Inspire | Human Stories

Bandung di Pagi Hari: Antara Bubur, Kopi, dan Waktu yang Hilang

Rabu, 16 Jul 2025 12:40 WIB
Bandung di Pagi Hari: Antara Bubur, Kopi, dan Waktu yang Hilang
Toko Kopi Aroma, Bandung/Foto: Anastasia Nadila
Jakarta -

Sebagai penyuka fitur snooze alarm, hal pertama yang saya lakukan ketika bangun pagi adalah cepat-cepat mandi, gosok gigi, dan segera bersiap menyongsong pekerjaan. Tidak terpikir bagi saya untuk sekadar menikmati momen sarapan. Namun, seiring waktu, berada di Bandung saat ini perlahan-lahan mengubah pandangan saya.

Khususnya dalam beberapa bulan terakhir, Kota Kembang, yang dibilang aesthetic dan slow living oleh para turis, seakan memaksa saya untuk kembali menikmati momen-momen di pagi hari. Mengubah gumaman favorit: "Tidak sempat sarapan, nih!" dan crackers instan mini market, dengan beberapa pilihan kudapan yang lebih nikmat untuk disantap di masa pagi hari.

Ritual Bernama Sarapan

Hidup di Bandung tak seindah liburan. Di antara kesibukan kerja, menikmati sarapan secara baik dan benar itu rasanya mewah, sulit sekali didapat; harus berebut waktu dengan jadwal rapat yang padat di awal hari, sampai sarapan roti selagi perjalanan seakan-akan lumrah. Sampai akhirnya, saya sadar bahwa ada rasa-rasa yang hilang.

Sarapan, atau makan pagi, adalah giat mengisi perut yang jamak dilakukan sebelum berkegiatan sepanjang hari. Normalnya, sarapan dilakukan di rumah, tepat sebelum orang pergi bekerja. Tapi, di zaman yang serba cepat, sarapan di masa sekarang rasanya tak lagi sakral dan lebih sering diabaikan. Saya sendiri jarang merasa sempat bersantap pagi di rumah.

Walau demikian, saya sedikit demi sedikit mulai menyadari, bahwa sarapan sesungguhnya tidak benar-benar sirna. Bentuknya saja yang sudah berubah; dari momen hangat di meja makan, kini sarapan—khususnya bagi kaum pekerja—berganti ruang, menjelma bebas ke tempat-tempat yang berbeda.

Sarapan kini merentang pada gaya-gaya yang lebih spontan. Dari kebiasaan rekan kerja yang berbagi gorengan pagi di tengah meja kantor, kopi hangat saat rapat di cafe, atau kedai penjaja sarapan di dekat gedung kantor yang selalu dikerumuni para pegawai.

Tak hanya itu, terlebih di Indonesia, umumnya sarapan juga lebih dari sekadar makan biasa. Di sana terdapat akar tradisi yang panjang dan kebutuhan akan rasa aman, nyaman, serta nuansa kebersamaan. Orang kita biasa bilang, "Pagi-pagi tuh enaknya makan yang anget-anget!" sambil mulai mencicip makanan lezat yang mampu menghangatkan tubuh seperti bubur, soto, atau makanan berkuah lainnya, yang kerap kali dipadankan dengan teh hangat atau secangkir kopi.

Bandung dan Sarapan yang Baru

Bandung memang tak pernah habis daya tarik. Dikenal sebagai Paris van Java, kota dengan cuaca yang agak sejuk ini sekarang juga jadi rumah bagi kedai-kedai kuliner viral, yang menyimpan banyak kesan. Seperti merespon perkembangan zaman, sarapan, yang juga mengakar pada budaya-budaya dunia bagian lain, turut punya tempat di Bandung.

Bersanding dengan kudapan khas lokal, menu-menu sarapan dunia menyelip di antara sudut-sudut indah kota ini. Kaya toast, dim sum, nasi lemak, gohyong, dan makanan peranakan lainnya mulai digemari. Hal ini membuat pilihan sarapan warga lokal semakin luas.

DjayaDjaya Mandiri di pagi hari./ Foto: Anastasia Nadila

Ketika budaya sarapan berubah, varian santapannya yang beraneka rupa pun menyatu padu. Mempermudah pilihan selera kita untuk mencukupi energi dengan cepat, atau memaksa kita untuk menikmatinya dengan suasana pagi hari. Dari oatmeal, cereal, atau kaya toast, yang berkawan dengan kopi atau teh, melengkapi kehadiran aneka bubur tradisional yang setia dijajakan di pinggir jalan. Gerobak bubur dekat rumah saya, yang kini masih ramai seperti biasa, jadi bukti hidup.

Maksudnya, tanpa bisa dimungkiri, bubur yang merupakan andalan banyak orang Indonesia untuk membuka hari bisa tetap bertahan, sekalipun kedai-kedai sarapan baru-dengan menu peranakan serta konsep tempat yang lebih segar-terus bermunculan, dan berhasil menarik perhatian di segala penjuru kota.

Menghidupi Pagi, di Bandung

Maraknya tempat sarapan di Bandung, dari yang klasik dan legendaris, sampai yang baru dan viral memberi saya gairah tambahan untuk menghidupi waktu-waktu pagi yang sempat menghilang.

Di samping mulai menyempatkan diri untuk singgah ke kedai-kedai andalan sebelum pergi bekerja, masa-masa pagi yang menyenangkan juga saya tindaklanjuti dengan berupaya mencari asupan energi sehabis berolahraga bersama teman-teman di akhir pekan.

Keseruannya bermula dari menyaksikan keramaian yang tampak di Roemah Helena, dan akhirnya membuat saya tertarik untuk mencoba. Sekadar mengantri, menunggu makanan datang, dan melihat bubur ayam, butter toast hangat dengan kopi di meja, lalu menyantapnya bersama-sama. "Ah ternyata menikmati pagi hari menyenangkan ya", saya pun merasakan hal tersebut, terutama di kota Bandung yang spesial ini.

SarapanSarapan di Djaya Makmur/ Foto: Anastasia Nadila

Dari sana, sarapan pun menjadi gaya hidup baru bagi saya. Bukan lagi sekadar pengisi energi sebelum bekerja. Hal tersebut juga diperkuat dengan pengalaman menikmati sarapan di Djaya Mandiri bersama teman-teman. Di mana, sekadar mengantri di bawah pohon rindang dengan suasana rumah tua saja sudah memberi rasa hangat dan nostalgia. Sebuah suasana indah, yang didukung ambience kopitiam klasik, dan dilengkapi dengan segelas kopi butter, nasi hainam, dan dim sum yang lezat.

Kegemaran saya mengeksplor nikmatnya sarapan juga terdukung dengan pemandangan pagi, ketika saya pergi ke pusat kebugaran. Di mana mata saya selalu tertuju pada toko Kopi Aroma, yang tak pernah sepi antrian panjang di pagi hari. "Apakah mereka sudah memulai hari? Apa yang membuat mereka mau mengantri demi satu plastik biji kopi, ya?" pikir saya, yang terlampau biasa meminum kopi instan untuk sarapan.

Rasa penasaran itu menuntun saya untuk mengikuti jejak Ayah, yang selalu mengisi stok kopinya dengan olahan toko Kopi Aroma. Ayah adalah penggemar kopi Aroma sejak perdana mencicipnya enam tahun silam, dan tak pernah mengganti seleranya dengan kopi lain. Dengan itu, saya mulai memberanikan diri untuk merasakan Kopi Aroma.

SarapanToko Kopi Aroma/ Foto: Anastasia Nadila

Saat masuk ke dalam tempat kopinya, rasa hangat langsung terpancar begitu kuat. Dari sana, saya membekali diri dengan dua kantong kopi di tangan, yang di-roast sesuai selera, dan langsung mencitrakan hidup sewaktu menyesapnya nikmat-nikmat di rumah.

Keramaian budaya sarapan seperti ini pun memunculkan rasa rindu untuk kembali membumi. Sarapan favorit saya di kedai: Kaya Toast and Butter pun rasanya kalah jika kembali pada budaya Indonesia. Kupat Tahu Gempol menjadi pilihan untuk menghilangkan rasa rindu, dengan kupat tahu hangat dan saus kacang buatan rumahnya, tentu tidak pernah mengecewakan.

Jika orang-orang berkata, "Bandung tidak pernah lelah," maka hal ini mungkin benar. Karena hidup di kota ini selalu bertambah seru, dengan munculnya beraneka ragam tempat baru setiap minggunya. Walau demikian, sebagai orang Bandung, yang tak akan pernah kehabisan tempat ngetren untuk dijelajahi, pada akhirnya momen-momen terbaik sarapan tidak selamanya berada di sana.

Bandung yang tak pernah lelah menghidupi jengkal-jengkal pagi dengan sarapan adalah soal momen. Di mana urusannya tidak menyoal faktor tempat terkini yang ramai, atau tempat tua legendaris, melainkan momen yang memberikan rasa aman, kebersamaan, dan mampu mengembalikan waktu yang hilang.

Sarapan, terutama di Bandung yang saya sayang, jelas memberi saya waktu untuk kembali menikmati hidup. Merasakan hangat di antara sejuknya walau sejenak, sebelum menghadapi dunia yang terus berjalan cepat.

Penulis: Anastasia Nadila*

(*) Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

(ktr/RIA)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS