Insight | General Knowledge

Nada dari Tanah yang Luka: Musik Timur di Tengah Perampasan Ibu Bumi

Kamis, 04 Dec 2025 18:00 WIB
Nada dari Tanah yang Luka: Musik Timur di Tengah Perampasan Ibu Bumi
Ilustrasi tanah Papua. Foto: iStock
Jakarta -

Musik selalu melahirkan ketenangan, kebahagiaan hingga kesedihan atau bisa dikatakan salah satu ruang emosional kita. Tak jarang juga ia dapat membentuk suatu persepsi, lalu membawa kita kepada visualisasi yang tak biasa. Musik timur salah satunya.

Lewat alunan musik yang ceria menjadi simbol kuat: kebahagiaan dan kebersamaan bisa menyatu pada sebuah lagu. Selain membawa narasi kelokalannya, lagu timur identik dengan nuansa seperti itu    ceria dan energik.

Saat ini lagu-lagu timur sedang merasuk ruang hati masyarakat urban, tak dimungkiri ketenarannya berkat aplikasi TikTok yang menyeret ke pendengar musik kini. Misalnya, Lagu "Tabola Bale" dan "Ngapain Repot" yang begitu sering seliweran di telinga saya.

Lebih lagi, ragamnya musik yang lahir di tanah ini: Hip Hop, Reggae, bahkan Jazz. Pasalnya, pada Synchronize Festival "Saling Silang" hal itu terejawantah dengan adanya 'Ambon Jazz Rock' di panggung Forest, silam. Namun satu sisi musik timur begitu nyaring di telinga kita, sementara masalah kemanusiaan atau hak ruang hidup masyarakat timur begitu sunyi di indera pendengaran kita.

Fenomena ini sebuah ironi kita. Di tengah tingginya antusiasme pendengar musik timur namun ada hal lain, informasi tentang rakyat timur   memperjuangkan hak hidup di tanahnya sendiri hingga kini   jarang sekali menjadi sorotan kita termasuk media arus utama. Masalah mereka adalah masalah kita, andil menyuarakan adalah bentuk solidaritas sesama rakyat.

Bagi saya, musik harus menjadi jembatan pada masalah di tanah timur agar nyaring di telinga masyarakat. Keduanya harus terjamah dan beriringan terutama tentang isu mereka (masyarakat timur) yang kerap dimatikan harus berubah menjadi api menyala di panggung besar: publik.

Hingga kini perebutan hak hidup masih terjadi di tanah timur dan terus dilanggengkan. Pengabaian dan perampasan hak hidup harus menjadi suara yang terdengar bising bak lagu-lagu popnya. Sebab tanah yang terus dikeruk atau dieksploitasi   dalam bumi hingga permukaan bumi   tak memberi efek baik yang dirasakan mereka, yakni kesejahteraan atau merdeka di alamnya.

.Tabola Bale/ Foto: Detikcom

Ketika Suara Menggema, Tanah Menghilang

Pamor musik timur kini sedang meningkat di masyarakat urban. Lagu "Tabola Bale" salah satunya yang hilir mudik di telinga saya. Lagu tersebut tak lepas dari peran TikTok yang mengubah pendengar musik kini dari algoritma (FYP). Lainnya, lagu pop timur berjudul "Ngapain Repot" menjadi pembuka perhelatan 'Bahkan Voli 3', Vindes Sport yang penonton turut terhipnotis seraya berdansa - seakan luput dari beban-beban perkotaan.

Lagu timur memang ramah di telinga kita, kerap membawa kesan keceriaan. Ini yang membuat lagu timur digandrungi bahkan dielu-elukan. Namun sementara di balik itu, ada juga suara hati rakyat timur yang ingin didengar oleh kita selain musik-musik keceriaannya   perihal ruang hidup mereka yang kini semakin terhimpit.

Spesifiknya, ruang hidup rakyat Papua atau hutan adat mereka semakin tergerus oleh para oligarki hingga pemerintah melalui proyek strategis nasional. Penanaman sawit oleh perusahaan Indo Asiana Lestari seluas 36.094 hektar di wilayah Kabupaten Boven Digoel, misalnya, yang menghancurkan kehidupan alami suku Awyu dan Moi, masyarakat adat Papua.

Hutan adat sudah menjadi ruang hidup masyarakat adat, di sana sandang, pangan, papan, bisa mereka wujudkan tanpa lagi harus menunggu bantuan sosial dari pemerintah   yang mungkin tak ada. Tak tanggung-tanggung, pemerintah turut andil dalam memperparah deforestasi di tanah timur.

Proyek Strategis Nasional yakni penanaman komoditas tebu di Merauke, Papua Selatan sekitar luasnya 350 hektar membuat kehidupan rakyat Papua khususnya Distrik Tanah Miring, Merauke semakin terancam   alih-alih untuk kemandirian pangan nasional. Sekiranya dua masalah mencuat: lingkungan dan ruang hidup.

Melansir Mongabay, proyek tersebut meningkatkan krisis ekologi: emisi gas rumah kaca yang berdampak pada pemanasan global. Dampaknya pola cuaca akan semakin tak jelas    banjir dan kekeringan akan menjadi makanan keseharian. Hal tersebut mengganggu aktivitas masyarakat setempat.

Selain itu, ruang hidup terancam terbesar: keanekaragaman hayati sampai air bersih akan semakin menyusut seiring proyek titipan para oligarki terus digawangi oleh pemerintah di wilayah kehidupan manusia. Hutan dan masyarakat adat adalah murni jalinan sosial yang tak bisa diceraikan, keduanya sudah saling melebur, ketergantungan untuk saling menghidupi.

.Raja Ampat, Papua./ Foto: iStock

Rasanya berita buruk tak berhenti, masalah berpindah ke Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat. PT. GAG Nikel kembali beroperasi setelah sempat diberhentikan awal Juni silam. Perihal tersebut menandakan kabut gelap tak jadi surut bagi lingkungan kita saat ini.

Potensi hilangnya 'Surga Terakhir' di wilayah Raja Ampat sangatlah terlihat dari terancamnya ekosistem terumbu karang yang akan rusak secara masif oleh penambangan nikel. Terumbu karang kita ketahui dapat menjadi sumber pangan dan tempat kehidupan makhluk lainnya. Padahal penambangan di pulau kecil pun jelas dilarang oleh regulasi.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 23 ayat 2 jelas menyebutkan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, penelitian, budidaya laut, pariwisata, perikanan, pertanian organik dan pertahanan negara. Kata pertambangan rasanya tak muncul sepatah katapun dalam pedomantersebut.

Lalu pertanyaannya, aturan mana yang kini diterapkan?

Konflik agraria hingga menyangkut ruang hidup masyarakat timur tak begitu terdengar atau terpatri di telinga kita. Paradoks itu muncul kala lagu-lagu hitsnya kini banyak digandrungi masyarakat urban. Dan mestinya keduanya harus beriringan terdengar oleh kita, musik ceria dan suara teriak hati masyarakat timur, untuk menjaga rumah kita sesungguhnya: alam raya.

.Stecu, salah satu lagu pop timur yang naik daun tahun lalu. / Foto: iStock

Musik Menjadi Rumah Terakhir

Dalam buku Musik Protes, Soni Triantoro mengemukakan bahwa musik memiliki kekukuhan untuk melawan ketidakadilan, menggugat ketidaksetaraan, menundukkan ketakutan dan kebencian, dan sikap-sikap yang tak demokratik lainnya yang menafikan kemanusiaan.

Rasanya itu tersaji pada musik-musik timur. Misalnya, band reggae Marapu asal Nusa Tenggara Timur yang membawa narasi perlawanan atas konflik-konflik agraria di tanah kelahiran mereka. Kini, masyarakat NTT khususnya Pulau Flores sedang memperjuangkan hak hidupnya dari proyek geothermal yang merampas ruang gerak mereka   ancaman kerusakan ekosistem sekitar hingga konflik horizontal.

Musik Marapu lahir dari keresahan seperti ini, lagunya yang berjudul "Tanah" mengangkat kisah konflik agraria buah dari kebijakan nasional yang justru menggusur rumah asli mereka, yakni masyarakat adat yang sudah puluhan atau mungkin ratusan tahun hidup dan bercengkrama di alam ini.

Seni, dalam konteks ini musik, akan menjadi rumah terakhir sebagai medium perlawanan atas konflik agraria. Pada panggung Hip Hop Reggae di Cibis Park (8/11), saya menangkap momen visual panggung pada penampilan DJ Alien Punk yang menambah kesadaran sosial kita, 'Papua Bukan Tanah Kosong'.

Menandakan musik bersama ornamen-ornamen lainnya, yakni visual panggung, akan selalu menyuarakan ketimpangan   saat ini masalah yang terus menerus terjadi di wilayah timur. Meski lagu timur mempunyai warna yang beragam-dari kegembiraan hingga ketidakadilan.

.Tambang Freeport/ Foto: iStock

Rasanya mendengarkan musik timur harus dibarengi dengan makna atau isu yang kini terjadi di wilayah timur. Agar paradoks itu tak terjadi: lagu pop begitu nyaring di telinga sementara suara ketidakadilan masyarakat adat timur tak lewat sedikit pun di pendengaran kita. Sebab bagi saya, musik sudah menjadi rumah kita: di ruang ini kita diajarkan untuk berbicara lalu mendengarkan, hingga membentuk kesadaran sosial dalam diri kita.

Perihal ini, konflik agraria di tanah timur adalah penderitaan kita bersama, mereka harus mendapatkan hak yang sama di mata hukum atau negara. Seperti yang termaktub dalam Pasal 28I ayat 1 UUD 45,

"Setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun,".

Perpanjangan tangan agar hak itu didengar, bagi saya, dapat melalui musik sebagai mediumnya.

Penulis: Iqra Ramadhan Karim
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS