Inspire | Human Stories

Women Support Women: Aksi Nyata atau Jargon Semata?

Senin, 07 Mar 2022 10:00 WIB
Women Support Women: Aksi Nyata atau Jargon Semata?
Women Support Women Foto: Ehimetalor/Unsplash
Jakarta -

Dalam dunia yang didominasi laki-laki, perempuan kerap mengalami diskriminasi bahkan kekerasan. Ketika perempuan mengalami penindasan, maka dengan bersolidaritas kita tak hanya memberi dukungan bagi sesama perempuan tapi juga meyakinkan dirinya kalau ia tidak sendirian. Solidaritas pun menjadi bentuk perlawanan. Dalam membangun solidaritas, muncul jargon #womensupportwomen yang berarti perempuan mendukung sesama perempuan. Misalnya, mendukung perempuan untuk meninggalkan pasangannya yang abusive, atau mendukung perempuan yang merintis usahanya sendiri. Termasuk juga, menunjukkan dukungan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Namun, tak jarang kita menemukan perempuan yang justru saling menjatuhkan atau bahkan bersikap seksis terhadap sesama perempuan. Misalnya, ketika korban kekerasan seksual menyuarakan pengalamannya di media sosial, ada juga beberapa perempuan yang memberi komentar seperti "Makanya sebagai perempuan jaga diri", "Kalau gitu kenapa dari awal mau diajak ke kost?", atau "Mba-nya terlalu gampang percaya sih", dan komentar-komentar lainnya yang justru menyalahkan korban.

.Ilustrasi perempuan saling menjatuhkan/ Foto: Ron Lach/Pexels

Tak hanya dalam kekerasan seksual, dalam sehari-hari kita banyak menemukan ucapan-ucapan yang bernada seksis dari sesama perempuan. Misalnya, dari ibu yang mengatakan "anak perempuan gak boleh pulang malam-malam" atau dari ibu mertua yang mengatakan "istri yang baik itu harus bisa masak". Di media sosial, kita marak menyaksikan perisakan terhadap sesama perempuan dalam kasus perselingkuhan.

Hal ini tidak hanya terjadi antara perempuan yang saling mengenal satu sama lain, tapi juga perempuan yang tidak mengenal satu sama lain. Ketika ada seseorang yang menyebarkan identitas perempuan selingkuhan pasangannya, netizen otomatis menyerangnya dengan kata "pelakor", dan seringkali serangan itu paling banyak dari netizen perempuan.

Meski perselingkuhan tak dapat dibenarkan, tetapi perempuan yang identitasnya disebar sebagai "pelakor" tersebut kerap menjadi target utama, terhadap lebih dari pihak laki-lakinya. Mengapa hanya perempuan yang mendapat julukan khusus semacam "pelakor"? Mengapa dalam setiap kasus perselingkuhan, laki-laki yang ikut bersalah selalu hilang dari perbincangan? Mengapa, kita sebagai perempuan, justru seringkali berseberangan dengan satu sama lain?

.Ilustrasi menggosipkan sesama perempuan/ Foto: Cottonbro/Pexels

Perilaku saling menjatuhkan antar sesama perempuan berakar dari seksisme dan misoginis yang bersarang kuat dalam budaya masyarakat kita. Hidup di masyarakat patriarkis membuat perempuan seringkali menjadi target diskriminasi dan kekerasan. Namun, perilaku misoginis dan seksis tak hanya dilakukan oleh laki-laki. Perempuan pun bisa berperilaku seksis dan mengekspresikan kebencian terhadap sesama perempuan. Sehingga alih-alih mendukung satu sama lain, perempuan justru bisa mempermalukan, mengecilkan, hingga menjatuhkan sesama.

Hal ini bisa terjadi lantaran nilai-nilai patriarkis yang cenderung menempatkan perempuan di bawah kuasa laki-laki, telah mengakar dalam dan mempengaruhi banyak budaya masyarakat kita. Misalnya, sejak kecil seorang perempuan diajarkan oleh ibunya bahwa perempuan tidak boleh menggunakan pakaian terbuka, karena nanti akan dicap sebagai perempuan nakal. Kemudian saat ia dewasa, ia mengamini wejangan tersebut dan mempercayai bahwa perempuan yang memakai pakaian terbuka adalah perempuan nakal.

Tak hanya keluarga, lingkungan sekitar dan media juga bisa menjadi medium yang menyebarkan nilai-nilai patriarkis. Dan setelah sekian lama, nilai-nilai tersebut telah meresap ke alam bawah sadar. Kita pun patuh kepadanya dan menganggapnya sebagai kewajaran. Akibatnya, mungkin kita pun tak sadar bahwa perilaku kita sesungguhnya seksis dan misoginis, meskipun kita adalah perempuan.

.Ilustrasi perempuan saling mendukung/ Foto: Mentatdgt/pexels

Lalu, bagaimana seharusnya membangun solidaritas antar perempuan? Sebelum membangun sebuah gerakan, penting untuk terlebih dahulu mendefinisikan makna sebenarnya dari solidaritas antar perempuan. Untuk itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran bersama, mengapa perempuan harus bersolidaritas, dan bagaimana kita harus bersolidaritas.

Untuk bisa keluar dari budaya patriarkis yang mengakar pada diri kita sendiri, dibutuhkan proses yang tidak cepat dan mudah. Maka dari itu agar solidaritas bisa tercapai, solusinya adalah bukan dengan menghukum perempuan yang tidak menunjukkan solidaritas. Tetapi, dengan merangkul dan mengikutsertakan mereka dalam percakapan yang bisa membangun kesadaran.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/MEL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS