Insight | General Knowledge

3 Kasus Pidana Kontroversial yang Selesai Karena Gangguan Kejiwaan

Senin, 19 Sep 2022 20:02 WIB
3 Kasus Pidana Kontroversial yang Selesai Karena Gangguan Kejiwaan
Foto: Ilustrasi Kasus Pidana/Freepik
Jakarta -

Nama eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, terus menjadi topik pemberitaan usai terlibat dan dinyatakan sebagai tersangka pada kasus pembunuhan Brigadir J. Pada perkembangannya, kasus yang belum menemui titik terang ini lantas memunculkan dugaan baru, yang menyebut bahwa Ferdy Sambo mengidap gangguan jiwa.

Hal ini lantas menjadi perdebatan di antara masyarakat, karena merujuk pada pasal 44 KUHP, "orang tidak waras/gila/cacat jiwa tidak bisa mempertanggung jawabkan pidana". Oleh sebab itu, dugaan gangguan jiwa Sambo dinilai sebagai akal-akalan belaka, demi menghindari hukuman berat yang menanti Sambo atas extrajudicial killing yang ia lakukan.

Tak hanya di Indonesia, ada banyak kasus-kasus pidana kontroversial yang berakhir dengan alasan pelaku dicap memiliki gangguan kejiwaan. Berikut, CXO Media merangkum 3 kasus yang cukup kontroversial tersebut.

  1. Kasus Billy Milligan. Billy Milligan adalah pemuda berusia 22 tahun asal Ohio Amerika Serikat yang terlibat pada kasus penculikan, perampokan, hingga pemerkosaan tiga orang perempuan di sekitar Ohio State University. Walaupun kejahatan yang dilakukannya termasuk sangat berat, Billy sendiri justru terbebas dari tuduhan karena dinyatakan memiliki 24 kepribadian dalam dirinya. Setelah dikarantina selama beberapa waktu di rumah sakit jiwa setempat, Billy akhirnya dibebaskan karena para ahli beranggapan kalau semua kepribadiannya telah menyatu.
  2. Kasus Juanita Maxwell. Juanita merupakan karyawan hotel di Florida, AS, berusia 23 tahun. Ia dituduh melakukan pembunuhan terhadap Inez Kelley (72), karena ditemukan percikan darah di sepatu dan goresan luka di wajah Juanita. Akan tetapi, Juanita justru divonis bebas karena mengidap gangguan kepribadian. Tak lama setelahnya, Juanita juga kedapatan merampok dua bank sekaligus, namun kembali bebas dari hukuman karena alasan yang sama.
  3. Kasus SM, seorang perempuan yang membawa anjing masuk ke masjid. Perkara ini sempat heboh dibahas di Indonesia pada tahun 2020 lalu. Tersangka utama berinisial SM, dijerat Pasal 156a, tentang penodaan/penistaan agama karena mengenakan alas kaki sambil membawa anjing ke dalam masjid, untuk bertanya, "Mengapa suaminya dinikahkan di masjid?" Setelah ramai diperdebatkan, SM akhirnya dibebaskan, karena RS Polri Kramat Jati memastikan bahwa dirinya mengidap gangguan kejiwaan skizofrenia tipe paranoid dan skizoafektif.

Itulah beberapa kasus yang selesai karena pelakunya mengidap gangguan kejiwaan. Namun berbeda dengan kasus tersebut yang para ahli telah memastikan bahwa mereka memang mengalami gangguan kejiwaan yang perlu perawatan intensif. Sementara dalam kasus Ferdy Sambo, pakar psikologi forensik, Reza Indragiri menilai dugaan gangguan jiwa Sambo justru bisa membuat hukumannya semakin berat. Pasalnya, Ferdy bisa dianggap sebagai pelaku kriminal yang sangat berbahaya.

"Masalah kejiwaan mungkin saja. Tapi bukan masalah kejiwaan yang membuat FS bisa memanfaatkan "layanan" pasal 44 KUHP. Apalagi kalau masalah kejiwaan yang dimaksud adalah psikopati (gangguan kepribadian antisosial) seperti kata Komnas HAM, maka tepatlah FS disebut sebagai kriminal yang sangat berbahaya," kata Reza, dikutip dari Tempo.

Reza juga menerangkan, sebagai psikopat Ferdy Sambo memiliki kepribadian Machiavellianisme yang diistilahkan sebagai Dark Triad, yang berarti manipulatif, pengeksploitasi, dan penuh tipu muslihat. Menurut Reza, dengan adanya dugaan ini, semestinya Sambo dimasukkan dalam penjara dengan keamanan super maksimum.

Dugaan bahwa Ferdy Sambo mengalami gangguan kejiwaan itu dilontarkan oleh Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Dia mengungkapkan bahwa pihaknya menduga bahwa Sambo mempunyai masalah kejiwaan hingga melakukan pembunuhan kepada Nofriyansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Masalah kejiwaan yang dimaksud adalah adanya sifat superpower yang dimiliki Ferdy Sambo karena mempunyai jabatan sebagai Kadiv Propam Polri dan juga Ketua Satgasus Merah Putih.

"Bisa jadi psikopat, tapi ini bisa karena superpower itu. Dia bisa ngeyakinin dirinya, siapa yang bisa bongkar kejahatan saya, saya bisa suruh-suruh ini semua," kata Taufan. Meski begitu, Reza pun menilai Komnas HAM juga perlu berhati-hati pada pernyataannya tersebut. Riset mutakhir menunjukkan bahwa psikopati bukan berakar pada psikologi semata, tapi pada adanya bagian otak yang memang berbeda dari orang-orang non psikopat, sebab bisa menjadi bahan pembelaan diri.

Mengenai gangguan kepribadian antisosial di kalangan personel polisi, Reza menjelaskan ini diketahui terbentuk dari subkultur menyimpang di dalam organisasi kepolisian. Hal itu bisa terjadi juga karena mudahnya personel melakukan penyimpangan (misconduct) tanpa dikenai sanksi.

[Gambas:Audio CXO]



(RIA/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS