Inspire | Human Stories

Merawat Diri di Tengah Notifikasi: Bagaimana Gen-Z Menemukan Tenang di Dunia Serba Cepat?

Rabu, 25 Jun 2025 19:22 WIB
Merawat Diri di Tengah Notifikasi: Bagaimana Gen-Z Menemukan Tenang di Dunia Serba Cepat?
Ilustrasi gen-z bekerja. Foto: Unsplash
Jakarta -

"Istirahat sebentar, yuk."

Notifikasi ini selalu muncul setiap hari di ponsel saya. Muncul di antara tumpukan notifikasi Slack, WhatsApp grup kantor, dan reminder e-meeting jam 3. Fitur pintar yang selalu rajin mengingatkan saya ini justru membuat saya sadar, bahwa rehat itu belum terjadi, bahkan saat sedang tidak melakukan apapun. Tubuh duduk diam, tapi pikiran di kepala terus berputar.

Generasi Paling Terhubung, Tapi Paling Lelah

Gen-Z tumbuh di tengah era percepatan: informasi berputar cepat, tren berubah tiap minggu, dan eksistensi pribadi (sering kali) dinilai dari seberapa aktif kita tampil di ruang digital. Kita bisa menyapa teman lewat story, bekerja dari kafe mana saja, hingga mendapat peluang kerja dari DM Instagram. Semua terasa instan dan terkoneksi-seolah dunia ada dalam genggaman. Tapi di balik konektivitas itu, ada kelelahan yang tak bisa dijelaskan dengan mudah.

Kita tidak sedang "melakukan kerja berat" dalam arti lama, melainkan menghadapi kerja konstan yang tak terlihat: berpikir terus-menerus, menjawab cepat, dan merasa harus "hadir" sepanjang waktu. Data dari American Psychological Association (2023) menunjukkan bahwa Gen-Z adalah kelompok usia yang melaporkan tingkat stres tertinggi. Penyebabnya? Tekanan sosial digital, multitasking berlebih, dan tuntutan untuk selalu responsif. Banyak dari kita merasa bersalah jika tidak membalas pesan dalam hitungan menit, atau merasa ketinggalan jika tidak update tren TikTok terbaru.

Lebih jauh, budaya hustle menambahkan tekanan baru. Produktivitas dipoles sebagai bentuk eksistensi. "Kalau kamu tidak sibuk, kamu tidak cukup berguna," seolah menjadi bisikan tak terdengar yang terus mengiringi hari-hari. Notifikasi bukan hanya sinyal informasi, tapi pemicu adrenalin. Dan lama-kelamaan, tubuh dan pikiran mulai lelah karena tidak punya ruang jeda.

Wellness yang Tidak Estetik Tapi Otentik

Selama ini, narasi self-care sering dibingkai secara visual: skincare routine, lilin aromaterapi, atau journaling dengan alat tulis warna pastel. Itu sah-sah saja. Tapi kalau wellness sebatas estetika, kita melewatkan hal penting: bahwa merawat diri juga bisa tampak tidak cantik, tidak terstruktur, dan kadang membosankan.

Self-care bisa hadir dalam bentuk yang lebih diam dan tak terlihat. Misalnya, menolak tawaran proyek tambahan agar bisa tidur cukup atau memilih untuk tidak ikut arus percakapan grup yang melelahkan secara emosional. Kadang, bentuk self-care itu justru hadir dalam bentuk yang tidak bisa difoto: menyendiri untuk mengisi ulang energi, atau menangis sebagai cara tubuh melepas beban.

Bagi banyak Gen-Z, bentuk merawat diri tak selalu hadir sebagai ritual Instagramable. Kadang ia hadir sebagai keputusan untuk tidak membalas chat kerja di luar jam kantor atau keberanian untuk mematikan ponsel dua jam sehari tanpa rasa bersalah. Kadang, bentuk self-care itu hanya berupa "tidak ikut meeting yang bisa diganti dengan e-mail."

Di era hyper-productivity, kita mulai belajar bahwa menunda respons bukan bentuk malas, tapi bagian dari mempertahankan kewarasan. Kita butuh waktu untuk tidak tahu, tidak tanggap, dan tidak terhubung-dan itu bukan dosa. Meninggalkan notifikasi bukan berarti memusuhi teknologi. Kita tetap generasi digital   yang bekerja, belajar, bahkan jatuh cinta di dalam layar. Tapi dalam ruang serba terhubung, kemampuan untuk memilih kapan tidak aktif menjadi bentuk resistensi kecil yang sehat.

Beberapa pekerja kreatif muda, misalnya, mulai menerapkan "jam offline" pribadi di luar jam kerja. Ada yang mematikan fitur read di WhatsApp, atau menghapus aplikasi media sosial di akhir pekan. Bukan karena mereka malas atau anti-sosial, justru sebaliknya karena mereka ingin hadir sepenuhnya    saat online maupun offline.

Tren ini sejalan dengan konsep digital minimalism yang diperkenalkan Cal Newport. Dalam bukunya, Newport mengajak kita menyusun ulang hubungan dengan teknologi agar tidak menjadi korban dari ekosistem yang kita ciptakan sendiri. Ia menekankan pentingnya kesadaran dalam memilih aplikasi dan kegiatan digital yang benar-benar menambah nilai hidup, bukan sekadar mengisi waktu kosong.

Menariknya, konsep ini mulai banyak diadopsi oleh komunitas Gen-Z global. Gerakan seperti "Scroll-Free September" atau "Digital Sabbath" semakin populer, sebagai cara untuk mengingatkan diri bahwa kita bukan mesin yang harus online 24/7. Beberapa perusahaan rintisan bahkan mulai menawarkan "no-meeting Friday" atau insentif bagi karyawan yang menjalani digital detox berkala.

Tenang adalah Keputusan Harian

Mencari tenang di dunia yang berisik bukanlah proyek jangka panjang dengan hasil final. Ia lebih mirip keputusan kecil yang diulang setiap hari: memilih diam saat semua ramai, memilih tidur saat semua scroll, memilih sadar saat semuanya serba otomatis. Tenang bukan tempat, tapi kebiasaan. Seperti semua kebiasaan lain, ia perlu dilatih   perlahan, tanpa terburu-buru.

Tantangan terbesarnya adalah kita hidup di tengah dunia yang terus bergerak. Kita bisa bangun pagi dan langsung disambut notifikasi. Kita bisa tidur larut karena terpancing konten "5 langkah sukses sebelum usia 25." Tapi meski dunia tidak melambat, kita bisa menciptakan ritme kita sendiri. Kita bisa mulai dengan hal kecil: mematikan notifikasi, menetapkan batas waktu layar, atau mengatur zona bebas teknologi di kamar tidur.

Dalam ruang kecil itu, kita belajar kembali menjadi manusia: yang berpikir sebelum membalas, yang hadir saat berbicara, dan yang memilih jeda bukan karena lelah, tapi karena sadar akan batas diri.

Ada anggapan bahwa menjaga diri berarti menjauh dari tanggung jawab. Padahal sebaliknya, merawat diri justru memungkinkan kita hadir secara utuh-baik sebagai pekerja, teman, anak, atau pasangan. Saat kita penuh, kita memberi dengan lebih ringan. Saat kita tenang, kita berpikir lebih jernih.

Bagi Gen-Z, yang kerap disebut sebagai generasi rapuh atau terlalu sensitif, merawat diri adalah bentuk keberanian karena dalam dunia yang menuntut kita untuk tampil terus-menerus, memilih mundur sejenak adalah bentuk kekuatan.

Kita memang tidak bisa mengubah ritme dunia. Tapi kita bisa mengatur ritme pribadi. Di tengah notifikasi yang terus berdenting, kita bisa menciptakan ruang untuk diam, berpikir, dan merawat diri tanpa rasa bersalah. Mungkin, di sanalah bentuk tenang paling otentik itu berada: bukan karena dunia jadi lebih pelan, tapi karena kita tidak lagi selalu ikut berlari.

Penulis: Deandra Nurul Fadilah

**Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS