Menjelang akhir tahun, berbagai festival musik, pameran seni, konser selebriti mancanegara, hingga acara komik tahunan hadir untuk memuaskan dahaga para anak muda yang membutuhkan hiburan, setelah 2 tahun dibatasi akibat pandemi. Sekalipun acara yang diadakan secara bersamaan, para muda-mudi tersebut rela merogoh kocek dalam agar bisa menghadiri semuanya. Semua dilakukan agar tidak mengalami FOMO alias Fear of Missing Out.
Meskipun setiap minggu ada saja acara menarik yang dihelat, saya sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk mendatanginya. Selain tiketnya memang tidak murah, kondisi yang mungkin akan sangat ramai pun membuat saya berpikir ulang untuk mengikuti hype ini. Selain soal kegiatan yang sedang current trending, saya pun juga tidak terlalu mengikuti perkembangan teknologi seperti baru-baru ini diluncurkannya iPhone 14 di seluruh dunia.
Seperti yang kita ketahui, iPhone merupakan perangkat telekomunikasi masa kini yang cukup digandrungi anak-anak muda. Namun saya juga bukan orang yang akan ikut membeli perangkat baru ini, meskipun semua orang berlomba-lomba untuk memilikinya. Beberapa teman pun mengatakan bahwa saya salah satu orang yang dianggap agak ketinggalan hype terkini karena tidak mengikuti semua itu. Tapi saya memang bukan orang yang FOMO, sebab menurut saya tidak ada salahnya menjadi orang yang biasa-biasa saja dan mencari cara lain untuk tetap up-to-date walau tidak kekinian.
 Ilustrasi festival musik/ Foto: Freepik |
Sehingga saya pun tidak pernah merasa stres atau takut karena tak mengikuti tren. Perilaku ini menjadi kebalikan dari FOMO yakni JOMO atau Joy of Missing Out. Dikutip Insider, Kristen Fuller mengatakan JOMO pada dasarnya adalah penangkal emosional untuk FOMO. Di mana seseorang merasakan kesenangan dalam hidup karena merasa tenang dan tidak cemas melewatkan informasi penting atau kejadian menarik yang terjadi di tempat lain.
Tanpa sadar, JOMO ini sudah kita anut sejak dulu. Namun karena adanya tekanan untuk menjadi sempurna, citra siber, tujuan siber, dan tuntutan sosial untuk selalu tahu apa yang terjadi saat ini, membuat JOMO kian terlupakan. Padahal JOMO mengajarkan untuk mengurangi overthinking tentang hal-hal di luar kendali dan tidak memaksakan kehendak untuk selalu jadi 'si paling tahu segalanya'.
Menurut Dr. Sonal Anand, psikiater dari Rumah Sakit Wockhardt, Mumbai, India mengatakan pada dasarnya, JOMO adalah tentang menikmati momen dan menerima apa yang terjadi, dan melihatnya dari sudut pandang positif daripada menggerutu tentang hal tersebut.
 Ilustrasi JOMO/ Foto: Freepik |
"JOMO bisa menjadi penyelamat hidup dan membantu detoksifikasi digital. Ini adalah proses memutuskan apa yang lebih penting dan bertindak dengan cara menjaga kedamaian mental diri," kata Dr. Anand. Ia menambahkan, cara terbaik untuk mengikuti JOMO adalah dengan mengurangi jumlah waktu media sosial. Awalnya mungkin sulit, namun dengan motivasi yang tepat dan rutinitas penjadwalan, semua itu bisa dicapai.
"Cobalah untuk tidak melihat ponsel kamu di pagi hari saat bangun tidur, serta cobalah menikmati 'me time' di pagi hari seperti melakukan peregangan atau olahraga ringan, sarapan, dan bermain dengan hewan peliharaanmu," ujarnya. Sementara pada malam hari, pastikan kamu membaca buku, mendengarkan musik, atau bisa juga menonton film kesukaan kamu, alih-alih mengomentari hal-hal yang tak penting di media sosial.
Kamu juga bisa mulai memprioritaskan apa yang lebih penting dan apa yang membuat kamu benar-benar merasa senang ketimbang harus mengikuti orang lain hanya agar kamu tidak dijauhi karena 'enggak gaul'. Perhatikan juga bagaimana kamu menghabiskan waktu dan memaksimalkannya dengan kegiatan lebih produktif. Walau awalnya sangat sulit untuk mengatakan 'tidak', namun acuhkan komentar-komentar yang membuatmu merasa buruk karena tidak mengikuti hype terkini. So, being out of date is not something to be afraid of, just take it easy and enjoy your life.
(DIR/iyas)