Inspire | Human Stories

Mengulik Bahaya Melepas Informasi Kekerasan ke Ranah Publik

Selasa, 25 Oct 2022 13:31 WIB
Mengulik Bahaya Melepas Informasi Kekerasan ke Ranah Publik
Ilustrasi konten kekerasan Foto: Freepik
Jakarta -

Sadar atau tidak, hampir seluruh pemberitaan di media massa maupun media sosial penuh dengan kasus kriminalitas yang berbau kekerasan, salah satunya adalah berbagai kasus pembunuhan. Pelaku pembunuhan seorang perempuan di apartemen yang sempat menghebohkan baru-baru ini, mengaku bahwa ia terinspirasi melakukan aksinya karena telah belajar dari internet. Secara spesifik, ia terinspirasi dari video YouTube mengenai cara membunuh korban tanpa suara.

Dalam pengakuannya tersebut, pelaku bernama Rudolf ini mempelajarinya selama tiga hari. Sebelum belajar cara membunuh pun, ia juga sempat mencari informasi tentang pembunuh bayaran karena ingin membalaskan sakit hatinya kepada calon-calon korban yang ia incar. "Pelaku men-searching bagaimana cara membunuh orang supaya tidak bersuara. Itu dipelajari selama tiga hari," kata Kasubnit Jatanras Polda Metro Jaya AKBP Indrawienny Panjiyoga, dikutip Detikcom.

Hal ini pun membuat saya penasaran, apakah semudah itu untuk mencari bagaimana cara menyakiti orang atau spesifikasinya how to kill di YouTube? Setelah saya telusuri sendiri, mungkin ada beberapa video clickbait yang muncul di pencarian saya. Namun, isi dari kebanyakan video tersebut tidak menunjukkan tentang cara membunuh secara spesifik. Terkait konten kekerasan pun, saya hanya menemukan satu-dua saja yang membuat video singkat seperti cara membunuh menggunakan koran.

Saya ingat beberapa tahun lalu, saya pun sempat membaca sebuah koran yang berisikan tentang rekonstruksi pembunuhan yang dijelaskan secara gamblang dan sadis. Padahal dalam Kode Etik Jurnalistik, wartawan tidak diperbolehkan memberitakan peristiwa yang sadistik seperti menjelaskan terperinci tentang pembunuhan. Namun atas nama laku di pasaran, oknum media ini pun memberitakannya.

.Ilustrasi konten kekerasan/ Foto: Freepik

Mungkin hari ini kita tidak mengonsumsi koran   bagi generasi Z, sumber berita mereka berasal dari media sosial. Media sosial sendiri tidak memiliki filter yang mumpuni untuk menelaah mana post yang mengandung kekerasan dan mana yang tidak. Melihat liarnya informasi kekerasan yang dapat dikonsumsi saat ini, CXO Media berkesempatan untuk mewawancarai pengamat media, penulis, sekaligus dosen prodi Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto Djoewanto.

Maraknya pemberitaan tentang informasi kekerasan di ranah publik yang bisa menginspirasi seseorang, ia pun menjawab bahwa terinspirasi atau tidaknya, semua ini masih menjadi perdebatan. Namun Ignatius menekankan bahwa dalam Kode Etik Jurnalistik ada imbauan untuk tidak menuliskan berita secara sadis, terutama soal detail cara pembunuhan dilakukan. Namun sayangnya, masih banyak orang-orang yang lebih memilih untuk mencari sumber tanpa filter hanya karena rasa penasaran.

"Media sosial yang tanpa etika menelanjangi semua yang media massa mainstream lakukan dengan etika. [Jadi] para pengguna media sosial itulah yang harus lebih dididik berempati," kata Ignatius kepada CXO Media.

Semua itu kembali kepada diri kita masing-masing, sejauh apa kita bisa menyaring informasi. Apalagi menurutnya, dalam situasi sekarang media sosial membuat dunia ini seperti hutan belantara yang bisa menyebabkan apa saja. Semua hal tersebut tergantung tujuannya, apakah untuk kebaikan atau justru malah merusak. Terlepas bahaya informasi kekerasan yang kita konsumsi sehari-hari, kita masih dituntut untuk tetap waras dan berpegang teguh pada norma moral diri. Sulitnya menyaring konsumsi media membuat generasi kita, terutama gen Z harus lebih peduli terhadap sekitarnya dan lebih memedulikan moral.

"Buat saya yang dibutuhkan saat ini adalah menjadi orang yang berdaulat atas media sosial. Kita yang menentukan apa yang mau kita cari. Dan tentunya saya menganjurkan konten-konten yang lebih produktif dan positif daripada yang negatif. Kita yang harus bijak, melek media, dan memilah mana yang kita butuhan dari medsos. Saya kira perahu platform besar juga mengkurasi konten agar tidak berisikan hal negatif. Kalau pun masih ada, ada mekanisme pelaporan dari sesama netizen," jelasnya.

.Ilustrasi konten sensitif/ Foto: Freepik

Hidup di zaman yang telah melek media dan digital, sukar mengharapkan pihak-pihak tertentu banyak membantu. Dulu mungkin ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bisa memilah mana tontonan yang berkualitas atau tidak di televisi. Namun, media sosial terlalu luas untuk diatur. Meski kini ada regulasi yang bisa membatasi, tetap saja dunia media sosial masih terlalu besar untuk kita.

Jadi tidak heran, sekalipun konten kekerasan sudah disaring sedemikian rupa, masih saja ada yang muncul ketika dicari. Apakah kita bisa menghentikan pengulangan ini? Menurut Ignatius masih mustahil.

"Bagaimana agar kekerasan tak berulang itu mustahil. Media pun tidak bisa menahan ini. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah memberitakan dengan etis, tidak terjebak clickbait. Laporan tapi tidak perlu sedemikian detail. Kalaupun ada konten seperti ini (kekerasan) di YouTube laporkan saja," ujarnya.

Terlepas kesadaran kita akan bahaya informasi kekerasan yang semakin marak di media massa maupun media sosial, alangkah baiknya kita bisa lebih bijak untuk mencari konsumsi konten yang lebih bermanfaat saat sedang dikuasai amarah. Misalnya saja, mencari tentang cara mengatur amarah dan membuat kita lebih tenang.

[Gambas:Audio CXO]

(DIR/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS