Inspire | Human Stories

Hidup di Jakarta: Pindah Enggan, Menetap Tua di Jalan

Selasa, 11 Oct 2022 14:43 WIB
Hidup di Jakarta: Pindah Enggan, Menetap Tua di Jalan
Foto: Detik.com
Jakarta -

Sebagai seorang warga Jakarta dari lahir, bisa dibilang saya sudah expert tentang hal-hal tentang Jakarta. Lahir dan tinggal di Jakarta selama 29 tahun, dari melajang hingga kini telah menikah, membuat saya berpikir apakah saya harus meninggalkan Jakarta dan pindah ke wilayah urban seperti Tangerang Selatan, Tangerang, Bekasi, Depok, atau Bogor? Namun terkadang saya berpikir terlalu sayang untuk meninggalkan kota yang serba ada dan serba mudah ini.

Sebut saja kemudahan dan kelengkapan transportasi umum, berbagai hiburan warga seperti mall sampai tempat rekreasi yang nyaman semua ada di Jakarta. Ditambah soal pendidikan gratis, kelengkapan pelayanan kesehatan, layanan masyarakat yang mudah tanpa pungli, hingga perusahaan tempat saya bekerja pun ada di Jakarta. Tak heran kan kalau saya merasa enggan untuk pindah dari ibukota ini.

Meski begitu, perdebatan batin untuk meninggalkan Jakarta akhir-akhir ini semakin kuat karena peristiwa banjir yang terjadi pada Kamis, 6 Oktober 2022 lalu. Saat itu, hujan deras melanda sebagian besar kota Jakarta dengan intensitas lebat. Akibatnya semua arus lalu lintas terganggu, para kaum urban sampai warga Jakarta sendiri pun merasakan kemacetan hingga berjam-jam.

Tapi itu hanyalah sebagian kecil dari cerita warga Jakarta saat musim hujan tiba. Tidak musim hujan pun, kota yang pada tahun 2021 telah mencapai 10, 61 juta jiwa ini terlalu ramai dihuni ataupun didatangi setiap hari sampai-sampai membuat sebagian besar orang merasa 'tua di jalan'. Hal ini karena untuk menempuh perjalanan dari satu tempat ke tempat lain di hari kerja membutuhkan waktu setidaknya 1-2 jam perjalanan dengan kendaraan pribadi atau 1,5 jam atau 2,5 jam menggunakan transportasi umum.

Selain itu, orang-orang yang bekerja di Jakarta ini juga harus menikmati kemacetan kendaraan-yang menurut saya tidak masuk akal-sebelum sampai kantor atau sampai rumah lagi setelah pulang kantor. Kalau di Jakarta ada 10 juta lebih orang yang tinggal, ketika hari-hari kerja dari Senin sampai Jumat, setidaknya bertambah 4 jutaan orang yang harus bekerja di berbagai perkantoran yang berdomisili di kota ini. Itu belum termasuk 22 juta kendaraan yang masuk ke Jakarta setiap harinya. Bisa dibayangkan bukan sepadat apa Jakarta di hari kerja?

Ditambah iming-iming gaji di atas rata-rata upah minimum regional (UMR), menjadi alasan saya untuk tetap tinggal di sini dan menikmati segala kemudahannya. Walaupun sebenarnya gaji itu tak pernah sebanding dengan apa yang saya alami setiap hari berkelana di jalan hingga sampai ke kantor. Tapi bila saya memilih untuk pindah dari ibukota, dan menetap di daerah untuk bekerja atau minimal membangun bisnis, apakah akan tetap sama seperti saya tinggal di sini?

Terlepas dari segala problematika Jakarta, dicintai tapi juga dibenci orang-orangnya, mengapa kita sulit melepas 'Jakarta' dari hidup kita?

Daya Tarik Kota yang Tak Pernah Mati

Jakarta-dulu bernama Batavia-sebenarnya telah direncanakan untuk dipindah ke daerah yang lebih aman dan sehat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Bahkan menurut berbagai literatur, terdapat pembahasan bahwa kondisi wilayah Jakarta sebenarnya tidak diperuntukan menjadi sebuah kota besar. Pemerintah Hindia Belanda saja telah menyadari bahwa kota ini memang tak layak untuk dinobatkan sebagai ibukota negara pada saat itu. Lantas, mengapa kita kini 'ngotot' tetap tinggal dan menetap di Jakarta?

Mengutip buku berjudul Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya yang ditulis oleh Dr. Adon Nasrullah Jamaludin, pada negara maju, perkembangan kota yang telah menyulap aktivitas ekonomi telah mengubah pedesaan menjadi perkotaan, yaitu pada sektor industri dan jasa. Bila dibandingkan, dengan negara berkembang seperti Indonesia yang masih mementingkan ekonomi pertanian juga, pertumbuhan ekonominya hanya 3 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan sektor industri dan jasa bisa mencapai pertumbuhan 75 persen atau 20 persen per tahun.

Pada akhirnya, sektor industri dan jasa yang sebagian besar ada di wilayah perkotaan membuat laju penduduk kota menjadi tinggi, karena adanya urbanisasi sebab daerah tidak membuat perekonomian masyarakatnya berkembang pesat. Tak cuma ekonomi, pemicunya pun dari sosial budaya dan pelayanan kehidupan kota yang lebih membuat penduduknya nyaman. Gambaran tentang kemajuan dan gemerlap kota menjadi daya tarik kota yang tak pernah mati. Adapun tantangan yang mesti-bahkan selalu-dihadapi oleh para pemimpin daerah ini adalah sebagai berikut:

1. Golongan masyarakat ini masih harus belajar berperilaku dan menyesuaikan diri dengan kondisi perkotaan yang bergantung pada lingkungan buatan yang serba berongkos. Padahal, golongan masyarakat ini tidak mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan ongkos tersebut.

2. Lapangan kerja tercipta atau diciptakan oleh lapisan masyarakat ini. Dari pekerjaan menjadi kurir, ojek online, tukang jok, dan pekerjaan paling mudah seperti ojek payung pun menjadi lapangan kerja di perkotaan yang tidak pernah ada di pedesaan.

3. Keterikatan batin pada kota tempat tinggal lemah, bahkan tidak ada. Tanggung jawab pada lingkungan tempat tinggalnya sangat kurang. Banyaknya kebakaran di Jakarta, misalnya, disebabkan oleh ketidakpeduliannya pada lingkungan. Mereka juga bersedia hidup seadanya, karena apa yang diperoleh justru digunakan untuk membantu keluarganya yang miskin di kota.

Tantangan-tantangan kota Jakarta sepertinya akan terus beregenerasi untuk dihadapi oleh siapapun pemimpinnya. Permasalahan daerah khusus ini, seakan mengikuti gambaran kemegahan kotanya yang tidak pernah berubah dan pemikiran orang-orang bahwa wilayah yang tak seberapa luas tersebut masih bisa menampung mimpi-mimpi besar orang yang berharap bisa sukses di kota ini.

[Gambas:Audio CXO]

(DIR/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS