangankan lawan Arsenal, lawan PS TNI aja kalah." Saya tertawa, penonton tertawa, Pandji Pragiwaksono, fans MU yang kala itu jadi juri, melihat sekeliling sambil garuk-garuk kepala.
Lebih random lagi, setelah United kalah dari City beberapa hari lalu, tiba-tiba di FYP TikTok saya lewat video member JKT48 'menggombali' member lainnya dengan bilang, "Tahu nggak bedanya Cici sama MU? Kalau MU kalah terus, kalau Cici menang terus di hati aku."
@tosso_san Ci gred shock...?? ngomong ngomong tentang MU .
Dari situ saya cuma bisa membatin, ternyata ledekan buat MU benar-benar sudah merambah ke segala lapisan masyarakat, mulai warga biasa, pejabat publik, hingga idol ibukota. Bahkan penjelasan tentang hal-hal buruk seolah lebih mudah dipahami jika dianalogikan dengan kondisi United, seperti kata Perdana Menteri Ghana tadi. Ini selevel "explain in football terms" yang sempat dibahas oleh Ferry Irwandi tempo hari.
Amunisi untuk menertawakan United kadang juga datang dari fansnya sendiri. Klaim "King MU" dan euforia "tsunami trofi" selalu berakhir jadi cemoohan lantaran penampilan United terbalik 180 derajat dari ekspektasi fans di awal musim.
Itulah gambaran posisi MU sekarang, yaitu sebagai bahan candaan receh semua orang. Kebencian publik terhadap United pun bukan lagi berasal dari fans klub rival, tetapi siapapun, bahkan tidak jarang tanpa alasan.
Mungkin ini adalah karma. Kami yang dulu berada di puncak piramida sosial sepak bola, sering kali meledek fans Liverpool dengan "kapan juara liga lagi?" atau fans Arsenal dengan "si spesialis empat besar". Kini giliran kami yang harus menerima ledekan-ledekan lebih parah dari itu.
Tetap Setia pada Si Merah dari Manchester
Ironi terbesarnya, dari semua kebencian dan cemoohan, ada satu kebenaran yang tak terbantahkan, yaitu Manchester United tidak pernah diabaikan. Istilah "Nggak MU, nggak makan," mungkin ada benarnya.
Media butuh United untuk menjaring traffic. Akun-akun troll dan meme butuh blunder pemain MU sebagai bahan konten mereka. Rival juga butuh MU untuk mengukur seberapa jauh mereka telah melampaui Setan Merah. Intinya, pembahasan tentang MU tidak pernah basi, baik saat menang maupun (lebih sering) kalah.
Sebenarnya, skala ledekan yang diterima para fans MU adalah cerminan langsung dari betapa besar dan berdampaknya klub ini secara global. Ada saja alasan untuk membahas MU.
Baru-baru ini contohnya, Sky Sport merilis grafis yang menunjukkan bahwa Ruben Amorim ternyata adalah pelatih United dengan persentase kemenangan terburuk sejak Perang Dunia II. Maksudnya, haruskah menarik mundur sampai Perang Dunia II?!
Tidak ada yang peduli untuk membuat meme tentang kiper Real Betis atau Brentford ketika mereka melakukan blunder. Namun, jika itu melibatkan Andre Onana, Altay Bayindir, atau kiper MU yang lain, sudah pasti terjadi festival troll di internet.
Saya sendiri sudah cukup berdamai dengan kondisi tersebut. Saya sudah bisa ikut menertawakan "kebodohan" United di banyak kesempatan. Namun, lantaran klub ini juga merupakan bagian dari identitas dan perjalanan hidup, tentunya saya masih peduli.
Untuk menutup 'yapping' kali ini, saya ingin mengutip tulisan dari pengamat sepak bola Bung Weshley Hutagalung di Tabloid BOLA edisi 17 Februari 2017. Dalam kolom berjudul "Kenapa Susah Memuja Tanpa Mencela?", ia menulis:
"Silakan cintai jagoanmu. Silakan dukung habis-habisan tim kesayanganmu. Kalau perlu, kisah kekalahan klub favorit dianggap sebagai sebuah hiburan selingan kehidupan."
Ya, mungkin takdir fans Manchester United saat ini memang harus begitu. Belajar legowo menerima kekalahan dan ledekan orang-orang sebagai bagian dari hiburan kehidupan.
Buat saya, pertandingan MU seperti episode komedi tragis mingguan yang, entah bagaimana, tetap saya tonton. Sambil diam-diam berharap, suatu saat nanti, tawa kebahagiaan akan kembali ketika MU meraih gelar juara liga lagi. Lagi pula, faktanya United masih dinilai sebagai salah satu dari tiga klub terbesar di dunia. Adored, hated, never ignored.
Penulis: Bagas Dharma
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)