Insight | General Knowledge

'Jebakan' Tersembunyi Ketika Indonesia Meredominasi Rupiah

Selasa, 09 Dec 2025 16:42 WIB
'Jebakan' Tersembunyi Ketika Indonesia Meredominasi Rupiah
Ilustrasi rupiah yang akan diredominasi. Foto: Freepik
Jakarta -

Wacana redenominasi Rupiah, penyederhanaan nilai mata uang dengan memangkas tiga angka nol (misalnya Rp1.000 menjadi Rp1), telah lama menjadi "bola liar" dalam diskursus kebijakan publik di Indonesia. Selama lebih dari satu dekade, narasi yang mendominasi ruang publik dan media massa berkutat pada efisiensi ekonomi makro: penyederhanaan pencatatan akuntansi, peningkatan nilai mata uang di mata global, serta efisiensi teknis dalam sistem pembayaran digital maupun tunai.

Namun, memandang redenominasi hanya sebagai kebijakan administratif atau "kosmetik moneter" adalah sebuah cara pandang yang terlalu polos. Di balik wajah teknis "penghilangan nol", tersimpan potensi instrumen penegakan hukum yang sangat mematikan namun jarang dibahas secara terbuka.

Bagi ekosistem ekonomi gelap (shadow economy), khususnya bagi para koruptor, mafia anggaran, dan pelaku pencucian uang yang gemar menimbun uang tunai (cash hoarding), redenominasi bukanlah sekadar perubahan estetika pada uang kertas. Ini adalah sebuah ultimatum, yaitu sebuah "jebakan" yang memaksa harta haram keluar dari persembunyiannya.

.Ilustrasi uang rupiah/ Foto: Veectenzy

Mimpi Buruk Para Penimbun Uang Tunai

Korupsi di Indonesia   meskipun mulai merambah ke instrumen modern seperti aset digital   pada dasarnya masih sangat bergantung pada uang tunai (cash). Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK selama ini menjadi bukti tak terbantahkan: suap, gratifikasi, dan dana taktis politik seringkali diselesaikan dengan kardus-kardus, koper, atau tas olahraga berisi pecahan Rp100.000 dan Rp50.000.

Mengapa uang tunai tetap menjadi raja dalam dunia kejahatan "kerah putih"? Jawabannya sederhana, yaitu anonymity. Uang tunai tidak meninggalkan jejak digital (audit trail). Ia tidak memiliki nama pemilik, tidak terdaftar dalam mutasi rekening koran, dan bisa berpindah tangan tanpa notifikasi ke server otoritas keuangan.

Namun, kebijakan redenominasi mengubah aturan main tersebut secara drastis dengan memperkenalkan satu variabel yang paling ditakuti oleh penjahat keuangan yaitu batas waktu (expiry date).

Dalam skenario normal, uang tunai hasil korupsi bisa disimpan selamanya di dalam brankas rahasia, di balik tembok, di bawah kasur atau ditimbun di gudang properti tanpa takut nilainya hilang secara nominal-kecuali tergerus inflasi. Koruptor bisa menunggu bertahun-tahun hingga situasi "aman" untuk membelanjakannya sedikit demi sedikit.

Namun, saat redenominasi diberlakukan, pemerintah akan menetapkan masa transisi dual currency (biasanya 3 hingga 5 tahun). Setelah masa itu lewat, uang emisi lama dinyatakan tidak berlaku sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender). Kondisi ini menciptakan dilema "maju kena, mundur kena" bagi para koruptor:

  • Opsi Diam (Pasif), jika mereka tetap menyembunyikan uang tersebut karena takut ketahuan, maka saat batas waktu transisi habis, tumpukan uang miliaran bahkan triliunan rupiah itu akan berubah menjadi sekadar sampah kertas tanpa nilai tukar. Kekayaan musnah seketika.

  • Opsi Bergerak (Aktif), jika mereka ingin menyelamatkan nilai kekayaannya, mereka wajib keluar dari sarangnya. Mereka harus menukarkan uang tersebut ke bank atau membelanjakannya menjadi aset fisik.

Di sinilah letak jebakannya, yaitu di saat uang itu bergerak, ia menjadi terlihat. Saat ia masuk ke sistem perbankan untuk ditukar, radar pengawasan menyala.

.Ilustrasi redominasi rupiah/ Foto: Freepik

Transformasi dari Reaktif Menjadi Proaktif

Jika Undang-Undang Redenominasi disahkan, KPK tidak bisa lagi bekerja dengan pola konvensional yang reaktif yaitu menunggu laporan masyarakat atau mengandalkan hasil penyadapan semata.

KPK harus mengadopsi pendekatan Continuous Monitoring layaknya sebuah fungsi Audit Internal modern di perusahaan multinasional. Setidaknya ada 4 (empat) cetak biru strategi (strategic roadmap) yang dapat dieksekusi oleh KPK dan aliansi penegak hukum selama masa transisi mata uang, yaitu:

Pertama, melakukan integrasi intelijen keuangan secara real-time. Saat ini, pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) dari perbankan ke PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) seringkali memiliki jeda waktu (lag time). Bank melapor, PPATK menganalisis, baru kemudian diserahkan ke penyidik. Dalam masa transisi redenominasi yang bergerak cepat, birokrasi ini adalah kelemahan.

Sistem harus diubah menjadi real-time trigger. KPK dan PPATK perlu membangun protokol pertukaran data otomatis. Jika seorang Penyelenggara Negara (PN) atau pihak yang memiliki hubungan politik (Politically Exposed Persons/PEPs), termasuk keluarga intinya melakukan penukaran uang tunai fisik di atas ambang batas kewajaran.

Kedua, melakukan audit silang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) untuk membuat jebakan illicit enrichment (kekayaan yang tidak wajar). Meskipun saat ini LHKPN seringkali dianggap sebagai pisau tumpul karena sanksinya yang administratif, namun redenominasi adalah momen emas untuk mengubah LHKPN menjadi senjata mematikan melalui teknik rekonsiliasi kekayaan melalui Wealth Gap Analysis. Mekanismenya sederhana secara teori namun signifikan dalam praktik audit:

  • Langkah 1: Auditor KPK menarik data pos "Kas dan Setara Kas" dari LHKPN terakhir seorang pejabat. Misalkan, pejabat X melaporkan memiliki uang tunai Rp1 Miliar.
  • Langkah 2: KPK memantau jumlah fisik uang tunai yang ditukarkan oleh pejabat X (dan jaringan keluarga intinya) ke bank selama masa transisi redenominasi.
  • Langkah 3: Jika sistem mendeteksi bahwa pejabat X menukarkan total uang tunai sebesar Rp15 Miliar, maka ditemukan selisih (gap) sebesar Rp14 Miliar yang tidak terjelaskan dalam laporan resmi.

Temuan ini adalah bukti materiil yang kuat. KPK dapat menggunakan data ini untuk menerapkan konsep pembuktian terbalik terkait illicit enrichment. Para pejabatlah yang harus membuktikan di pengadilan bahwa Rp14 Miliar tersebut berasal dari sumber sah (warisan, bisnis legal, dll). Jika gagal membuktikan, aset tersebut harus disita untuk negara dan pidana korupsi menanti.

Ketiga, menutup celah "smurfing" dengan kecerdasan buatan (AI). Para pencuci uang profesional tentu tidak bodoh. Mereka tidak akan datang sendiri ke bank membawa satu truk uang. Taktik klasik yang akan mereka gunakan adalah structuring atau smurfing yaitu memecah transaksi besar menjadi ribuan transaksi kecil di bawah ambang batas pelaporan.

Di sinilah teknologi Big Data Analytics dan Artificial Intelligence (AI) berperan vital. Tenaga manusia tidak mungkin memantau jutaan transaksi penukaran uang secara manual. KPK perlu menggunakan AI untuk memetakan pola jaringan (Social Network Analysis).

Mesin AI dapat mendeteksi anomali yang tidak terlihat mata telanjang. Sistem akan mengenali ini sebagai pola pencucian uang terorganisir, dan KPK dapat langsung menargetkan Beneficial Owner tersebut.

Keempat, pengawasan agresif pada "gatekeeper" sektor riil. Mengetahui sektor perbankan dijaga ketat, para pemilik dana ilegal akan berusaha lari ke sektor riil (Non-Financial Sector). Mereka akan mencoba mengubah uang tunai lama menjadi aset fisik bernilai tinggi sebelum uang tersebut kadaluarsa.

Dealer mobil mewah, pengembang properti elit, pedagang permata/logam mulia, dan rumah lelang seni akan menjadi target utama pelarian modal. Strategi KPK harus mencakup perluasan definisi "Pihak Pelapor" secara agresif. Selama masa transisi redenominasi, dealer mobil mewah dan pengembang properti harus dikenakan kewajiban pelaporan yang sama ketatnya dengan bank (Zero Tolerance Policy).

Pemerintah harus menerbitkan aturan darurat: Jika dealer mobil atau notaris menerima pembayaran tunai (atau transfer mencurigakan) menggunakan "uang lama" dalam jumlah besar tanpa melaporkannya ke PPATK, mereka harus dijerat dengan pasal TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) sebagai pelaku pasif.

.Ilustrasi koruptor sedang gratifikasi/ Foto: iStock

Tantangan Baru, Koruptor Modern dan Aset Kripto

Penting untuk bersikap realistis bahwa redenominasi bukanlah "Peluru Perak" (Silver Bullet) yang bisa membasmi seluruh korupsi di Indonesia. Strategi ini memiliki keterbatasan, terutama dalam menghadapi tipologi koruptor modern.

Koruptor "Kelas Kakap" yang canggih dan terhubung dengan jaringan internasional mungkin sudah tidak lagi menyimpan Rupiah dalam bentuk fisik. Portofolio korupsi mereka telah didiversifikasi (di-hedging) ke dalam Valuta Asing (Dollar Singapura/Amerika), Properti di luar negeri, atau instrumen Aset Kripto (Cryptocurrency).

Terhadap aset-aset non-Rupiah ini, kebijakan redenominasi tidak memiliki dampak langsung. Oleh karena itu, strategi redenominasi harus dibarengi dengan pengawasan ketat di gerbang penukaran uang (Money Changer).

Penukaran Rupiah lama ke Valas dalam jumlah besar harus dilarang atau dibatasi dengan ketat selama masa transisi, kecuali didasari oleh transaksi underlying yang jelas (misalnya dokumen impor barang legal). Tanpa dokumen pendukung, permintaan konversi ke Dollar harus ditolak. Hal ini untuk mencegah koruptor "melarikan" Rupiah lama mereka ke mata uang asing.

Redenominasi Rupiah sejatinya adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan efisiensi ekonomi, kemudahan transaksi, dan kebanggaan nasional. Di sisi lain, ia menawarkan kesempatan langka, mungkin hanya sekali dalam satu generasi, bagi negara untuk melakukan "Sensus Kekayaan Ilegal".

Namun, keberhasilan skenario "jebakan" ini tidak bergantung pada kesiapan teknologi perbankan atau kecanggihan AI semata. Faktor penentu utamanya adalah satu hal yang fundamental, yaitu political will.

Bagi para auditor, praktisi GRC, pegiat anti-korupsi, dan masyarakat luas, masa transisi ini (jika kelak benar-benar terjadi) harus dikawal dengan mata elang. Sebab di sanalah, dalam pergerakan uang-uang lama yang panik mencari "tuan baru", kebenaran tentang siapa yang benar-benar bersih dan siapa yang hanya berpura-pura, akan terungkap dengan telanjang.

Redenominasi bukan sekadar membuang nol. Ini adalah tentang membuang ruang gerak bagi mereka yang mencuri dari negara.

Penulis: Andy Wijaya
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS