Sepak bola adalah hiburan masyarakat dunia yang memiliki animo besar, termasuk di Indonesia. Di ruang apapun: media sosial, grup WhatsApp maupun warung kopi, memperbincangkan urusan sepak bola merupakan hal yang terasa lumrah, bahkan wajib. Misalnya, pembahasan mengenai sekelompok aktivis AS yang bermain sepak bola menggunakan replika kepala Benjamin Netanyahu di halaman kantor PBB. Peristiwa yang ramai di beranda media sosial ini meyakinkan bahwa sepak bola masih dapat dipakai sebagai simbol dalam menyuarakan isu tertentu, khususnya perkara politik dan kemanusiaan.
Aksi menghebohkan dari sekelompok aktivis tersebut lantas tidak dimaknai secara tak senonoh. Sebab aksi tersebut merupakan wujud protes terhadap penindasan yang dialami rakyat Palestina, melalui simbol yang lekat dengan masyarakat luas: sepak bola. Sejarah pun mengungkap, kalau sepak bola kerap menjadi cara yang tepat untuk menyuarakan isu, mewahanakan perlawanan, hingga menentang kekuasaan.
Sepak Bola Lebih dari 90 Menit!
Sepak bola bukan cuma permainan 'si kulit bundar' selama dua babak berdurasi masing-masing 45 menit. Sepak bola sudah melebur ke dalam lanskap sosial-politik yang lebih luas dan global. FIFA sendiri pernah memiliki slogan: 'Football for Hope', 'Football for Change', yang bukan hanya menguatkan inklusivitas olahraga ini, tetapi diharapkan mampu menjadi sarana perubahan sosial.
Suguhan di stadion pun tak hanya bersaing dalam perebutan poin antar klub, melainkan kerap dihiasi bentangan banner solidaritas. Misalnya, pada laga Athletic Bilbao vs Arsenal silam, yang menaikkan dukungan bagi rakyat Palestina. Suporter, sebagai bagian integral sepak bola, tak lagi sebatas menyanyikan yel-yel, tetapi juga berperan penting dalam menyuarakan resistensi hingga solidaritas—khususnya dalam menanggapi genosida yang tak kunjung berhenti di Palestina.
Para pemain pun memiliki peran krusial. Pada dekade 1980-an, misalnya, megabintang Brasil, Sócrates pernah melantangkan perlawanan terhadap otoritas di tengah dominasi otoritarianisme dan rezim militer Brasil. Ia tampil mengenakan bandana dengan slogan "Hentikan Kekerasan" dan "Rakyat Membutuhkan Keadilan. Peristiwa ini membuktikan sepak bola tidak melulu tentang kecakapan mengolah si kulit bundar, melainkan ruang bebas berbicara.
Dari stadion hingga halaman kantor PBB, ajang-ajang sepak bola—kendati bukan dinahkodai oleh punggawa sepak bola—tetap bisa melahirkan suara yang nyaring: tentang keadilan untuk rakyat. Dalam era ini, isu yang paling relevan adalah soal rakyat Palestina, yang hingga kini masih mendapatkan ketidakadilan dan kekerasan.
Dengan memanfaatkan sepak bola sebagai medium populer, aksi Freedom Kick oleh kalangan aktivis juga memperlihatkan cara baru menjalankan soft power: menggeser opini publik dunia melalui simbol budaya alih-alih kekuatan koersif.
Bahasa Universal Perlawanan
Dari hiburan menjadi perlawanan. Kira-kira itulah wajah ganda yang tepat untuk sepak bola. Lahir dan tumbuh sebagai olahraga inklusif, membuat sepak bola terasa dekat dengan banyak lapisan masyarakat sehingga mampu mengakomodir pesan-pesan kolektif. Lewat bola replika kepala Netanyahu, para aktivis seakan-akan tengah memproduksi ulang makna politik yang ironis, menyindir kebrutalan Israel terhadap rakyat Palestina.
Langkah ini mungkin terlihat ekstrim, tetapi perkawinan aktivisme dan seni sepak bola adalah cara yang terasa dekat di masyarakat. Karena suara Palestina adalah suara kita. Suara yang harus digemakan menjadi perjuangan bersama dalam melawan penindasan, melawan genosida.
Terbaru, legenda Manchester United, Eric Cantona, sebagai sosok yang masih kental akan persona bintang lapangan hijau, juga ikut bersuara. Ia lantang membela hak Palestina di panggung dunia dan menyampaikan kritik besar terhadap FIFA dan UEFA. Di titik ini kita bisa melihat sepak bola sebagai bahasa universal yang melampaui garis tengah lapangan.
Lebih jauh, aksi-aksi seperti 'Freedom Kick' menunjukkan bahwa sepak bola bukan sekadar olahraga rakyat, melainkan sarana membangun kesadaran kolektif dan menggerakkan solidaritas lintas batas. Dari banner suporter di tribun, bandana bertuliskan protes, hingga laga amal yang menggugah empati dunia, sepak bola terus mengulang pesan bahwa keadilan bukan hak eksklusif satu bangsa saja.
Inilah yang menjadikan sepak bola begitu berbahaya bagi status quo: ia mengikat orang lewat emosi, menyatukan lewat simbol, dan menyampaikan perlawanan lewat bahasa yang dimengerti semua orang—bahasa tendangan, kebersamaan, dan keberanian.
Penulis: Iqra Ramadhan Karim
(*) Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis
(ktr/RIA)