Insight | General Knowledge

Delapan Dekade Kemerdekaan, 'Hantu-Hantu' Masih Berkeliaran

Senin, 20 Oct 2025 13:16 WIB
Delapan Dekade Kemerdekaan, 'Hantu-Hantu' Masih Berkeliaran
Foto: iStock
Jakarta -

Beberapa hari menjelang tutup usia, Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan kesedihannya melihat situasi sosio-politik di Indonesia. Teramat sedihnya pengarang roman Tetralogi Buru itu, baru kali itu ia tak kuasa menahan tangis membicarakan persoalan tanah air, setidaknya menurut kesaksian sejarawan cum budayawan Hilmar Farid.

Di matanya, Pram ibarat batu karang: tak mudah hancur meskipun penguasa memenjarakan tubuhnya, memasung pikirannya, dan mengunci sosoknya di tumpukan arsip berlabel "Sangat berbahaya". Tetapi, apa yang disaksikan dan dialami Pram kali ini berbeda.

"Pram," tulis Hilmar Farid dalam obituarinya, "Saat itu seperti melihat hantu kekuasaan kolonial berkeliaran dan berubah wujud dari waktu ke waktu."
Observasi Pram pada dua dekade lalu terasa seperti ramalan. 'Hantu' yang dilihatnya kini tak lagi berseragam kolonial; ia berwujud pejabat pribumi yang masih mempraktikkan logika penjajah.

Para pejabat sibuk bersolek dengan retorika yang sama sekali terputus dari kenyataan di lapangan, bahkan meskipun kondisinya sudah sedemikian parah. Masih teringat jelas bagaimana Menteri ESDM acuh tak acuh dengan seorang warga yang meninggal dunia akibat kelelahan mengantre gas elpiji-buntut dari kebijakan menyusahkan yang jelas-jelas ia buat sendiri.

Coba lihat betapa nihilnya empati Wakil Menteri Tenaga Kerja menghadapi fenomena sebagian warga yang tak melihat masa depan di negeri sendiri dan menyatakan keinginannya untuk #KaburAjaDulu: "Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi."

Kalau itu belum cukup, kita bisa nilai sendiri akrobat kata-kata Menteri Kebudayaan yang menyangkal bahwa pernah ada pemerkosaan massal 1998. "Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya," kata sang menteri.

Sikap pejabat yang meremehkan penderitaan rakyat adalah warisan cara pandang kolonial yang tidak menempatkan rakyat sebagai subjek berdaulat. Dalam novel pamungkasnya di Tetralogi Buru, Rumah Kaca, Pram menangkap gejala ini.

Dekolonisasi yang Belum Usai

Tidak seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah yang diambil dari sudut pandang Minke, Rumah Kaca ditulis dari perspektif Jacques Pangemanann, seorang komisaris polisi kolonial keturunan pribumi.

Dari balik meja kerjanya, Pangemanann mengawasi, mencatat, dan memetakan gerak-gerik kaum pergerakan, termasuk Minke. Pangemanann ingin memastikan segalanya terpantau, tak ubahnya rumah kaca yang transparan.

Namun, pada perjalanannya, Pangemanann mengalami ambivalensi. Sebagai pribumi, ia bersimpati pada perjuangan bangsanya, tapi sebagai perpanjangan tangan kolonial, ia terikat pada kewajiban untuk membungkam, menyingkirkan, dan menghancurkan orang-orang yang memperjuangkan kemerdekaan.
Beberapa kritikus sastra membaca ambivalensi ini sebagai bagian dari proses dekolonisasi yang dialami negara-negara di Selatan Global (Global South).

Dekolonisasi, dalam pengertian paling sederhana, adalah pembongkaran struktur dan mentalitas warisan kolonial. Karenanya, dekolonisasi merupakan proses panjang yang tidak berhenti setelah mengusir penjajah secara fisik. Michael Tsang, seorang ilmuwan sosial, menulis, "Proyek dekolonisasi setengah berhasil dan setengah gagal, sebab elit pribumi yang menggantikan penjajah tetap mempertahankan dan melanggengkan struktur dan institusi yang sama eksploitatifnya."

Persis seperti yang terjadi di Indonesia hari ini. Kita memang telah merdeka secara formal, tetapi kolonialisme hanya berganti wajah. Hari-hari belakangan, nyaris tak ada kabar baik yang kita dengar di media massa; nyaris tak ada optimisme yang menunggu di ujung lorong.

Semua orang berusaha menggapai ranting kayu yang terombang-ambing di lautan demi bertahan hidup. Di tengah kondisi ekonomi dan politik yang karut-marut ini, sangat masuk akal jika kebanyakan orang tidak menyambut sukacita ulang tahun republik yang menginjak dekade kedelapan.

Mereka tahu, pekik "Merdeka!" sekeras apapun tak ada artinya apabila masih harus berjuang mati-matian memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tak mampu tinggal di hunian layak, sulit mendapatkan pekerjaan, khawatir sewaktu-waktu terusir dari tanahnya sendiri, atau merasa masa depan tak secerah angka-angka di statistik.

Tetapi, di sepanjang sejarah, kita juga tahu bahwa rakyat tidak pernah berpangku tangan menghadapi kesewenang-wenangan. Bagi warga Pati, merdeka adalah kata kerja: menolak siapapun, termasuk bupati mereka sendiri, untuk memperpanjang derita.

Gelombang Pasang dari Pati

Penolakan itu datang setelah Sudewo, Bupati Pati, mengumumkan rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bumi Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250%. Sudewo beralasan, kenaikan ini harus dilakukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah yang rendah.

Tak butuh waktu lama bagi warga Pati untuk menolak keras rencana ini. Gelombang protes datang silih-berganti. Seluruh lapisan masyarakat bahu-membahu menyumbang logistik untuk membantu mereka yang melakukan protes. Tumpukan makanan dan minuman di depan kantor bupati seolah menyampaikan pesan kuat: rakyat punya batas kesabaran.

Warga mengancam akan melakukan aksi besar-besaran pada 13 Agustus apabila Sudewo tidak membatalkan rencana kenaikan tersebut. Lagi-lagi, Sudewo mengulangi respons tipikal para pejabat, "Silakan lakukan, jangankan lima ribu orang, lima puluh ribu orang saya tidak gentar."

Pernyataan arogan itu seperti menyiram bensin ke tengah api. Kemarahan warga semakin memuncak. Sudewo akhirnya membatalkan rencana kenaikan tersebut, tetapi api terlanjur menjalar.

Pati bukan wilayah yang asing dengan penolakan terhadap kesewenang-wenangan. Di abad ke-17, Pati beberapa kali melakukan pemberontakan terhadap Mataram. Dari sekian penyebab yang tercatat, penyebab utamanya adalah keengganan Pati untuk tunduk terhadap Mataram yang tengah berambisi memperluas kekuasaannya.

H.J. de Graaf, dalam Awal Kebangkitan Mataram (1987), mencatat setidaknya terjadi dua pertempuran besar, yakni pada 1600 dan 1627. Pertempuran 1627 disebut-sebut sebagai yang terbesar hingga merenggut nyawa Pragola II, penguasa Kadipaten Pati.

Di masa kolonial, masyarakat Pati turut meresapi sikap dan filosofi komunitas Samin yang menolak membayar pajak kepada kolonial dan melakukan kerja rodi. Sikap hidup komunitas Samin ini dipandang sebagai cara menyeimbangkan kehidupan budaya dan sosial dengan tetap mempertahankan hak-hak mereka.

Bagi warga Pati, sejarah panjang ini bukan untuk dihapal dan diromantisasi; ia meresap dalam kehidupan sehari-hari. Pada 13 Agustus 2025, ia mengkristal dalam bentuk yang konkret. Ribuan orang dari berbagai lapisan masyarakat berdemonstrasi di depan kantor bupati dengan satu tuntutan: Sudewo harus lengser.

Gelombang pasang dari Pati ini seakan menjadi bukti bahwa meskipun 'hantu' yang dilihat Pram masih berkeliaran, kita pasti menemukan cara untuk mengusirnya. Kita mungkin terdesak dari segala arah, tetapi sejarah berulang kali menunjukkan bahwa kita akan selalu menemukan jalan untuk merebut kembali kendali atas kehidupan.


Penulis: Arlandy Ghiffary
Edtor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS