Rasanya, saya merasakan hari kian menyesakkan, bukan karena kadar oksigen yang menurun tetapi karena berita buruk yang tak pernah berhenti. Latarnya pun semakin tak terkira dan ironi. Setelah berputar di dunia pendidikan, kini kembali lagi menjalar sampai ke rumah ibadah - tempat seharusnya orang mengerti kekerasan bukan buah dari ajaran agama.
Berita buruk itu begitu vulgar di pelupuk mata saya (layar gawai) hingga menumbuhkan pertanyaan, "Apakah tempat ibadah tak lagi aman dan nyaman untuk kita?" Ini ditunjukkan oleh perilaku sekelompok bandit di Masjid Agung Sibolga beberapa waktu lalu, tega memukuli, menyeret, hingga merampas uang Rp10 ribu milik pemuda bernama Arjuna Tamaraya sampai meregang nyawa.
Polres Sibolga berhasil menangkap tersangka pengeroyokan terhadap Arjuna Tamaraya/ Foto: Detikcom |
Permasalahan bermula bermula dari korban yang ingin beristirahat setelah lelah melakukan perjalanan untuk mencari pekerjaan. Arjuna yang sudah kelelahan itu meminta pengurus mesjid untuk beristirahat sebentar, namun dengan nada tak ramah pengurus masjid beserta sekelompok warga mengusirnya.
Merasa Arjuna mengidahkan peringatan, mereka pun membabi buta memukuli sampai menyeretnya sampai tidak sadarkan diri. Setelah dibawa ke fasilitas kesehatan, Arjuna pun dinyatakan meninggal dunia. Yang ada di benak saya, apa yang membuat Arjuna pantas mendapatkan perlakukan seperti ini?
Penganiayaan mereka salurkan di tempat yang mengajarkan tak hanya tentang habluminallah melainkan juga habluminannas. Apa mungkin selama ini kita luput atau tak paham, bahwa tempat ibadah pun untuk melindungi kaum yang lemah bahkan termarjinalkan, dalam hal ini seorang musafir (sedang dalam perjalanan) yang ingin beristirahat, masjid bisa menjadi ruang alternatif.
Ilustrasi orang salat di masjid/ Foto: iStock |
Rumah Tuhan, Bukan Penjara Suci
Masjid adalah tempat berkumpulnya umat agama Islam untuk melakukan sebuah ritual keagamaan. Memang benar, ia harus disucikan, diagungkan, dan dijaga, sama seperti tempat ibadah agama lain. Namun, tempat ibadah tak melulu membicarakan soal gerakan iman, banyak darinya melahirkan tentang nilai amal: kemanusiaan - ruang sosial untuk kemaslahatan umat.
Ia tak hanya tentang ruang keintiman iman, lebih jauh bangunan yang memiliki pengaruh besar di jantung masyarakat - sebagai lembaga spiritual, pendidikan, sosial, pemerintahan, administrasi hingga preventif. Sebab tidak lain tidak bukan, ruang inklusif ini didesain untuk memberikan ketenangan, kenyamanan, dan keamanan untuk masyarakat sekitar.
Dalam Islam, bukti itu sudah terjadi sejak lama, misalnya, pada zaman Nabi Muhammad dulu masjid menjadi tempat pertemuan masyarakat (ruang dialog) dan sebagai perlindungan umat. Nabi Muhammad dan para sahabat tak memilah untuk memberikan perlindungan atau jaminan keamanan bagi seorang yang sedang berada di masjid, seperti kepada musafir, yatim, fakir, dan kaum Muhajirin (Orang yang mengikuti Nabi hijrah dari Mekah ke Madinah).
Tempat ibadah agama lain pun sama, memiliki nafas yang serupa - tentang melindungi sesama manusia. Peristiwa Wamena pada 2019 silam misalnya. Gereja Baptis Wesaroma sebagai tempat sementara warga Muslim dan masyarakat luas untuk mengamankan diri bahkan menghentikan dari terjadinya kucuran darah di daratan Wamena. Sekiranya ada 370 keluarga Muslim yang dilindungi oleh tempat ibadah Kristen tersebut.
Sama seperti apa yang terjadi di Masjidil Aqsa - kiblat pertama umat Muslim - menjadi tempat berlindungnya umat Kristiani dan masyarakat Palestina dari serangan brutal zionis israel. Tempat ibadah menjadi ruang hidup bersama tanpa memandang bulu, sementara hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan peristiwa di Sibolga.
Rumah ibadah yang memiliki ruh inklusif: aman dan nyaman, berubah menjadi tempat para bandit beraksi dengan kejam. Ini menjadi kekhawatiran besar saya, akan moral dan makna agama yang melekat di dirinya.
Ilustrasi orang belajar agama di masjid/ Foto: iStock |
Beragama Tanpa Kemanusiaan: Adab yang Kehilangan Ruh Ilmu
Fenomena Sibolga menjadi celah kosong di diri kita sebagai manusia beragama. Kita hanya mewariskan hafalan doa dan gerakan iman, sementara arti kemanusiaan yang diajarkan oleh agama sering disingkirkan. Kejadian ini menjadi tamparan keras kita yang kerap menghakimi tanpa mengetahui lebih dalam ilmunya.
Sementara buah dari dogma agama pun sudah banyak mengkristal di tubuh masyarakat: toleransi, menghormati tetangga, dan berperilaku lemah lembut ke sesama. Sekiranya itu tertulis jelas dalam ayat-ayat suci. Tempat ibadah pun sudah menjadi ruang hidup, bukan ruang ekslusif, tak lagi tentang dialog spiritual ke Sang Esa, bahkan mungkin yang tak kita sangka dalam "beristirahat" pun bisa menjadi bentuk spiritualitas tertinggi, sebab ia jeda dari urusan duniawi.
Lebihnya, banyak tempat peristirahatan terjadi di rumah ibadah, seperti saat perjalanan mudik (safar) atau bahkan kematian itu sendiri. Masjid Jogokariyan di Yogyakarta, misalnya, ia mempunyai fasilitas untuk orang yang bepergian - penginapan- bahkan di tempat ini juga kepedulian sosial sangat terasa, menyalurkan kebutuhan hidup ke khalayak luas.
Terlihat jelas bagaimana penganiayaan hingga meregang nyawa di tempat suci di Sibolga memberikan pesan kuat ke kita, bahwa benar, adanya degradasi moral yang terjadi di masyarakat kita khusus yang keras mengatasnamakan agama. Serupa dalam artikel Religious Cults, Religious Leaders and The Abuse of Power, bahwa agama melahirkan ideologi hasrat: penyangkalan diri hingga penyerahan diri sepenuhnya.
Artinya, dengan mereka yang tidak memaknai sepenuhnya agama akan terjerembab kepada kebencian yang membara atau cinta yang buta. Hal ini yang membuat ia bersembunyi di balik topeng suci, tanpa memikirkan hal manusiawi, seperti penganiayaan terhadap Arjuna Tamarayana, pemuda berusia 21 tahun.
Padahal tujuan akhir agama adalah memperoleh keselamatan atau pencerahan, mengilhami
komitmen yang penuh semangat dari penganutnya dan menunjukkan sejumlah sifat umum yang menjelaskan dampaknya yang luas terhadap kemampuan mental, tindakan, dan kesejahteraan manusia
Islam pun sudah mengajarkan anti-kekerasan. Terkandung pada sabda Nabi, "Sesungguhnya Tuhan adalah Maha Penyantun yang menyukai sikap lembut. Dia memberikan kepada pada sikap lembut, sesuatu yang tidak diberikan pada sikap kasar juga sikap-sikap lainnya."
Konteks ini ditujukan kepada siapapun termasuk hewan sekalipun. Tragedi Sibolga adalah kemunduran moral, lagi-lagi kita hanya kuat secara ritual namun ringkih dalam empati dan makna agama seutuhnya.
Pada akhirnya, rumah ibadah-entah itu masjid, gereja, vihara, pura, ataupun klenteng-adalah ruang yang seharusnya melahirkan keteduhan, bukan ketakutan. Ia bukan hanya bangunan sakral untuk bersujud atau berdoa, melainkan ruang tempat manusia belajar menjadi manusia. Di sanalah adab dan ilmu seharusnya bertemu: adab yang berakar pada kasih, dan ilmu yang berbuah pada kebijaksanaan.
Sementara, ketika keduanya timpang, agama kehilangan maknanya, dan tempat ibadah kehilangan ruhnya. Maka dari itu, tragedi Sibolga semestinya menjadi cermin bagi kita semua - bahwa menjaga kesucian rumah Tuhan tak cukup dengan membersihkan lantainya, tapi dengan menjaga nurani dan akal budi agar tetap hidup di dalam diri manusia beriman.
Penulis: Iqra Ramadhan Karim
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Polres Sibolga berhasil menangkap tersangka pengeroyokan terhadap Arjuna Tamaraya/ Foto: Detikcom
Ilustrasi orang salat di masjid/ Foto: iStock
Ilustrasi orang belajar agama di masjid/ Foto: iStock