Waktu terus berlalu. Tahun demi tahun berjalan tanpa bisa benar-benar mengopek luka lama di balik peristiwa gerakan reformasi 1998. Terlalu banyak hal yang tersembunyi, terlalu banyak hati yang kehilangan belum sembuh, bahkan semua itu kini dianggap isu pinggiran hasil karangan belaka oleh seorang pemimpin negeri ini.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dengan lantang mengakui bahwa kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 itu hanya sebuah rumor tak berdasar. Ia mengatakan tidak ada yang namanya bukti kekerasan terhadap perempuan, apalagi pemerkosaan massal. Dia juga mengatakan, informasi itu tidak pernah tercatat dalam buku-buku sejarah kita.
"Ada pemerkosaan massal? Betul enggak, ada pemerkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada. Rumor-rumor seperti itu, menurut saya tidak akan menyelesaikan persoalan," kata Fadli Zon dalam wawancara di kanal YouTube IDN Times.
Padahal ketika bermacam-macam perisitwa 1998 itu terjadi, banyak saksi mata yang mengalami kengerian itu. Penjarahan, kekerasan, penculikan paksa, hingga pemerkosaan adalah fakta yang tidak bisa dimungkiri. Semua bisa dibuktikan, semua bisa dibicarakan dengan jelas bila diberi panggung.
Seperti yang dilakukan seorang remaja berusia 18 tahun bernama Martadinata Haryono atau yang lebih dikenal Ita Martadinata. Namun belum sempat ia berdiri di panggung peradilan dunia, nyawanya hilang secara tiba-tiba. Tanpa tahu penyebabnya, tanpa ada keadilan untuknya.
Dihapus Sebelum Diakui di Panggung Keadilan Dunia
Melek literasi rasa-rasanya bukan hanya pesan untuk anak muda semata, tapi juga untuk sekelas pejabat-pejabat negara. Bila Fadli Zon mengklaim bahwa tragedi pemerkosaan massal tidak ada dalam buku sejarah, namun fakta itu tertulis jelas dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.
Dalam buku tersebut tertulis bahwa pada pergerakan politik bulan Mei 1998, terjadi pemerkosaan massal terhadap sejumlah perempuan Tionghoa di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Solo. Bahkan menurut laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) di laman Komnas Perempuan menyatakan setidaknya ada 168 korban pemerkosaan dan kekerasan seksual yang terlapor hingga Juli 1998. Salah satunya adalah Ita Martadinata.
Ita Martadinata merupakan aktivis sekaligus penyintas tragedi kekerasan seksual pada 1998. Ita yang masih berumur 18 tahun saat itu berani bersuara tentang apa yang terjadi kepadanya dan ratusan perempuan lainnya yang senasib dengannya. Dia pun berencana untuk berangkat ke markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ada di Amerika Serikat bersama dengan rombongan aktivis HAM Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TruK) yang dipimpin Karlina Supeli.
Kabar keberangkatan Ita ke panggung dunia pun menyebar di masyarakat bersamaan dengan ancaman terhadap para aktivis TruK. Mereka pun dengan berani mengadakan konferensi pers terhadap persekusi yang diterima selama ini. Namun ternyata pertemuan di depan media itu adalah puncak dari segala teror. Tiga hari berselang sebelum keberangkatannya ke PBB, Ita ditemukan tewas dibunuh.
Menurut laporan Tempo, pada 19 Oktober 1998 seperti dikutip Historia, gadis kelahiran 1980 itu ditemukan di rumahnya pada 9 Oktober 1998. Ia tewas akibat tebasan senjata tajam yang ditemukan di bagian dada, perut, dan ulu ati. Sedangkan tangannya yang memegang kabel, lecet-lecet. Sementara itu, kamar Ita-tempat kejadian perkara tidak terlihat berantakan.
Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, Kolonel Gories Mere pun datang ke tempat pengambilan visum korban di bagian forensi Universitas Indonesia. Puluhan polisi pun dikerahkan di TKP untuk menyelidiki pembunuhan tersebut. Hasil otopsi Ita pun membuat keluarga dan rekan-rekan aktivisnya merasa kaget karena Ita dituding sebagai pecandu narkoba. Bahkan seorang psikolog menuduhnya sebagai pekerja seks karena mengacu pada luka di bagain vital korban.
Penyataan tendensius itu pun disangkal oleh ibu korban, Wiwin, yang mengatakan bahwa gadis berkacamata itu justru memiliki hobi yang positif yakni berenang dan lebih suka mengurung diri di kamar untuk membaca komik. Meski begitu, hal tersebut tidak menyurutkan kepolisian membuat pernyataan bahwa kematian Ita diakibatkan kriminal murni.
Gories Mere pun menampik kalau apa yang dialami Ita adalah bagian dari teror kepada sejumlah aktivis yang mendampingi dan mengadvokasi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual akibat kerusuhan Mei 1998. Walaupun pelaku sudah tertangkap yakni tetangganya sendiri bernama Suryadi, namun publik masih berspekulasi ada hal 'besar' di balik kematian Ita.
Dalam "Rape, Race, and Reporting" yang dimuat di Reformasi: Crisis and Change in Indonesia, ditulis oleh Ariel Heryanto menjelaskan, hal tersebut membuat banyak aktivis yakin kalau kematian Ita telah direncanakan dan bermotif politik.
"Pembunuhan ini merupakan pembalasan atas apa yang dilakukan Martadinata dalam kampanye anti-pemerkosaan di masa lalu, untuk mencegahnya memberikan kesaksian di masa mendatang, dan yang lebih penting lagi untuk mengintimidasi para aktivis sukarelawan lainnya... Di lain pihak, kepala kepolisian yang menyatakan pembunuhan Ita murni kriminal menanggapi ketidakpercayaan publik dengan mengumumkan niatnya untuk menuntut siapa pun yang menentangnya dan 'mempolitisasi' pembunuhan tersebut," tulis Heryanto.
Kekerasan Seksual dalam Tragedi Kerusuhan 1998 Itu Fakta
Kematian Ita yang mengenaskan ternyata memberikan dampak besar terhadap proses advokasi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual pada tragedi kerusuhan 1998. Para korban pun enggan untuk bersuara dan menutup diri bahkan sampai kabur ke luar negeri karena takut bernasib serupa dengan Ita. Inilah yang membuat korban enggan untuk bersaksi.
Belum lagi, pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang kurang berempati dan cenderung menyepelekan membuat borok yang belum sembuh ini kembali basah. Mental para penyintas pun kembali menurun, sebab peristiwa mengerikan yang dialami mereka tidak diakui oleh negara. Ini bisa menjadi alasan pembungkaman tersirat yang dilakukan kepada mereka.
Menanggapi pernyataan Fadli Zon, Komnas HAM pun memberikan tanggapan dalam keterangan pers yang dirilis pada Senin, 16 Juni 2025, bahwa pada Maret 2003 Komnas HAM membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Berdasarkan hasil penyelidikan yang berakhir pada September 2003, Komnas HAM pun menyatakan bahwa peristiwa itu adalah pelanggaran HAM berat yakni Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Adapun bentuk-bentuk tindakan dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 dalam Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 yaitu pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, dan persekusi.
Pemerintah pun telah mengeluarkan KeppresNomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (Tim PPHAM). Pada 11 Januari 2023 setelah menerima Laporan Akhir Tim PPHAM, Presiden mengakui Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dan 11 peristiwa lainnya sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Lalu, pada 15 Maret 2023 Presiden mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Selanjutnya pada 11 Desember 2023 keluarga korban Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 mendapatkan layanan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
"Pernyataan Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon, yang menyatakan tidak ada perkosaan dalam Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 tidak tepat karena Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 telah diakui oleh Pemerintah dan sebagian korban dan keluarga korban telah mendapatkan layanan," tulis Komnas HAM yang dikutip oleh CXO Media, Rabu (18/6).
Ita Martadinata mungkin telah tiada, namun keberaniannya masih meninggalkan jejak dan tidak akan terlupakan. Meskipun pernyataan soal kekerasan itu hanya rumor telah melukai para penyintas bahkan kematian Ita tapi setidaknya fakta-fakta sejarah tidak bisa disangkal. Ita-Ita lainnya semestinya bisa diakui dan juga dilindungi oleh pemimpin negeri ini, agar mereka kembali berani bersuara untuk mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya.
(DIR/DIR)