Inspire | Human Stories

Sertifikat Keperawanan di Iran: Kekerasan Seksual dalam Bentuk Menjaga "Kehormatan"

Kamis, 18 Aug 2022 10:00 WIB
Sertifikat Keperawanan di Iran: Kekerasan Seksual dalam Bentuk Menjaga
Foto: Pakistan Today
Jakarta -

Belum lama ini, warganet dihebohkan dengan sebuah cerita dari seorang wanita bernama Mariam asal Iran kala ia hendak menikah dengan pasangannya. Ia bercerita bahwa status keperawanan di negaranya merupakan suatu hal yang sangat sakral dan sangat amat penting untuk dipertanyakan ketika mereka hendak menikah. Masyarakat pun menganggap bahwa keperawanan adalah status yang penting bagi banyak perempuan serta keluarga mereka. Hal ini pun membuat kaum pria di Iran meminta sertifikat keperawanan, layaknya yang dialami oleh Mariam.

Pada ceritanya, ia mengatakan bahwa pasangannya marah dan menganggap Mariam bukan seorang perawan hanya karena ia tidak mengeluarkan darah ketika berhubungan seksual untuk yang pertama kalinya. Padahal, Mariam memang mengaku dengan bersikeras bahwa ia sejujurnya memang belum pernah berhubungan seksual sama sekali, hanya saja selaput daranya tidak mengeluarkan darah secara natural ketika berhubungan seksual. Tentu saja, suami Mariam tidak percaya dengan apa yang ia katakan, sehingga ia pun diharuskan mendatangi dokter untuk menjalani tes yang membuktikan bahwa ia tidak pernah melakukan hubungan seksual.

Hal ini bukan menjadi sebuah hal yang jarang lagi di Iran, karena kejadian yang Mariam alami merupakan sebuah pengalaman yang juga sering dialami oleh banyak perempuan di Iran untuk membuktikan bahwa mereka belum pernah berhubungan seksual. Memiliki status perawan sebelum menikah di Iran adalah hal yang amat penting bagi perempuan karena hal ini berakar pada konservatisme budaya. Tidak hanya datang dari pasangan atau calon pasangan laki-laki, tekanan untuk menjaga keperawanan hingga menikah juga datang dari keluarga, baik keluarga sendiri maupun keluarga calon pasangan atau ibaratnya mertua.

Dalam praktiknya, tes keperawanan ini dilakukan oleh dokter ginekologi atau bidan yang hasil dari pemeriksaan tersebut akan menghasilkan sertifikat yang berisikan nama lengkap, nama ayah, nomor induk kependudukan dan terkadang juga disertai oleh foto sang perempuan. Bahkan, di keluarga Iran yang lebih konservatif, sertifikat tersebut akan ditandatangani oleh dua saksi, yaitu kedua ibu dari masing-masing mempelai. Dr. Fariba yang merupakan salah satu dokter yang merilis sertifikat keperawanan selama bertahun-tahun di Iran mengaku bahwa tes keperawanan adalah praktik yang sangat melukai harga diri perempuan namun, sangat membantu banyak perempuan Iran.

Bagi mayoritas pria di Iran menganggap bahwa menikahi seorang perawan adalah sesuatu yang sangat fundamental. Mereka percaya bahwa jika seorang perempuan tidak lagi perawan ketika menikah, maka ia adalah seorang perempuan yang tidak bisa dipercaya dan diyakini dapat meninggalkan suaminya demi pria lain.

Padahal, berdasarkan edaran dari WHO (World Health Organization) tes keperawanan merupakan suatu tindakan medis yang sangat dilarang karena tidak etis dan kurang akan landasan ilmiah. Meskipun demikian, praktik tes keperawanan ini masih saja berlangsung di sejumlah negara, termasuk Indonesia, Irak dan Turki. WHO menganggap bahwa praktik ini adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Istilah perawan itu sendiri sebenarnya bukanlah sebuah istilah medis ataupun ilmiah, di mana sebaliknya, konsep keperawanan adalah sebuah konstruksi sosial, budaya dan agama yang mencerminkan diskriminasi gender terhadap perempuan. Tidak hanya sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, tes keperawanan juga dalam praktiknya meniru tindakan kekerasan seksual yang dapat membangun kembali trauma yang pernah hilang dalam kasus seorang korban pemerkosaan atau kekerasan seksual. Banyak perempuan yang mengalami masalah psikologis dalam jangka pendek dan jangka panjang sebagai akibat dari praktik ini.

[Gambas:Audio CXO]



(DIP/HAL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS