Setiap peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November, negara selalu mengadakan pengangkatan tokoh-tokoh masyarakat yang telah wafat untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. Tahun ini ada sepuluh tokoh yang mendapatkan gelar kepahlawanan dan ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Mereka adalah Mantan Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid; Mantan Menteri Hukum era Orde Baru, Mochtar Kusumaatmadja; Pendiri Pesantren Kademangan dan Guru Besar, Sayyiduna Kholil Bangkalan; Sultan ke-16 Dompu, Sultan Muhammad Salahuddin; Sultan Tidore ke-37, Zainal Abidin Syah; Penguasa ke-14 Partuanan Raya, Tuan Rondahaim Saragih Garingging; Pendiri Diniyah Putri, Rahmah El Yunusiyyah; Pemimpin Militer, Sarwo Edhie Wibowo; Presiden ke-2, Jenderal H.M. Soeharto; dan Aktivis Serikat Buruh, Marsinah.
Masyarakat yang kontra merasa ada catatan hitam Soeharto yang belum tuntas./ Foto: Amnesty International |
Pro-Kontra Penetapan Gelar Pahlawan Soeharto
Dari 10 nama tersebut, terdapat perbedaan pendapat di tengah masyarakat yakni pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Namun yang menjadi ironi, pemberian gelar untuknya bersanding dengan Marsinah, seorang aktivis buruh era orde baru yang menentang kebijakan pada era Soeharto.
Hal ini yang menjadi kecaman beberapa aktivis 1998 bahwa Soeharto tidak layak untuk dijadikan pahlawan. Bagaimana mungkin seorang simbol kekuasaan Orde Baru dan seorang korban penindasan Orde Baru berada dalam satu daftar kepahlawanan?
Meski begitu, tidak bisa dimungkiri juga jasa Soeharto membangun negeri ini tak bisa dikatakan sedikit. Soeharto merupakan presiden kedua menggantikan Soekarno. Berangkat dari latar belakang sebagai Tentara Republik Indonesia (TNI) dengan karir yang cemerlang.
Saat menjadi pemimpin tentara, ia berhasil memimpin penumpasan pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dan Operasi Mandala untuk merebut Irian Barat. Peristiwa G30S/PKI membawa keberhasilannya semakin jauh.
Sebagai Panglima Kostrad, Soeharto mengambil alih kendali keamanan melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), yang memberi kewenangan luas untuk memulihkan ketertiban. Dalam situasi politik yang tidak stabil, Soeharto perlahan mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno hingga pada 1967 ditetapkan sebagai Pejabat Presiden, dan 1968 diangkat sebagai Presiden ke-2 RI secara resmi.
Program-program yang diusung Soeharto terbilang berhasil mensejahterakan rakyat. Fokusnya pada pembangunan ekonomi, stabilitas politik, dan hubungan yang kuat dengan Barat. Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi signifikan, swasembada pangan, dan pembangunan infrastruktur besar-besaran.
Namun, Soeharto juga memiliki catatan gelap dalam kepemimpinannya. Seperti pembungkaman politik, pelanggaran HAM (termasuk peristiwa 1965, Timor Timur, Petrus, hingga tragedi 1998), dominasi partai Golongan Karya (Golkar) yang didirikan oleh Soeharto sendiri, kontrol ketat terhadap media, serta korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Puncak lengsernya kekuasaan terjadi di tahun 1998. Rupiah anjlok sekitar Rp 16.880 per USD di bulan Juni 1998. Perbandingan jauh di awal krisis, rupiah masih di harga Rp 2.400 per USD. Hal ini awal mula yang terjadinya pendesakkan rakyat yang meminta Soeharto turun.
Demo dari mahasiswa serentak di berbagai daerah yang mengakibatkan beberapa mahasiswa tewas tanpa tahu pembunuhnya, Penjarahan toko-toko hingga penindasan terhadap kaum minoritas dari kalangan etnis Tionghoa. Setelah 32 tahun memimpin, Soeharto akhirnya lengser per 21 Mei 1998. Lalu, Soeharto wafat pada 27 Januari 2008.
Warisan politiknya hingga kini masih menjadi perdebatan: sebagian melihatnya sebagai pemimpin pembangunan, sementara yang lain mengingatnya sebagai simbol otoritarianisme dan pelanggaran HAM.
Penetapan Marsinah menjadi pahlawan nasional./ Foto: Detikcom |
Marsinah yang Masih Butuh Keadilan
Sementara, Marsinah sendiri meninggal akibat dibunuh dan hingga sekarang pelakunya belum diketahui. Kasusnya pun hanya terus diperingati setiap tahun, tanpa kejelasan yang pasti. Sebuah sumber saat itu menyebut Marsinah dibunuh secara terencana oleh oknum petinggi. Apalagi, di era Soeharto banyak yang penghilangan nyawa terjadi akibat menentang pemerintahan.
Di era yang sama, pada tahun 1993 tepatnya di Mei. Marsinah seorang buruh pabrik dari perusahaan arloji PT Catur Putra Surya (CPS) ditemukan tewas di hutan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur setelah tiga hari dinyatakan hilang. Menurut Kompas.com, Marsinah terakhir terlihat mendatangi rekan-rekannya yang ditahan di Komandan Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo pada malam hari.
Setelah dilakukan penyelidikan, ditetapkan tersangkanya adalah pemilik PT CPS, Yudi Susanto, Kepala Personalia, Mutiari serta satpam PT CPS, Suwono. Penyelidikan menyebutkan bahwa Marsinah dijemput oleh salah satu karyawan PT CPS yang bernama Suprapto dengan sepeda motor ke rumah Yudi di Surabaya. Dari situlah, Marsinah disekap selama tiga hari sebelum dibunuh Suwono.
Yudi Susanto menerima hukuman selama 17 tahun penjara, sementara staf lainnya dijatuhi hukuman antara 4 tahun hingga 12 tahun penjara. Namun, Yudi mengakui ia hanyalah dijadikan alat dalam kasus ini. Bahkan ia mendapatkan penyiksaan secara fisik dan psikis terlebih dahulu agar mengakui bahwa ia terlibat dalam pembunuhan Marsinah.
Setelah mengajukan banding, bersama terdakwa lainnya akhirnya ia dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi dari segala tuduhan. Meski para terdakwa sudah dibebaskan dari segala tuduhan, namun pembunuh Marsinah yang sebenarnya masih menjadi misteri. Ada dugaan keterlibatan aparat militer dalam pembunuhannya. Kisahnya menjadi catatan kelam dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sekaligus menjadi reputasi buruk bagi kepemimpinan Soeharto.
Masyarakat masih protes soal penetapan Soeharto menjadi pahlawan nasional. / Foto: Wikimedia |
Pendapat Masyarakat
Dua pahlawan baru ini terlihat sangat kontradiktif. Marsinah pantas dianggap pahlawan karena ia meninggal dalam memperjuangkan hak buruh. Lalu, Soeharto jasa-jasanya memanglah sudah menjadi kewajiban presiden. Beberapa organisasi masyarakat mengungkapkan kontroversial ini.
Menurut Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia sebanyak 1.213 responden yang dimintai keterangan antara 5-7 November 2025 menyebut 15,7% responden menolak Soeharto jadi pahlawan. Alasan terbesar karena Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), pembungkaman kebebasan pers, dan pelanggaran HAM pada masa pemerintahannya.
Kisah Soeharto dan Marsinah menunjukkan betapa kompleksnya wajah kepahlawanan dalam sejarah Indonesia. Di satu sisi, Soeharto diingat sebagai pemimpin yang membawa stabilitas ekonomi pada awal Orde Baru, namun juga meninggalkan rekam jejak pelanggaran HAM, pembatasan kebebasan sipil, dan krisis besar pada akhir kekuasaannya.
Di sisi lain, Marsinah seorang buruh perempuan dengan kehidupan sederhana justru menjadi simbol keberanian dan perlawanan terhadap ketidakadilan struktural yang terjadi pada masa tersebut. Ketika keduanya diangkat sebagai pahlawan pada tahun yang sama, kontradiksi ini mencuat dengan tajam.
Publik menyaksikan dua figur yang berada di dua sisi sejarah: penguasa dengan kekuatan besar dan korban yang memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Kontroversi yang muncul bukan sekadar perdebatan politik, tetapi cermin bahwa masyarakat menuntut konsistensi moral dalam menentukan siapa yang layak disebut pahlawan.
Kasus ini juga membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh tentang kebenaran yang belum terungkap, keadilan yang belum ditegakkan, dan memori kolektif yang terus dipertanyakan. Pada akhirnya, kontroversi Soeharto dan Marsinah mengingatkan kita bahwa kepahlawanan bukan hanya gelar, melainkan cerminan nilai yang ingin dijaga bangsa: keberanian, kemanusiaan, dan keberpihakan pada kebenaran.
Apakah kamu salah satu yang pro atau kontra nih?
Penulis: Monika Wibisono Putri
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Masyarakat yang kontra merasa ada catatan hitam Soeharto yang belum tuntas./ Foto: Amnesty International
Penetapan Marsinah menjadi pahlawan nasional./ Foto: Detikcom
Masyarakat masih protes soal penetapan Soeharto menjadi pahlawan nasional. / Foto: Wikimedia