Di tengah riuhnya generasi muda yang sering dihadapkan pada pilihan karier "aman" atau "idealis", Prakadetto Alansa muncul sebagai sosok yang memilih jalur kedua. Lahir di Gunung Kidul, dan tumbuh besar di beberapa kota berbeda, pria yang akrab dipanggil Deto tersebut kini tengah menempuh pendidikan di Program Studi Seni Rupa Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Di usianya, yang terhitung masih belia, perlahan tapi pasti, Deto mulai menapaki karir seni; berpartisipasi di sejumlah pameran bersama maupun tunggal, serta menaikkan karya-karya yang mulai mendapat menjadi atensi publik.
Salah satu capaian pentingnya datang lewat MR D.I.Y. Art Competition 2025, di mana karyanya: "Momen Pemersatu" ditetapkan sebagai pemenang President Director's Award (Kategori Pelajar/Mahasiswa). Menariknya, karya yang berangkat dari fenomena nobar Timnas Indonesia tersebut tidak datang dari fanatismenya akan sepak bola. Deto tak paham betul soal itu. Namun, ia tetap berhasil membingkai ketidakselarasan pada satu fenomena, menjadi satu harmoni baru, melalui teknik realis yang kemudian didekonstruksi—memancarkan pesan persatuan yang kuat seraya menampilkan kecakapannya dalam urusan estetis. Berikut adalah transkrip perbincangan CXO Media dengan Prakadetto Alansa.
CXO: Boleh ceritakan apa yang membuatmu tertarik dengan seni?
Deto: Kalau diingat-ingat, waktu SMA saya belum tertarik sama seni. Sepertinya, rasa suka [terhadap seni] datang karena terbiasa. Dimulai dengan masuk ISI, mulai belajar sedikit-sedikit soal seni. Dulu juga belum ngerti istilah-istilah kayak kurator, pameran. Pandanganku terhadap seni baru terbuka sewaktu kuliah. Salah satu yang bikin aku beneran tertarik sama bidang ini gara-gara baca buku "Menanam Padi di Atas Langit" (Puthut EA). Dari situ aku mulai tahu kalau seni rupa nggak cuma soal gambar, pameran, atau jualan. Banyak hal menarik—ada film trip-nya, ada dramanya, ada sejarah panjangnya. Buku itu cerita tentang bagaimana seniman-seniman di awal 2000-an berkesenian dalam situasi resistensi sosial dan politik. Dari situ aku mulai sadar kalau seni rupa punya lapisan yang lebih dalam.
CXO: Lantas faktor apa yang membuatmu semakin terartik dan yakin memilih seni: sebagai jalan hidup, sebagai karir, tempatmu 'mencari nafkah'?
Deto: Rasanya nggak ada momen tunggal, ya. Pelan-pelan aja. Dari momen satu ke dua ke tiga, makin lama makin suka. Bisa dibilang lingkungan sekitarku cukup memberi pengaruh. Aku jadi sering ketemu dan berdiskusi [seni] dengan teman-teman kampus, sering ngelukis bareng. Oh ya, aku dulu pernah main ke rumah salah satu seniman. Rumahnya besar sekali, banyak tamu. Dari situ aku mikir: "Oh, ternyata seniman bisa hidup layak." Walau waktu itu belum tahu dalemnya industri seni, kurang lebih satu kunjungan itu sudah cukup bikin yakin.
CXO: Memang apa cita-citamu semasa kecil?
Deto: Wah, apa, ya? Kayaknya nggak ada. Dulu kepikirannya kerja kantoran aja, hidup cukup. Aku masuk ISI pun karena kebetulan akademis nggak bagus (Tertawa), tapi aku tahu aku bisa gambar. Jadi ikut SBMPTN dan keterima sekali tes. Dari situ ngalir.
CXO: Waktu kamu mantap memilih jalur seni, apa tanggapan keluarga? Maksudnya, dengan stigma miring yang menyelingkupi profesi seniman, apakah mereka mendukung—karena memang terdapat anggota keluarga besar yang memang menekuni jalan ini, atau sebaliknya?
Deto: Dari keluarga nggak ada yang seni. Mayoritas PNS, tentara, guru. Jadi kayaknya aku beda sendiri (Tertawa). Tapi intinya keluarga cukup supportif, asal aku tanggung jawab sama jalur yang aku pilih. Mereka selalu bilang agar jangan setengah-setengah, jangan males-malesan.
CXO: Setelah menang, bagaimana tanggapan keluarga?
Deto: Ya, alhamdulillah (Tersenyum). Tentu, ada apresiasi positif. Dimintain makan-makan juga (Tertawa).
CXO: Kamu telah beberapa kali ikut pameran, pernah juga bikin pameran tunggal. Bagaimana dengan kiprahmu di ranah kompetisi? Apakah pencapaian di MR D.I.Y. ini jadi kali pertama yang menang?
Deto: Iya. Dulu sering submit ke lomba atau kompetisi serupa, tapi nggak pernah masuk. Baru sekarang pecah telur, alhamdulillah. Bersyukur sekali.
CXO: Karyamu "Momen Pemersatu Bangsa" yang dinobatkan sebagai pemenang President Director's Award kategori Pelajar/Mahasiswa MR D.I.Y. Art Competition 2025, membingkai amatan mengenai kultur sepak bola. Memang seberapa dekat kamu dengan dunia 'si kulit bundar'?
Deto: Sebenernya aku nggak terlalu ngikutin bola (Tertawa). Aku nonton bola cuma waktu Tim Nasional Indonesia main aja. Nah, karya itu berangkat dari momenku nobar Timnas. Aku merasa, nobar bisa mempersatukan orang-orang. Teman kuliah yang nggak akrab jadi akrab pas nobar. Orang yang nggak dikenal pun begitu. Tiba-tiba kita bisa sedih bareng, marah bareng, seneng bareng. Buatku hal itu amat menginspirasi, dan secara spontan amatan ini yang terlukis di kanvas.
CXO: Karya-karyamu terbilang konsisten menampilkan semacam ketidakteraturan. Secara teknis, apakah ada sebutan untuk gaya melukismu dan dari mana inspirasinya?
Deto: Style-ku bisa disebut realis dekonstruktif. Aku terinspirasi dua seniman luar: Connor Harrington dan Christian Hook, dua-duanya asal Irlandia. Kalau dari Indonesia, yang mirip dan menginspirasiku ada Agus Triyanto BR. Semua karyaku biasanya berangkat dari fenomena yang nggak sinkron, maka aku beri distorsi sebagai daya tarik estetis.
CXO: Apakah gayamu terhadap antusiasme Timnas itu menjadi paradoks? Atau, kamu memang optimis dengan masa depan Timnas Indonesia?
Deto: Harus optimis dong (Tertawa). Semoga masuk piala dunia!
CXO: Kalau soal kompetisi seni sendiri, pandanganmu gimana?
Deto: Aku rasa buat seniman muda sepertiku, yang masih merintis, masih meraba-raba industri, kompetisi seni seperti yang dibuat MR D.I.Y. ini penting banget. Karena kesulitan seniman muda itu kan biasanya masalahnya akses, exposure. Nah, kompetisi seperti ini bikin kita dapat exposure, bisa masuk CV juga. Jadi misalnya terpilih menjadi pemenang, pencapaian ini juga baik untuk portofolio. Kesempatan ini juga lebih membuka kesempatan kita untuk bertemu dengan para calon pembeli, apalagi MR D.I.Y skalanya nasional. Bisa bikin trust orang ke kita naik. Harga lukisan mungkin juga bisa itu naik (Tertawa).
CXO: Jika soal exposure, bukannya saat ini media sosial juga bisa mewadahi seniman, apalagi generasi seniman muda yang memang akrab dengan cara kerja platform-platform digital?
Deto: Media sosial memang punya peran penting, tapi rasanya nggak cukup buat pola karya seniman. Seperti ada bedanya antara konten kreator seni yang aktif di media sosial, dengan yang mencoba memanfaatkan medsos sebagai kanal. Konten kreator bisa jadi lebih fokus ke kualitas konten, sementara seniman pasti condong ke kualitas karya. Bukannya membeda-bedakan, ya, tetapi kurasa jalan untuk jadi pelukis profesional itu lain. Maka lewat kompetisi seperti ini menurutku bisa jadi salah satu jalannya. Lagipula, di ranah seni banyak juga maestro seni rupa yang sosmednya nggak aktif. Misalnya, salah satu pelukis terlaris di dunia yang juga idolaku: Nyoman Masriyadi. Jadi, menurutku media sosial nggak cukup dan peran kompetisi lebih krusial. Tapi, ya bukan berarti aku juga gak memanfaatkan medsos. Minimal mengupload karya-karya baru atau mengupdate pencapaian kayak saat ini.
CXO: Lalu setelah ikut kompetisi dan terpilih sebagai salah satu pemenang, apakah pintu kekaryaanmu sebagai seniman muda menjadi lebih terbuka?
Deto: Jadi, ya, sebenarnya sebelum ini aku memang udah pernah pameran tunggal, kerja sama juga dengan galeri. Tapi lewat MR D.I.Y. ini misalnya, aku rasa trust dari calon-calon pembeliku jadi makin tinggi. Apalagi MR D.I.Y. Art Competition 20205 juga berkolaborasinya dengan Indo Artnow, salah satu yang cukup besar di seni rupa. Kira-kira begitu lah. Semacam konsekuensi baik dari menang kompetisi seni.
CXO: MR D.I.Y. Art Competition 2025 ini kan wacananya juga akan membawa karya-karya para pemenang ke level yang lebih besar, se-Asia Tenggara. Apakah berarti karyamu akan dibawa ke sana juga?
Deto: Ya, aku dengar katanya memang ada program itu, cuma belum ada pemberitaan lebih lanjut sampai sekarang. Penasaran juga lah. Semoga aja masuk, ya.
CXO: Lalu, apakah kamu juga punya harapan lebih lanjut untuk kelangsungan kompetisi seni di Indonesia ke depannya?
Deto: Harapanku semoga kuantitas kompetisi seni ditambah karena kelangsungannya menjadi penting untuk seniman-seniman muda. Apalagi, supply seniman kita itu terbilang melimpah dan sangat berbakat. Dari ISI Jogja aja, misalnya, setiap tahun memunculkan ratusan seniman, tapi event kayak gini masih jarang. Jadi akses harus dibuka lebih banyak. Harus ada ajang seperti ini yang bisa membuka akses seniman-seniman muda ini supaya bisa dikenal lebih luas, baik di dalam maupun ke luar negeri. Semoga jug Nah harapannya kedepan semoga kompetisi-kompetisi ini seperti MR D.I.Y. Art Competition bisa terus ada, kalau bisa lebih banyak diikuti oleh yang lain-lain di Indonesia agar semakin maju.
CXO: Loh, memang seni rupa Indonesia di hari ini belum maju?
Deto: Aku rasa masih berkembang lah, cuma kalau dibandingkan dengan negara lain, rasanya belum selevel dengan Jepang atau katakanlah Jerman. Tapi, menurutku kita punya banyak potensi.
CXO: Kembali ke soal harapan, jadi apa harapanmu untuk masa depan seni rupa di Indonesia?
Deto: Harapanku jelas pengen banget seni rupa Indonesia makin dikenal di dalam dan luar negeri.
CXO: Kalau secara pribadi, sebagai seorang perupa muda, apa harapan untuk karirmu di masa mendatang?
Deto: Aku pengen membahas lebih banyak hal lewat karya-karyaku. Jadi karyaku ini kan benang merahnya, secara isu adalah soal-soal sosial-politik. Harapanku bisa menarasikannya secara lebih baik kepada lebih banyak orang. Aku pengen juga ngasih tau ke orang-orang kalau Indonesia itu juga punya seniman yang keren, yang karya-karyanya juga bisa bersaing di tingkat yang lebih global. Apalagi, jalanku sebagai seniman muda juga udah dibukakan oleh para seniman pendahulu kayak Heri Dono, Roby Dwiantono, dan lain lain. Di sini, kayak yang kusebut tadi, akan membutuhkan lebih banyak bantuan seperti dari event-event seperti MR D.I.Y. Art Competition yang bisa ikut membukakan akses itu.
CXO: Berarti, jika kecendrungankecendrungan karyamu berputar di urusan sosial-politik, harusnya kita akan melihat lebih banyak karya baru, ya? Mengingat kondisi negeri ini sedang seru sekali.
Deto: (Tertawa) Ya gimana, ya? Karya seni kan paling gampang ngambil inspirasi dari masalah sebenernya. Sementara kan masalah lagi banyak banget. Itu sebenernya ladang-ladang inspirasi sekarang. Tapi agak ironik saja rasanya (Tertawa).
CXO: Kemudian, bagi pribadimu, siapa sosok yang paling menginspirasi?
Deto: Sosok? Manusia ya? Rasanya nggak ada role model khusus. Masih nyari (Tertawa). Kalau seniman, dari segi visual Connor Harrington dan Christian Hook tadi. Dari dampak sosial-politik, aku terinspirasi Banksy.
CXO: Apakah terpikir untuk menjadi anonim dan beralis ke street artist juga seperti Banksy?
Deto: Ya, memang sih, katakanlah dia street artist dan anonim. Tapi yang mau kutiru itu semangatnya. Kebetulan kan juga aku nggak anonim ya (Tertawa). Agak telah sih ngambil inspirasinya. Tapi intinya gitu, mau mengikuti semangatnya, begitu kritis dan tajam.
CXO: Kamu sudah menyebutkan buku yang menginspirasimu sebagai seniman. Sudah juga menyebutkan duo-seniman Irlandia yang mengilahmimu gaya melukis, menyebut beberapa local heroes, sampai etos Banksy. Jika ditanya mengenai karya seni yang paling mind-blowing buatmu, apakah kamu punya satu yang spesifik?
Deto:Kayaknya ada di karya-karya era renaissance deh. Bagiku karya-karya dari abad belasan pertengahan itu kayak nggak masuk akal. Maksudnya, di zaman itu tuh belum ada teknologi seperti sekarang. Nggak ada fotografi yang canggih, belum ada YouTube, artinya susah banget nyari tutorial dan input baru kan, apalagi AI (Tertawa), tapi mereka bisa bikin karya dengan realistis gitu. Di luar nurul (Tertawa lagi). Jadi kayak misalnya ngegambar di ceilling gereja itu loh. Hal itu sampai sekarang masih membuatku bingung. Kok bisa seniman zaman itu berkarya se-luar biasa itu, padahal belum terjamah informasi-informasi yang seluas sekarang apalagi teknologi. Mengagumkan.
CXO: Kamu menyebut soal AI yang nggak hadir di Renaissance tapi mereka bisa punya karya yang kuat. Buatmu sendiri, gimana pandanganmu dengan AI di karya seniman sekarang? Apakah kamu juga memanfaatkannya dalam proses berkarya atau sebaliknya?
Deto: Soal AI, mungkin aku punya stand yang sedikit berbeda dari kebanyakan artis. Aku salah satu yang mendukung penggunaan AI, karena menurutku membantu proses ketika kita berkarya. Jadi gimana ya, AI ini kalau nggak mau dimanfaatkan, ya, direspon aja gitu loh. Karena udah ada tools yang bisa membantu kita untuk berkarya, kenapa nggak dimanfaatkan gitu?
Waktu teknologi kamera jadi canggih, seniman-seniman zaman itu, melahirkan awal mula impressionist karena mereka nggak terima begitu aja sama kamera yang bisa menangkap gambar dengan apa adanya. Maka mereka berpikir harus bikin sesuatu, bikin lukisan yang kamera nggak bisa buat gitu.
Sama halnya dengan masa lalu, seniman-seniman sekarang, termasuk aku juga masih harus nyari-nyari celahnya untuk menghasilkan apa yang kira-kira hanya bisa dibuat seniman tapi nggak bisa dibuat AI.
Cuma di satu sisi, kalau misalnya dari segi pemanfaatan, banyak juga kok seniman-seniman hebat gitu yang mereka melukis dari foto gitu. AI ini kan fitur dari teknologi juga, kan. Jadi maksudku, ya kenapa nggak dimanfaatkan aja? Udah enak kok, tinggal nge-prompt, yang penting kita nggak pernah berhenti melukis dan mempelajari lukisan aja. Kalau misalnya karya ilustrasi, mungkin ya agak-agak mengkhawatirkan karena desain-desainnya berada di ranah digital gitu.
Kalau ngelukis ini aku ngelihat ke depannya, ini supply-demand aja sih. Kalau orang sudah kebanyakan nge-prompt, aku melihat di masa depan tuh orang-orang yang punya ketertarikan dan kemampuan melukis mungkin akan lebih punya daya tawar sendiri. Di mana supply-nya sedikit, yang bisa ngelukis dikit, sementara demand-nya akan tetap ada. Aku rasa yang natural, yang organik, nggak bakal kehilangan pasarnya gitu, ya. Jadi aku tetap punya optimisme, meski zaman ini sudah dimasuk AI gitu.
CXO: Lalu, di mana batasan etisnya, ketika seorang perupa memanfaatkan AI dalam prosesnya berkarya? Apalagi banyak kasus juga karya hasil AI diikutkan ajang seni?
Deto: Menjawab ini, aku ngomong-ngomong besar aja gitu ya. Ngomong andai-andai imajinatif aja (Tertawa). Di satu sisi aku sebagai seniman muda tentu menyayangkan, ya. Karena proses karya yang sepenuhnya memanfaatkan AI itu kayak curang. Terlalu gampang. Menurutku AI ini seperti serakah banget. Semuanya pengen diambil alih, kayak proses berkarya yang dipermudah. Bikin proses yang harusnya menyenangkan jadi nggak seru. Tinggal nge-prompt jadi. Beda sama seniman-seniman dulu yang harus belajar ototidak. Bener-bener latihan gitu loh. Bener-bener latihan berproses dari awal gitu.
Nah di sisi lain, dari segi etis ya, kita sebagai manusia juga harus realistis, karena nggak bisa menolak zaman. Kayak revolusi industri dulu, orang demo karena pekerjaan manusia diganti mesin. Jadi menjawab soal etis, aku yakin waktu pasti bisa bikin orang lebih nerima AI. Tapi, dalam kadar yang lebih pantas ya, dan akan perlu waktu lama untuk penyesuaian agar nggak langsung menghilangkan kapabilitas seniman.
CXO: Apakah karya "Momen Pemersatu" dibuat dengan memanfaatkan AI?
Deto: Sedikit, waktu digital. Jadi kan proses kreatifku itu dimulai dengan membuat desain dari gawai. Dari tab. Nah momen itu agak memanfaatkan bantuan AI juga. Kayak misalnya, aku mencari inspirasi warna untuk bagian tangan terkepal di dalam lukisan. Karena waktu itu sedikit kebingungan dan butuh referensi buat gradien warna, untuk memastikan bagian mana yang harus diberi warna lebih gelap dan mana yang terang, karena perspektif lukisanku itu juga menangkap sorotan cahaya yang lumayan kompleks. Nah untuk proses pemilihan warna itu aku memanfaatkan bantuan AI. Jadi pemanfaatannya itu lebih ke olah teknik, bukan menciptakan karya dari nol sepenuhnya dengan prompt AI.
CXO: Terakhir, ada cita-cita memilih media karya di luar kanvas?
Deto: Banyak, sih. Aku nggak mau terbatas di lukis aja, meski sekarang ini harus fokus dulu ke sana. Tapi suatu saat nanti pengen jugalah bisa pameran nge-glitch truk tronton, motor, atau rumah, misalnya. Aku juga pengen mengeksplorasi karya lewat media lain.*
*Proses wawancara CXO Media dengan Prakadetto Alansa berlangsung pada Hari Selasa, 19 Agustus 2025 lewat platform telekonferensi.
(RIA)