Inspire | Human Stories

Peran Perempuan dalam Mengatasi Krisis Iklim

Selasa, 08 Mar 2022 12:00 WIB
Peran Perempuan dalam Mengatasi Krisis Iklim
Ilustrasi krisis iklim Foto: Pascal Bernardon/Unsplash
Jakarta -

Meski krisis iklim adalah fenomena global, dampak dari krisis iklim bisa dirasakan secara berbeda. Kelompok marjinal yang sehari-hari hidup dalam kondisi rentan   di antaranya mereka yang hidup dalam kemiskinan, perempuan, lansia, dan masyarakat adat   akan menanggung risiko yang lebih besar. Jeffrey Sachs, profesor ekonomi dari Columbia University mengatakan, bahwa ketidaksetaraan yang ada saat ini merupakan warisan dari sejarah imperialisme dan kolonialisme. Selain meminggirkan masyarakat adat dan mengeksploitasi sumber daya, dampak jangka panjang dari imperialisme juga mengakibatkan ketimpangan ekonomi antar negara-negara yang masih bisa kita rasakan hingga sekarang. Salah satu kelompok yang paling terdampak dari ketimpangan ini, adalah perempuan.

Krisis iklim berkaitan erat dengan ketimpangan gender. Menurut UNDP, dampak krisis iklim berbeda bagi laki-laki dan perempuan, oleh karena adanya ketimpangan kuasa yang membatasi peran dan tanggung jawab perempuan baik di level rumah tangga maupun komunitas. Pembatasan peran perempuan secara langsung berakibat pada keberhasilan untuk mengatasi krisis iklim. Sebab pembangunan yang berkelanjutan tidak akan bisa dicapai tanpa adanya kesetaraan gender. Hal ini sebenarnya sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals kelima, yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan. Sayangnya, di berbagai wilayah di dunia, tujuan ini masih sulit untuk tercapai akibat adanya keterbatasan akses dan kungkungan norma yang masih membatasi perempuan untuk mengambil peran yang lebih beragam.

.Ilustrasi krisis iklim/ Foto: N Jilnedra/Pexels

Penelitian International Union for Conservation of Nature (IUCN) membuktikan demikian, dengan mengangkat bagaimana krisis iklim meningkatkan kerentanan perempuan dalam mengalami kekerasan berbasis gender. Salah satunya, kisah Ntoya Sande dari Malawi. Ia dipaksa menikah ketika berusia 13 tahun, untuk menyelamatkan keluarganya dari kemiskinan setelah banjir bandang menghancurkan lahan pertanian keluarga mereka. Perempuan di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Liputan VICE menunjukkan korelasi antara krisis iklim dengan meningkatnya perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur, sebab kemarau berkepanjangan telah memaksa perempuan di NTT untuk mempertaruhkan nasib melalui penyalur TKI ilegal.

Perempuan terbukti berada di posisi yang sangat rentan dan harus menanggung dampak yang besar dari krisis iklim. Ironisnya, posisi perempuan justru seringkali terpinggirkan dari usaha-usaha untuk mengatasi krisis iklim. Peran perempuan yang kerap dibatasi dalam urusan domestik, menghalangi mereka untuk bersuara di ruang publik dan berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan. Padahal selama ini, mereka justru menjadi garda terdepan dalam usaha-usaha melawan kejahatan lingkungan.

Perempuan memiliki peran yang besar dalam menghadapi krisis iklim, baik di level lokal maupun internasional. Di level internasional, aktivis muda seperti Greta Thunberg dan Vanessa Nakate menjadi wajah dari gerakan kampanye melawan krisis iklim. Tak hanya menumbuhkan kesadaran, suara mereka juga menuntut akuntabilitas dari para pembuat kebijakan yang selama ini mengabaikan permasalahan lingkungan. Indonesia juga memiliki sosok perempuan muda yang menyuarakan krisis iklim, seperti Salsabila Khairunnisa yang menjadi penggerak aksi "Mogok Sekolah Untuk Hutan".

.Ilustrasi climate change/ Foto: Markus Spiske/Pexels

Tak hanya di perkotaan, perempuan Indonesia di wilayah pedesaan juga menjadi aktor penting dalam aksi-aksi melawan perubahan iklim. Peran mereka salah satunya bisa kita lihat melalui film dokumenter berjudul Tanah Ibu Kami yang diproduksi oleh The Gecko Project. Film ini mengangkat kiprah perempuan dalam berbagai wilayah di Indonesia yang mencoba merebut kembali ruang hidup dan sumber daya alam mereka dari tangan korporasi. Salah satunya, yaitu kisah Yu Sukinah yang berjuang melindungi Pegunungan Kendeng di Jawa Tengah dari keberadaan pabrik semen yang merusak ekosistem Kendeng. Selain itu, ada juga Mama Lodia Oematan, salah satu perempuan yang berjuang melawan tambang dengan menenun di atas Pegunungan Mollo, Nusa Tenggara Timur.

Perempuan, yang menjadi kelompok paling terdampak oleh krisis iklim, juga seringkali menjadi kelompok yang paling lantang dalam menyuarakan krisis iklim. Sudah sepatutnya mereka didengarkan dan dilibatkan dalam upaya-upaya strategis untuk mengatasi masalah ini.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS