Inspire | Human Stories

Busting Myths: Ibu Tiri

Kamis, 10 Feb 2022 17:59 WIB
Busting Myths: Ibu Tiri
Ilustrasi ibu tiri dan anaknya Foto: Ketut Subiyanto/Pexels
Jakarta -

Mitos tentang ibu tiri atau ibu sambung mungkin sudah kita dengar sejak kecil. Kita mungkin sering disuguhi oleh kisah-kisah atau film yang bercerita tentang gambaran keluarga sambung yang jahat, dan yang menjadi sorotan adalah ibu tiri.

Dalam sebuah dongeng yang kerap kita dengar, ibu tiri digambarkan mewakili kejahatan, kemarahan, iri hati, kebencian, keserakahan, egoisme, dan kekuatan yang gaib. Sebut saja kisah Cinderella yang berseteru dengan ibu tirinya, Snow White yang ingin dibunuh ibu tiri, dan dongeng dalam negeri seperti Bawang Merah & Bawang Putih. Sebab kisah-kisah yang dilantunkan terus-menerus dari abad ke abad inilah, masyarakat pun akhirnya menerima ibu tiri sebagai pribadi yang sedemikian rupa.

Lantas, mengapa citra itu terus berkembang? Mitos tentang ibu tiri yang jahat dimulai sejak abad ke-18 di Eropa. Pada saat itu, konsep menikah karena cinta pada dasarnya asing sampai abad ke-20. Sebab perempuan--pada saat itu--tidak memiliki hak untuk memiliki properti atau berbuat banyak tanpa bantuan pria. Mereka membutuhkan pria untuk bertahan hidup.

Jadi, jika seorang perempuan menikah dengan seorang pria, itu pasti karena uang atau status daripada karena cinta. Pernikahan adalah satu-satunya perebutan kekuasan yang benar-benar dimiliki perempuan pada saat itu. Apalagi warisan adalah masalah besar. Bila suami meninggal, setiap anak yang ia miliki dari pernikahan sebelumnya mungkin akan mewarisi lebih banyak uang daripada istrinya sekarang. Akibatnya, banyak ibu tiri akan melakukan segala cara untuk menyingkirkan anak dari suaminya tersebut.

Namun agaknya, semua itu seperti tak lagi berlaku di masa sekarang ini. Sayangnya, mitos ibu tiri yang jahat masih sulit hilang di dalam masyarakat dunia. "Gagasan tentang ibu tiri yang jahat masih sangat mempengaruhi persepsi orang. Banyak perempuan yang merasa mereka berjuang melawan citra itu," kata Dr. Lisa Doodson, dosen psikologi di Thames Valley University, dikutip The Guardian.

.Ilustrasi akrab dengan ibu tiri/Foto: Andrea Piaquadio/Pexels

Tak semua ibu tiri jahat

Melihat fenomena ini, saya tertarik untuk berbicara dengan seorang teman bernama Devi (bukan nama sebenarnya) yang memiliki ibu tiri dan bagaimana pendapatnya tentang mitos tersebut. Devi menceritakan seperti apa kisahnya dulu mengetahui bahwa ia memiliki ibu sambung saat masih kecil.

"Sebenarnya awalnya gue belum pernah merasakan ibu sambung, soalnya gue dari umur 4 tahun sudah ditinggal ibu kandung. Cuma memang, karena stereotip di hampir semua media informasi soal ibu tiri itu galak, cuma sayang sama ayah lo, cuma sayang sama adik lo, dan lain sebagainya, gue sempet terdoktrin seperti itu juga sih," kata Devi lewat perbincangan singkat via WhatsApp beberapa waktu lalu.

Ia mengaku saat itu, ia belum cukup dewasa menanggapi tentang stigma ibu tiri dengan sudut pandang yang benar. Devi berpikir, bila ibu sambungnya marah, itu disebabkan karena statusnya sebagai 'anak tiri'. Padahal sebenarnya, menurut Devi, ibunya marah karena kesalahan yang diperbuatnya bukan karena status.

"Jadi ada fasenya, setelah gue tahu punya ibu sambung tuh, waktu kecil, gue menerima mentah-mentah tentang jahatnya ibu tiri. Tapi setelah dewasa, gue enggak ngeliat itu. Tapi lebih merasa sikapnya pada gue adalah sikap seorang ibu," kisah Devi.

Ketika ditanya tentang sifat ibu sambungnya, Devi mengatakan bahwa ibunya memang tidak seperti dirinya yang cenderung suka memeriahkan suasana. Ibu Devi memiliki sifat introvert, tak suka terlalu banyak bicara, tapi tetap suka menanggapi canda saat bersama-sama keluarga. Ia mengakui, sebenarnya hampir bertahun-tahun tinggal bersama, Devi tidak terlalu dekat dengan ibu sambungnya. Barulah setelah menikah, ia merasa cukup dekat.

"Gue baru dekatnya ke beliau itu after married atau beberapa waktu sebelum nikah. Gue merasa, setelah gue menikah, bokap gue sudah melepas tugasnya dan memindahkan bakti ke suami gue, justru gue lebih deket sama orang tua. Mungkin karena gue lebih dewasa kali ya," ungkap perempuan berumur 28 tahun tersebut.

Meski tak lahir dari rahim ibunya saat ini, Devi mengatakan bahwa ia sangat sayang dengan sang ibu. Apalagi melihat keseharian beliau yang merawat ayahnya yang kini sedang tidak sehat, penuh kasih sayang, keikhlasan, dan penuh kesabaran. Ia mengaku sangat kagum dengan ibu sambungnya tersebut dengan komitmennya mencintai keluarga.

"Yang bikin gue sayang banget itu sejak bokap gue sakit di akhir 2020. Kalau melihat sifat bokap gue yang keras banget, kalau mau apa itu harus diturutin dan dengan posisi beliau sedang sakit sekarang, sifatnya mungkin sulit untuk dihadapi. Menurut gue, di posisi bokap gue sehat aja sudah dihadapi, apalagi saat sakit ini."

"Dalam keadaan seperti ini, nyokap gue tuh harus berkorban banyak banget. Dia tidak punya kehidupan lain selain ngurusin bokap gue. Satu-satunya hiburan beliau hanyalah senam aerobik. Sebab, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Itu pun kadang malam, bokap yang masih sulit gerak, minta badannya dibolak-balik beberapa kali," paparnya.

Melihat pengorbanan ibu tirinya, Devi merasa inilah yang dinamakan cinta dan ibunya benar-benar memegang teguh janji pernikahan untuk berada di sisi suaminya di situasi tersulit, dalam suka maupun duka. Jadi dengan ibunya masih setia bersama ayahnya, merawat keluarganya penuh kesabaran dan keikhlasan, membuat Devi makin sayang dengan beliau.

.Ilustrasi ibu tiri yang baik/Foto: PNW Production/Pexels

Baik dan buruk sifat ibu tiri, kembali pada pribadinya

Ibu tiri Devi mungkin hanyalah satu dari sekian banyak ibu tiri baik hati di luar sana. Namun stigma yang terlanjur melekat pada ibu sambung, membuat image mereka yang buruk sulit dihapus. Menurut Devi, masih banyaknya stigma mungkin karena masih banyak juga ibu yang punya sifat seperti demikian.

"Sebab, sebaik-baiknya ibu sambung, pasti ada masa-masanya kita merasa dibedakan antara anak tirinya dengan anak kandungnya. Tapi mungkin karena gue udah dewasa, jadi gue lebih ikhlas. Banyaknya media yang membentuk stereotip itu membuat image sulit hilang. Padahal kejahatan bukan hanya dilakukan seorang ibu, tapi bisa juga ayahnya, atau siapapun. Jadi menurut gue, enggak ada yang salah dan benar. Balik lagi pribadi masing-masing," kata Devi.

Menghilangkan stigma yang sudah mengakar berabad-abad bukanlah sesuatu yang mudah. Namun menurut Devi, kita seharusnya merenungi lagi, apakah ibu tiri yang jahat benar-benar sifatnya atau karena kelakuan kita yang membuat ibu menjadi marah akibat cemas terhadap kita.

"Lo harus mencoba ada di posisi orang yang image-nya seperti itu. Lalu kenapa ibu tiri lo jahat, misalnya, renungin lagi kenapa dia bisa begitu ke lo sebagai anak tirinya. Kira-kira apa yang bisa lo lakukan biar dia bisa lebih baik sama lo. Intinya mengubah secara general agak susah ya, tapi kalau untuk personal mengubah stereotip itu adalah balik lagi ke diri sendiri," tutup Devi.

[Gambas:Audio CXO]

(DIR/MEL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS