Seorang perempuan yang berasal dari Brazil bernama Juliana Marins memulai perjalanan yang tak disangka akan menjadi akhir cerita hidupnya. Juliana bukan pendaki profesional. Ia adalah seniman pole dance, penjelajah dunia, dan pecinta hidup yang menggambarkan dirinya melalui lewat gerak tubuh, pemandangan alam, dan langkah kaki di negeri-negeri asing.
Dari Rio de Janeiro, ia memulai petualangan ransel (backpacking) ke negara-negara Asia Tenggara seperti, Filipina, Vietnam, Thailand hingga Indonesia-tempat ia memutuskan untuk mendaki Gunung Rinjani. Namun, pada Sabtu pagi, 21 Juni 2025, saat berada di jalur menuju puncak tepatnya di Cemara Tunggal, Juliana tergelincir dan jatuh ke jurang sedalam 150 hingga 200 meter.
Upaya evaluasi pun dilangsungkan oleh tim SAR (Search and Rescue) setelah jasadnya Juliana ditemukan di kedalaman 600 meter pada hari Selasa 24 Juni 2025. Kisah Juliana Marins ini pun menjadi viral. Mengundang simpati dari publik Brasil, dan tentunya masyarakat Indonesia.
Peristiwa ini, membuka ruang untuk melihat lebih dekat daya tarik mendaki gunung. Mengapa banyak orang, dari berbagai latar belakang, menjadikannya sebagai tujuan perjalanan, bahkan sebagai bagian dari pencarian diri.
Alasan Mengapa Kita Ingin Mendaki
Setiap orang punya alasan masing-masing ketika memutuskan untuk naik gunung. Ada yang ingin melarikan diri dari rutinitas kota, ada yang mencari ketenangan, bahkan ada yang menjadikannya ritual spiritual, seperti halnya Juliana Marins. Tapi di antara berbagai alasan itu, ada satu benang merah.
Hasrat manusia untuk menyentuh langit, menantang diri dan merayakan hidup.
Anis Hoerunnisa seorang pekerja (23), yang menyukai kegiatan ini pun, menuturkan bahwa baginya, mendaki sudah menjadi warisan keluarga. "Kakak-kakak aku semuanya suka naik gunung. Awalnya hanya lihat foto-foto mereka, tapi lama-lama jadi ikut juga, apalagi alat-alatnya sudah tersedia," ujarnya.
Menurut Anis, pendakian mengajarkan banyak hal mulai dari ketahanan, kebersamaan, ketenangan, rasa syukur dan yang paling penting dalam pendakian gunung yaitu bukan sampai cepat ke puncak gunungnya, melainkan bisa pulang dengan selamat. "Puncak gunung itu bonus."
Kalimat ini mungkin terdengar sederhana, tapi ini seperti mantra sakral. Ya, mendaki gunung bukan sekedar kegiatan fisik, mendaki seperti perjalanan introspektif. Mur, seorang pendaki gunung sekaligus warga asli Lombok menjelaskan bahwa naik gunung membuatnya lebih mengenal dirinya sendiri.
"Kita jadi tahu sekuat apa mental dan fisik kita. Kita diuji terus, tapi itu yang membentuk kepuasan diri yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Pemandangan yang didapat juga tidak bisa digantikan hanya melalui foto-foto saja," kata Mur.
Diamnya hutan, dalamnya kabut tipis yang menyelimuti jalur pendakian, dalam detak jantung yang berpacu di tanjakan terakhir menuju puncak, tepat di situlah manusia mengenal batas dirinya. Gunung tidak bisa ditipu, di titik ini pula ego manusia akan runtuh dan yang tersisa hanyalah tekad untuk terus melangkah atau menyerah.
Tak semua orang yang menyukai gunung harus langsung mendaki, Hilma (23), salah satu seorang yang hingga kini belum sempat mendaki gunung, justru memberikan sudut pandang yang reflektif.
"Buatku, gunung punya daya tarik tersendiri. Mendengar cerita dari teman dan buku-buku yang kubaca, mendaki gunung adalah tentang menemukan sesuatu yang tidak biasa, seperti ketenangan, keindahan, bahkan menemukan diri sendiri. Tentang sebuah proses untuk menuju kesadaran diri, belajar untuk menghargai setiap proses," ungkap Hilma.
Mencintai alam tidak harus terburu-buru, bahwa proses mental sebelum mendaki bisa sama pentingnya dengan fisik dan melatih kerendahan hati.
Rinjani dan Kita
Gunung Rinjani, dengan ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut (mdpl), merupakan gunung tertinggi kedua di Indonesia setelah Gunung Kerinci. Terletak di pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, Rinjani bukan hanya primadona para pendaki lokal, namun juga magnet bagi wisatawan mancanegara.
Setiap musim pendakian, ribuan orang menapaki jalur Sembalun dan Senaru, mengincar puncak dan keajaiban Danau Segara. Namun keindahan ini dibingkai oleh tantangan yang tidak main-main yakni jalur pendakiannya panjang, berbatu, dan curam. Cuaca dapat berubah dalam hitungan menit, kadang cerah, kemudian berkabut tebal.
"Jalur Gunung Rinjani ini terus berubah setiap tahunnya. Apalagi beberapa minggu yang lalu baru selesai event Rinjani 100. Beberapa rute di ubah menjadi lebih panjang sehingga lebih menguras tenaga," ujar Mur.
Juliana Marins mungkin telah pulang dari Rinjani, kisahnya membawa pesan penting. Mendaki gunung tidak pernah sesederhana naik ke tempat tinggi dan turun kembali. Gunung bukan tempat wisata biasa. Ia alam liar yang indah sekaligus mematikan. Menegaskan bahwa persiapan baik fisik, mental, maupun teknis adalah harga mati.
Kita juga belajar bahwa siapa pun bisa jatuh cinta pada gunung, tanpa mengenal latar belakang. Juliana bukan pendaki profesional, tapi dia memiliki keberanian dan rasa ingin tahu yang besar. Sayangnya, keberanian tanpa kesiapan kadang bisa berujung petaka.
Kisahnya juga memperlihatkan betapa pentingnya mitigasi bencana, edukasi pendakian, dan pendampingan yang memadai. Banyak pendaki pemula mengira bahwa selama ikut rombongan, mereka akan aman, padahal keselamatan bukan hanya urusan jumlah orang tapi kesiapan individu dan kesiagaan bersama.
Selain itu dalam mendaki, kita belajar bahwa hidup tidak selalu tentang siapa yang cepat sampai. Kadang kita harus melambat, berhenti, mengatur napas atau bahkan mundur jika kondisi tidak memungkinkan. Kita belajar bahwa kerja sama dan empati jauh lebih penting daripada ambisi, kita belajar bahwa puncak bukanlah segalanya.
Gunung juga memberi kita perspektif, bahwa dunia ini luas, manusia hanyalah titik kecil di tengah semesta dan bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam langkah kaki sederhana. Udara dingin pagi hari, dalam secangkir kopi hangat di tenda dan tawa lelah bersama teman-teman seperjalanan.
Juliana Marins telah pergi, tapi Gunung Rinjani tetap berdiri dan hanya menjalankan kodratnya, tinggi, keras, indah dan tak terduga. Manusia akan terus mendaki, karena dalam pendakian, kita mencari sesuatu yang tidak bisa dibeli oleh apapun.
Bagi saya pribadi, mendaki gunung bukan hanya untuk perjalanan fisik biasa melainkan, kita mendaki karena ingin tahu siapa diri kita sebenarnya, kita mendaki karena ingin merasa hidup, kita mendaki karena tahu, meski kita jatuh, karena langit tetap menunggu untuk disentuh.
Lalu, apa arti mendaki bagimu?
Penulis: Ayu Puspita Lestari
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)