Inspire | Human Stories

Perempuan dan Kekerasan Domestik

Selasa, 08 Feb 2022 20:00 WIB
Perempuan dan Kekerasan Domestik
Foto: Karolina Grabowski/Pexels
Jakarta -

Ketika tumbuh dewasa, saya beberapa kali mendengar ucapan, "Jadi istri itu harus nurut sama suami." Dalam budaya masyarakat Indonesia, laki-laki kerap dipandang sebagai kepala rumah tangga. Kasih sayang tidak sama dengan kepatuhan. Dominasi laki-laki di ranah privat seringkali melahirkan kekerasan domestik.

Dikutip dari Alodokter, kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, serta intimidasi atau ancaman. Masing-masing bentuk kekerasan ini bisa berwujud dalam berbagai macam perilaku. Misalnya, kekerasan emosional bisa ditandai dengan sikap pasangan yang selalu melimpahkan kesalahan kepadamu, menghinamu di depan umum, dan kerap membuatmu takut. Lalu untuk kekerasan seksual, misalnya bisa ditandai dengan memaksamu untuk berhubungan seksual atau menyentuhmu tanpa persetujuan.

Sejatinya, laki-laki juga bisa menjadi korban dari kekerasan domestik. Tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa perempuan lebih sering menjadi korban. Menurut data dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2021), sepanjang tahun 2020, 79 persen kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan domestik. Kekerasan terhadap istri menempati peringkat pertama pada 3.221 kasus (50 persen), disusul dengan kekerasan dalam pacaran ada 1.309 kasus (20 persen) yang menempati posisi kedua. Sedangkan kekerasan terhadap anak perempuan menempati posisi ketiga dengan jumlah 954 kasus (15 persen). Tingginya jumlah kasus ini menunjukkan bahwa perempuan masih menjadi kelompok yang rentan menjadi korban dalam kasus kekerasan domestik. Mengapa ini bisa terjadi?

Norma dan budaya masyarakat patriarki adalah akar permasalahannya. Dalam masyarakat patriarki, laki-laki ditempatkan sebagai pemegang kuasa utama. Relasi yang tidak setara ini berakibat pada diskriminasi gender terhadap perempuan. Di ruang publik, laki-laki mendominasi hampir di setiap bidang; mulai dari politik, ekonomi, sampai budaya. Namun dominasi ini tak hanya terjadi di ruang publik, melainkan juga di ruang privat seperti keluarga.

Peran perempuan kerap dibatasi di ranah domestik. Budaya ini tercerminkan salah satunya dalam falsafah Jawa yang mengatakan bahwa urusan perempuan adalah urusan "dapur, sumur, dan kasur". Tapi bagaimana bila perempuan mengalami kekerasan dari seseorang yang dekat dengan mereka sendiri, misalnya dari suami atau bahkan ayah mereka?

Di keluarga, sosok suami atau ayah merupakan kepala rumah tangga yang memiliki otoritas penuh; termasuk otoritas terhadap istri, anak, serta properti yang dimiliki keluarga. Lebih jauh lagi, dengan memegang kuasa penuh laki-laki merasa mendapat pembenaran untuk memperlakukan perempuan semaunya, termasuk dengan melakukan kekerasan. Kekerasan domestik adalah manifestasi dari kekuasaan laki-laki yang tumbuh kuat di ruang privat.

Permasalahan tidak berhenti di situ. ketika perempuan yang mengalami kekerasan mencoba mencari pertolongan, mereka kerap dikecewakan oleh masyarakat dan sistem hukum yang tak berpihak kepada mereka. Misalnya, reportase Project Multatuli mengangkat kasus perkosaan di Luwu Timur, di mana tiga anak mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka sendiri. Dalam kasus ini, ibu dan ketiga anaknya sudah melapor ke kepolisian dan mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), tapi tidak membuahkan hasil. Pihak P2TP2A justru menghubungi si pelaku dan berniat mempertemukannya dengan anak-anaknya. Tak hanya itu, sang ibu juga dicap memiliki "kelainan jiwa" dan membuat fitnah terhadap suaminya. Ini adalah salah satu contoh dari ribuan kasus kekerasan domestik yang berhasil dicatat dan diketahui oleh publik. Di luar ini, bisa jadi angkanya lebih tinggi.

Terkadang, kasus kekerasan domestik justru lebih sulit untuk diatasi. Apalagi, budaya patriarki yang memaksa perempuan untuk patuh membuat orang sulit mempercayai bahwa kekerasan bisa terjadi di ranah privat. Sebab, "itu kan kewajibanmu sebagai istri untuk nurut," katanya. Menurut Jaleswari Pramodhawardani, peneliti LIPI, hal ini juga dipersulit karena adanya anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam rumah tangga bersifat privat dan bebas dari intervensi orang luar.

Ideologi patriarki yang mengasingkan perempuan ke dalam ruang privat juga menambah lapisan kompleksitas dari kekerasan domestik. Diasingkannya perempuan dari ruang publik juga secara otomatis membatasi akses yang mereka miliki untuk bisa keluar dari jerat kekerasan yang menimpa mereka. Maka dari itu, menurut Jaleswari, persoalan kekerasan domestik tidak bisa disederhanakan menjadi urusan publik/privat. Perempuan berhak untuk hidup bahagia dan merasa aman, apalagi di dalam rumah tangganya sendiri.

Bila kamu mengalami tanda-tanda kekerasan domestik atau mengetahui seseorang yang mengalaminya dan membutuhkan pertolongan, kamu bisa menghubungi layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di nomor 129 atau mengirim pesan WhatsApp kepada layanan pengaduan di nomor 08111129129. Selain lembaga pemerintahan, kamu juga bisa menghubungi Yayasan Pulih di nomor 08118436633 untuk konseling psikologi atau menghubungi LBH APIK di nomor 0813888226699 untuk menerima bantuan hukum.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS