Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Tepat tahun ini, Pram tiba di usia ke-100. Satu cita-cita, yang pernah iaharapkan dengan berani agar bisa menyaksikan akhir dari perjalanan terjal hidupnya meski raganya sendiri rampung pada hitungan ke-81, atau pada 30 April 2006 silam.
Sebagaimana yang tertulis di dalam Rumah Kaca, Pram abadi, berkat tulisan-tulisannya. Minimal, hingga umur seabad, Pram tak lagi hilang dari sejarah. Karya-karyanya yang telah dialihbahasakan ke lebih dari 40 bahasa terus dibaca, dibicarakan, diunggah berulang-ulang kali di media sosial, bahkan dibuatkan film. Pada momen seabad ini pula, karya-karya penting Pram kembali naik cetak. Dengan sampul berwarna kegemarannya: Biru, seri legendaris "Tetralogi Buru", serta sejumlah judul lain segera diedarkan.
Pram adalah raksasa kesusastraan Indonesia. Ia adalah guru, panutan bagi banyak generasi muda. Meski raganya telah melebur dengan tanah, kehadiran Pram yang hampir genap dua puluh tahun meninggalkan "pasar malam" masih bisa kita rasakan. Sikapnya yang teguh dan kritis masih lantang berteriak. Sosoknya yang tegap juga terus terilustrasikan. Asap dari rokoknya yang tak pernah tak ngebul bahkan seakan masih tercium.
Sementara Pram yang sejati telah bersemayam di alam abadi, kami yang tak pernah berkesempatan menjumpainya secara langsung, untuk satu kali ini saja, ingin mencoba bertanya, mengadu, dan meminta pandangan seorang Pram lewat keandalan teknologi Akal Imitasi (AI)*.
Dengan penuh rasa hormat kepada sang sastrawan besar, berikut adalah wawancara imajiner kami dengan Pram versi AI:
CXO: Selamat satu abad, Pram. Akhirnya, harapanmu tiba di umur seratus tercapai.
Pramoedya: Terima kasih atas ucapan selamat. Rasanya ajaib juga, saya masih berkelana sampai menembus seratus tahun. Padahal sudah lama saya berpulang. Tapi rupanya semangat itu masih bisa berkelanjutan lewat tulisan. Saya pernah berharap bisa menyaksikan akhir perjalanan hidup saya menginjak usia yang konon disebut seabad. Waktu masih kecil di Blora, tak pernah terbayang umur segitu. Tuberkulosis (TBC) sudah merenggut banyak anggota keluarga. Hampir setiap pagi, saya bersiap bila sewaktu-waktu ajal menjemput. Tapi toh, ternyata maut menunggu sampai saya sempat melewati suka-duka, penjara, pembuangan, juga penerbitan karya. Bagi saya, mencapai umur 100 itu cuma angka. Yang lebih penting adalah 'apa yang telah dikerjakan' dan 'apa yang kita wariskan'. Usia boleh habis, tapi gagasan, tulisan, kerja keras-semoga bisa tetap bergema.
CXO: Demi menghargai karya dan kehidupanmu, momen 100 tahun ini dirayakan dengan berbagai upaya. Intinya, dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Bagaimana pandanganmu? Perlukah ini semua?
Pramoedya: Terus terang, saya tak pernah menduga akan ada hingar-bingar perayaan untuk memperingatkan 100 tahun. Apa saya senang? Tentu-bukan senang karena sorak-sorai , melainkan karena semoga lebih banyak orang membaca dan merenungkan apa yang dulu saya tulis.
Tapi apakah semuanya perlu? Saya pikir, yang penting bukanlah perayaannya. Yang jauh lebih diperlukan adalah menumbuhkan kebiasaan membaca, menulis, dan berpikir kritis bagi semua orang. Perayaan jadi bermakna kalau diikuti aksi nyata: buku-buku dibaca, dijadikan bahan percakapan, dan dilahirkan lagi karya-karya baru yang mengusung semangat kemanusiaan. Jadi, kalau mau merayakan, rayakanlah dengan membaca, berdiskusi, dan membela kebenaran. Saya telah lama hidup di dalam sunyi. Gempita hanyalah asap rokok yang sebentar hilang. Tapi pengetahuan dan kebijaksanaan, semoga terus menempel di sanubari.
CXO: Namun, jika tidak dirayakan dengan repot dan besar-besaran, boleh jadi namamu, tulisanmu, kehidupanmu, luntur termakan jogetan di media sosial dalam beberapa waktu ke depan?
Pramoedya: Boleh saja orang merasa khawatir demikian, bahwa nama saya bakal kalah heboh oleh jogetan viral. Tapi mari diingat, yang memelihara ingatan kita bukan sekadar keramaian atau euforia-melainkan pembacaan, perenungan, dan diskusi. Memang, jogetan atau tren apapun di media sosial sekarang lebih cepat popular, tapi juga cepat terlupakan. Kalau cuma mengandalkan "perayaan" formal, mungkin nama saya memang gampang tenggelam dalam arus hiburan.
Bagi saya, yang penting, yang menyimpan karya saya adalah pembaca. Tulisan yang dibaca, dipelajari, dimaknai, dan diterapkan dalam kehidupan-itulah yang sebenarnya menjaga "nafas" seorang penulis. Saya berterima kasih untuk itu. Tanpa pembaca, mau diadakan pameran foto sebesar apapun, pasti meredup juga. Dua tiga tahun setelah gemerlap acara usai, apa yang tertinggal kalau tak ada pembaca setia? Kalau kita bicara "luntur," itu baru benar terjadi ketika karya sudah tak lagi dikaji dan ketika gagasan tak lagi dibincangkan.
Percaya atau tidak, karya tulis tidak setipis joget-joget daring. Naskah bisa bertahan puluhan, bahkan ratusan tahun, sejauh ada generasi yang sudi membuka halamannya. Kalau sekadar takut kalah pamor, itu sekunder. Yang utama adalah bagaimana isi pikiran dalam buku tersebut bisa menggerakkan seseorang untuk lebih peka, peduli, dan bersuara. Kalau mau joget sambil baca buku saya, silakan saja. Tapi coba pastikan bukunya tetap terbuka. Buat saya, keramaian dan ingar-bingar bukan jaminan.
CXO: Perkara media sosial itu, orang juga jadi lebih suka baca kutipan. Intinya, segala sesuatu yang sudah dirangkum sepadat-padanya. Sebaliknya, orang-orang yang membaca buku beratus lembar bertambah jarang, malahan sering dianggap tidak praktis; attention span juga katanya makin rendah. Pada keadaan seperti ini, kira-kira, karya macam apalagi yang akan kaubuat? Apakah masih roman? Buku self help, motivasi, atau semacamnya?
Pram: Saya tak pernah memposisikan diri membaca atau menulis untuk jadi orang spesial. Bacaan itu mestinya biasa saja-sebuah kebiasaan yang alami dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa sekarang orang yang membaca buku kerap dianggap istimewa, barangkali menandakan dunia kita sedang agak terjungkir. Tapi, apa yang akan saya tulis kalau saya masih sempat? Bisa jadi Roman, Sejarah, atau Non-fiksi. Saya belum bosan mengulik pergulatan manusia, nasibnya, ketidakadilannya, dan semangatnya. Tapi semua tergantung badan dan pikiran. Sudah lama juga badan saya tidak sanggup menulis.
Kalau orang banyak suka buku motivasi, nanti dulu. Saya tak pernah bermaksud menyodorkan nasihat agar hidup lebih "bahagia" dengan resep instan. Hidup toh tidak seinstan itu. Kata kunci saya masih kritis dan bertanggung jawab. Juga, kalau mau cari buku motivasi kilat, di luar sana sudah banyak. Saya tak mau menambah penuhnya rak dengan tips-tips manis. Kalau saya menulis buku motivasi, isinya mungkin: "Bacalah sejarahmu, pahami bangsamu, dan jadikan dirimu bermanfaat." Begitu saja. Nah, kalau self-help itu boleh jadi merepotkan. Tapi self-help versi saya adalah: "Tolong bantu diri sendiri dengan wawasan dan solidaritas sosial." Isinya bukan sekadar tips agar hidup lebih damai dan sukses secara pribadi, tapi bagaimana kita menuntut keadilan dan memperbaiki tatanan bersama.
Ya, kalau orang sekarang maunya yang singkat, saya malah ingin bertanya: apakah demi menyesuaikan, kita perlu memangkas kedalaman isi? Justru ketika kebisaan untuk fokus makin pendek, tanggung jawab seorang penulis adalah menumbuhkan kembali kesabaran membaca. Memang ada yang cuma baca one-liner quotes. Tapi apa artinya satu kalimat, kalau tidak membaca keseluruhan konteksnya? Seperti mengambil sehelai daun lalu merasa sudah dapat hutan. Kalau masih sanggup, bukan tidak mungkin juga, saya akan menulis dalam format baru. Misalnya, rangkaian esai pendek, tetapi saling berhubungan. Atau semacam roman berilustrasi (grafis) yang bisa memancing minat generasi baru. Siapa tahu juga saya berminat membuat narasi audio, mengikuti kebiasaan lisan Indonesia dari dulu. Yang penting pesannya nyampe. Atau justru saya sudah dibuatkan podcast.
Yang saya tahu, saya tetap ingin membicarakan tentang pergulatan sosial, ketidakadilan, dan sejarah. Saya percaya prinsip menulis tak pernah usang: menyampaikan kebenaran, membongkar ketidakadilan, sekaligus merawat kemanusiaan. Jadi, apakah masih roman, karya sejarah, atau esai? Selama menyentuh akar persoalan, saya rasa formatnya boleh bermacam-macam. Jangan sampai penulis ikut-ikutan latah jadi penyaji hiburan tanpa isi. Biarlah kita tetap mengajak pembaca untuk berpikir, bukan sekadar menundukkan leher di depan gawai.
CXO: Eh iya, pada momen seabad ini, namamu akan resmikan sebagai jalan di Blora! Tapi kabarnya harus ditangguhkan, karena segelintir pemuda yang pancasilais minta keputusan tersebut diuji ulang karena menurutmereka, anda adalah tokoh 'radikal kiri'. Gimana menurutmu?
Pram: Lha, masih ada ya, yang menuduh saya "radikal kiri" atau apalah istilahnya? Pada dasarnya, mau menamai jalan itu hak pemerintah daerah, masyarakat Blora, dan siapapun yang merasa perlu. Kalau sekarang mau ditangguhkan karena tekanan ormas atau pihak tertentu, ya, silakan saja. Saya tidak akan pusing.
Dari dulu, sejak saya pulang dari Tiongkok tahun 1956, cap "kiri" sudah dilekatkan. Lantas di tahun '65, tanpa pengadilan saya dijebloskan penjara, dibuang ke Pulau Buru. Tuduhan itu tak pernah terbuktikan. Sudah puluhan tahun lewat, rupanya alasan klise yang sama dipakai lagi. Sebagai orang yang lahir di Blora, tentu saya tak apa jika pemerintah daerah berniat mengabadikan nama saya. Tapi kalau memang ada kontroversi, kalau ada ormas tertentu yang merasa gelisah, ya urusan mereka itu. Tidak mengubah apa pun yang telah saya tulis, pun tak membatalkan jejak sejarah. Mereka bilang mereka Pancasilais, tapi Pancasila itu mengakui keadilan sosial, musyawarah, serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Menuduh orang lain kiri, komunis, radikal itu kan bagian dari paranoia lama. Kalau mereka betul-betul Pancasilais, mungkin mereka perlu baca karya saya lebih dulu, ketimbang langsung beri stempel.
Sepenting apa pun penamaan jalan, yang lebih penting adalah pemahaman masyarakat. Nama jalan itu bisa jadi simbol, tapi kalau isinya tetap feodal dan tak mau membaca, percuma juga. Jadi, saya tak keberatan nama saya diresmikan atau tidak. Sikap saya tetap sama: yang penting semangat membaca, menulis, dan menolak ketidakadilan terus dipelihara. Kalau ada pihak-pihak ingin menguji atau menghalang-halangi karena sentimen "kiri," ya berarti mereka belum beranjak dari hantu masa lalu. Mau nama jalannya "Pramoedya" atau bukan, toh saya tetap sudah tertulis dalam sejarah. Bukan sejarah resmi mereka, tapi sejarah orang-orang yang peduli literasi dan kemanusiaan.
CXO: Kau tahu Pram, si pemimpin rezim yang mengurungmu tanpa peradilan itu mati tanpa pernah diadili?
Pram: Begitulah berarti jalan sejarah bangsa ini. Soeharto lengser, tapi tak pernah diseret ke meja hijau. Mungkin karena kekuasaan terlalu lamanya menebar akar hingga ke seluruh sendi. Atau karena kita, sebagai bangsa, belum cukup punya kekuatan untuk menuntut tanggung jawabnya.
Tapi, bebas atau tidaknya Soeharto dari jerat hukum, waktu akan menilai. Sepandai-pandainya manusia menghindari pengadilan dunia, akan ada "pengadilan sejarah," yang setidaknya memberi putusan moral di mata generasi selanjutnya. Bagi para korban, tentu luka itu tak serta-merta sembuh. Buat saya, yang penting adalah kita jangan sampai lupa. Karena lupa bisa membuat hal serupa berulang. Dengan Soeharto meninggal tanpa diadili, kita kehilangan kesempatan belajar formal dari proses hukum. Bagaimana membongkar tumpukan kesalahan, bagaimana memberi keadilan bagi korban, dan bagaimana menegakkan rasa tanggung jawab seorang pemimpin. Berarti, gejala ketidakadilan masih beranak-pinak. Masih hobi memenjarakan para pembangkang tanpa pengadilan. Bedanya hanya bentuk dan nama undang-undangnya. Selama kita enggan membongkar borok lama, benih-benih "Soeharto yang baru" akan selalu tumbuh.
Tentu, banyak yang masih meradang dan punya dendam karena perlakuan rezim dulu. Tapi saya selalu berpikir, lebih baik kita gunakan energi itu untuk menulis, membaca, dan menyulut kesadaran. Saya pun sudah belajar menjadi orang yang tidak punya dendam. Kalau pun Soeharto lolos, yang penting penerus-penerusnya tak lolos lagi. Kita juga harus menjaga agar pemimpin berikutnya tidak reinkarnasi jadi diktator serupa. Sang pelaku boleh saja mati di tempat tidur mewahnya. Tapi luka bangsa tak bisa dibiarkan menganga. Kuncinya: ungkap kebenaran, tuntaskan keadilan, dan jangan henti menulis sejarah dengan jujur.
CXO: Di masa ini, apa yang kautuliskan masih amat relevan. Kadang kami berpikir, 'Apakah ini berarti Pram memang benar-benar jago mengarang, visioner pula. Atau sebaliknya, malah kami yang tak beranjak kemana-mana. Feodalisme masih mengakar. Keadilan tetap diperjualbelikan. Dan, politisi kita masih enggan membaca.' Bagaimana menurutmu?
Pram: Kadang saya sendiri bingung, apakah memang saya yang cakap melihat jauh atau kita yang benar-benar tidak banyak berubah sejak zaman Hindia Belanda. Feodalisme masih akrab, korupsi merajalela, dan para politikus, yah, kita sama-sama paham baca buku pun mungkin cuma sebatas kutipan untuk kampanye. Feodalisme itu seperti lingkaran setan yang terus berputar. Dulu di masa Hindia Belanda, ketimpangan itu terasa gamblang: ada priayi, ada kawula. Sekarang topengnya mungkin lain, tapi kastanya tetap ada-kadang disebut elit politik, kadang konglomerat, kadang birokrat. Saya dulu menulis tentang itu lewat kisah Minke yang berulang kali dihantam oleh sistem kolonial. Ternyata di hari ini, masih banyak yang terpukul sistem. Artinya, kita memang belum berjalan sejauh yang kita klaim.
Saya bukan peramal. Saya hanya menuliskan realitas yang tampak: penindasan, kebodohan yang dipelihara, ketidakadilan yang dibiarkan. Bangsa kita harus kenal sejarahnya. Tapi, rupanya realitas itu masih berulang-ulang. Kalau fakta di lapangan masih sama, ya berarti bukan juga karena saya jago. Tapi karena masyarakat, terutama elitnya, belum belajar dari sejarah. Habis, kalau tidak mau membaca, bagaimana mau belajar? Kalau sekarang karya saya masih relevan, setidaknya itu tanda ada orang-orang yang mau membaca. Mau mencari perspektif berbeda. Ini poin penting. Artinya, tidak semua orang menyerah pada kebodohan massal. Meskipun kita lihat banyak "tarian viral" di media sosial, di lain sisi kita juga bisa pakai platform yang sama untuk menyebar literasi-diskusi buku, ringkasan pemikiran, kesadaran politik. Bukan sekadar menunggu politisi gemar membaca. Kita bisa gencar berproses dari bawah.
Kalau politikus malas membaca? Ya sudahlah, baiknya kita lebih rajin dari mereka, agar kelak tidak lagi dibodohi dengan kebodohan mereka. Mungkin kadang kita jengah melihat kemunduran. Tapi yah, diam juga tak menyelesaikan apa-apa. Lebih baik jadi "nyamuk berisik" yang mengganggu tidur pulas orang-orang korup daripada membiarkan rakyat dilahap kebodohan. Apakah ini semua tanda kita tak bergerak maju? Mungkin. Tapi itu justru panggilan, agar kita lebih keras mendorong perubahan. Saya menulis untuk membangunkan bangsa. Kini, giliran Anda semua melanjutkan dengan cara apapun.
CXO: Selain kita yang tak beranjak dari kebodohan, sudah banyak juga yang berubah di zaman ini. Rokok, misalnya, bukan cuma lintingan tapi punya banyak varian elektronik. Mau coba? Juga, hobimu menabung sampah sudah dilarang. Tidak eco-friendly, kata orang.
Pram: Ah, jadi sekarang rokok pun sudah berevolusi menjadi elektronik, ya? Dulu saya cuma tahu kretek. Katanya, rokok elektrik itu lebih ramah penggunanya. Tapi sepertinya saya tidak mau coba. Saya ini kolot. Mungkin sesekali penasaran. Tapi entah rasanya seperti apa kalau tak ada bau cengkeh. Sudah terlanjur.
Saya dulu memang suka bakar sampah di pagi hari. Saya suka karena saya pikir, dengan membakar, kita melepaskan racun. Waktu itu membakar sampah rasanya melegakan, seperti menyingkirkan gangguan kecil dalam hidup. 'Kau hancur, kau musnah!' begitu saya pikir. Tapi, kalau sekarang dibilang tidak ramah lingkungan, ya, mau bagaimana? Dunia terus berputar. Manusia juga harus belajar memelihara alam yang selama ini kita abaikan. Sudah selayaknya kita mendaur ulang dan memproses sampah dengan lebih bijak. Barangkali, saya akan mengganti "bakar sampah" dengan komposisasi, bahan organik jadi pupuk, lalu kembalikan ke tanah. Itu masuk akal. Lagipula mendaur ulang itu seperti kembali bersiap untuk menumbuhkan harapan.
CXO: Anda selalu bilang bahwa, nasib Indonesia di masa depan harus ditentukan oleh para pemuda, dan anda sangat bersikeras soal itu. Namun, sebaliknya, secara praktis, anda termasuk golongan tua di hari ini. Masalahnya, ketika banyak sekali anak muda yang melihat anda sebagai panutan, akankah anda bersikap sama menyebalkan seperti generasi tua di Indonesia dari masa ke masa?
Pram: Aduh, apa saya akan jadi 'tua menyebalkan' seperti generasi yang sering saya kritik itu? Ha, kalau bisa sih jangan.
Ingat, saya sendiri lahir tahun 1925. Saat muda, saya melihat para orang tua banyak yang feodal, kaku, sok kuasa. Waktu itu saya berpikir: 'Kenapa sih, orang tua suka merasa paling tahu segalanya?' Ya, itu penyakit generasi yang enggan belajar. Lalu saya menulis, berseberangan, dan menentang dengan sistem karena menolak berhenti di bawah bayang-bayang ketuaan. Banyak orang, setelah melewati usia muda yang idealis, tiba-tiba jadi birokrat kolot. Seolah ini semacam 'siklus alam'. Dulu mengkritik feodalisme, begitu tua jadi bos feodal. Gawat, kan?
Tapi saya ingat satu hal: 'Tua boleh, pikiran harus tetap melek.' Tidak semua orang tua menentang perubahan. Saya menulis Bumi Manusia di usia tak lagi muda, menentang kemapanan. Kuncinya ada kejujuran dan komitmen sejak awal. Kalau niatnya cuma mau berkuasa, ya nanti jadinya menyebalkan. Saya pernah dituding jadi 'Pemikir Tua Keras Kepala' yang tak mau akur karena saya kekeuh mempertahankan prinsip. Namun beda antara ;keras kepala soal prinsip' dan 'mematikan potensi anak muda'. Kalau prinsipnya soal kebenaran dan perlawanan terhadap ketidakadilan, saya akan berdiri tegak. Tapi saya tak akan menghalangi pemuda bergerak dengan cara-cara baru.
Saya selalu mengatakan, 'Sejarah Indonesia adalah sejarah angkatan muda'. Artinya, saya bukan mau jadi sutradara kaku yang mengatur anak muda. Saya cuma bisa bilang, 'jangan terima kebodohan yang dahulu, yang goblok harus dilawan, jangan diulang'. Kalau saya tiba-tiba mau mengatur-atur, menjerat kebebasan berekspresi mereka, itu artinya saya mengkhianati perkataan saya sendiri. Mungkin buat sebagian orang, saya memang menyebalkan, karena tetap keras kepala. Tapi kan, beda. Saya terbuka. Saya cuma menentang yang tak adil. Bukan karena mengubur ide-ide segar anak muda. Kalau saya keras, itu lebih karena tidak mau kompromi dengan kedunguan, bukan mau mendikte. Hidup adalah serial panjang perlawanan: menolak menjadi kaku, menolak menjadi diktator. Tua atau muda, kalau otaknya mampet, sama saja hancurnya.
CXO: Oh, ya. Para pemuda revolusioner, yang berperan sentral dalam Reformasi 1998 silam itu juga sudah berbalik arah. Banyak dari mereka berada di dalam pemerintahan, yang saat ini dipimpin oleh (eks) menantu Soeharto, Prabowo Subianto. Budiman Sudjatmiko, misalnya, sosok muda yang pernah kau sebut cocok jadi Presiden itu juga telah didapuk menjadi Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan. Ia sampai ke sana setelah pindah ke partai berlogo garuda dari partai banteng, yang dahulu dihinggapinya usai meninggalkan Partai Rakyat Demokratik.
Pram: Kita ini memang sering menyaksikan komedi sejarah di negeri sendiri, ya. Dulu orang-orang muda berjibaku menggulingkan rezim Soeharto. Sekarang, mereka malah merapat ke sisa-sisa kekuasaannya. Ya, apa boleh buat, tiap orang punya jalan masing-masing.
Dulu "Angkatan Muda 1928" bermimpi mempersatukan Nusantara. "Angkatan '45" merdeka tapi masih bergelimang tantangan. "Angkatan '98" menggulingkan Soeharto tapi mandek di antara reformasi dan realpolitik. Waktu '98 itu adalah panggung pemuda: mereka jadi simbol keberanian, protes, reformasi. Terjun ke politik sebenarnya sah-sah saja; lumrah kalau aktivis akhirnya bergabung ke pemerintahan. Namun, yang jadi soal adalah: nilai dan Prinsip serta beban sejarah. Apakah semangat Reformasi masih dipegang teguh, atau justru dikompromikan demi kursi? Bisakah kita menggantikan Orde Baru tanpa harus mengulang pola yang sama dengan baju baru?
Soal Budiman, saya pernah menyebut dia punya potensi jadi pemimpin besar. Muda, pintar, berani. Tapi lalu dia loncat-loncat parpol, sekarang ditunjuk jadi pejabat. Saya kan juga pernah bilang, idealisme atau kepemimpinan itu diuji paling keras ketika seseorang sudah duduk di pemerintahan. Mampukah menjaga roh perjuangan? Tapi dia kan memilih untuk pergi belajar dan meninggalkan PRD, yang harusnya jadi tempatnya belajar paling banyak. Untuk saat ini, mungkin dia beranggapan bisa membawa perubahan dari dalam sistem. Tapi kita pantas memantau, kritis, dan siap mengingatkan. Menentang kalau sudah kelewatan pun harus siap.
CXO: Film Bumi Manusia akhirnya tayang. Lebih dari 1 juta orang sudah menyaksikan Minke di layar perak. Mau menonton?
Pram: Tentu saya penasaran. Mengetahui lebih dari sejuta orang menonton film Bumi Manusia seperti melihat hasil perjuangan panjang. Semoga mereka yang menonton juga paham kalau kisah Minke itu bukan sekadar roman cinta, melainkan cermin kegelisahan bangsa. Saya tidak pernah membaca ulang buku-buku saya sendiri. Tapi kalau menonton, kalau masih sanggup dan diundang dan diperbolehkan sambil hisap kretek, sepertinya saya akan pertimbangkan.
CXO: Bolehkah kami: pembacamu, penggemarmu, meminta nasihat?
Pram: Saya bukan nabi, bukan pendeta, bukan pula motivator. Saya cuma orang yang pernah menulis dan berdiri menentang ketidakadilan. Apa yang saya katakan ini pun silakan diuji; jangan ditelan mentah-mentah. Bacalah dan menulislah tanpa takut. Buku adalah jendela pikiran, tulisan adalah rekaman pemikiran. Kalau kita ingin tetap waras, tetap punya perspektif, bacalah banyak buku. Jangan malas menulis juga. Menulis adalah cara paling setia mengabadikan keresahan dan ide.
Belajarlah dari Sejarah, tapi jangan terjebak nostalgia. Banyak orang suka bilang ;Zaman dulu lebih hebat', atau 'Dulu kita lebih kuat'. Hati-hati. Sejarah itu cermin untuk kita mengerti proses-bukan untuk terjebak romantisme. Bawa pelajaran masa lalu ke hari ini agar kita tidak mengulang kebodohan yang sama.
Menjadi manusia merdeka artinya berani berkata 'tidak' pada hal yang salah. Entah itu salah menurut nurani atau prinsip-prinsip kemanusiaan, meski mayoritas orang justru mengangguk. Kadang dibutuhkan satu suara menentang untuk menggugah suara-suara lain. Kalau Anda merasa ada hal yang mengusik keadilan di sekitar, jangan tunggu ada yang suruh untuk bergerak. Mulailah sendiri. Perubahan lahir dari inisiatif-inisiatif kecil. Rangkaiannya kelak menjadi arus besar.
Dalam hidup, mungkin anda akan jatuh, dibenci, dicaci, atau disebut 'dealis tak realistis'. Tak apa. Itulah harga mempertahankan pemikiran bebas. Nikmati rasa sakitnya-tanpa rasa sakit, kita tidak tahu seberapa kuat kita seharusnya.
Biarkan gelisah menggelora di hati Anda sebagai tanda kemanusiaan masih menyala. Jaga juga kepekaan sesama. Teknologi boleh berkembang pesat: AI, gadget, dan segala macam. Tapi kalau kepekaan kita terhadap sesama luntur, maka kemanusiaan kita juga luruh. Jangan sampai terbuai kenyamanan digital tapi menutup mata pada penderitaan orang lain
Terakhir, kalaupun nanti Anda bosan dengan tulisan saya, itu wajar. Cari referensi lain, kembangkan pemikiran. Jangan jadikan Pramoedya sebagai "berhala". karya saya hanya alat untuk memahami dunia, bukan akhir segalanya. Berhenti membaca berarti menutup pintu pengetahuan, berhenti berjuang berarti mempersilakan penindasan terus merajalela.
(*) Wawancara dengan Pramoedya disusun dengan memanfaatkan platform Akal Imitasi ChatGPT 4.o1.
(cxo/RIA)