Insight | General Knowledge

Laskar Putri Indonesia: Para Perempuan di Barisan Depan Pertahanan Kemerdekaan

Jumat, 11 Aug 2023 13:47 WIB
Laskar Putri Indonesia: Para Perempuan di Barisan Depan Pertahanan Kemerdekaan
Foto: Istimewa
Jakarta -

Usai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dibacakan, para pejuang tidak serta-merta menjadi lengah. Terlebih lagi pada saat itu, pemerintahan masih dalam keadaan "kosong". Hindia-Belanda pun tidak ingin melewatkan kesempatan untuk kembali menguasai setelah Jepang angkat kaki dari Indonesia.

Hal ini pun tidak dibiarkan begitu saja oleh masyarakat-terutama para pemuda-pemudi yang sebagian besar telah bersiap akan gempuran Belanda. Mereka pun membentuk laskar-laskar yang beranggotakan anak-anak muda dengan berbagai latar belakang, tak terkecuali para perempuan yang ikut ambil bagian dalam mempertahankan kemerdekaan.

Salah satunya adalah Laskar Putri Indonesia (LPI) yang diprakarsai pada 11 Oktober 1945 di Surakarta oleh tiga bersaudara yakni Srini, Ibnoe Umar, dan Sarwenten yang dibantu para pemudi lainnya. Tujuan terbentuknya laskar ini adalah membentuk pasukan tempur perempuan yang akan berjuang bersama pasukan pria dan pasukan bantuan di garis depan dan garis belakang.

Sebelumnya, LPI yang bermarkas di Kompleks Balai Prajurit Batangan, Surakarta, telah membuka pendaftaran di Danukusuman No. 4 dan di kantor Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) di Surakarta. Saat itu, anggotanya hanya berjumlah 200 orang saja. Namun lewat kampanye-kampanye yang digagas oleh salah satu pengurus pertama LPI, Sadiyem, akhirnya pada September 1945, LPI sudah mempunyai 500 anggota yang terdiri dari pelajar perempuan, guru, hingga putri-putri priyayi berumur belasan tahun.

Kegiatan LPI antara lain mengadakan latihan-latihan kemiliteran, membantu staf komando, menyelenggarakan dapur umum, pengamanan wilayah, hingga menjadi palang merah. Mereka yang sebagian besar pelajar tersebut diajarkan pendidikan militer seperti baris-berbaris, ilmu pengetahuan senjata, ilmu berperang, siasat berperang, serta ilmu mempertahankan diri.

Semuanya mereka dapatkan dari para prajurit yang tergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR)-sekarang TNI-dan seorang perwira prajurit Keraton Surakarta bernama R.M. P. Brodjosasmojo.

Bukan hanya itu, para anggota juga diajarkan ilmu rohani, pengetahuan umum, ilmu kejiwaan, kesehatan, bahkan tata negara. Tujuannya agar setelah membantu mempertahankan kemerdekaan, saat kembali ke sekolah ilmu mereka tidak tertinggal dari teman-teman lainnya.

Laskar Putri Indonesia Berjuang di Garis Terdepan

Selama ini yang kita tahu tidak banyak para perempuan yang berdiri di garis terdepan perang ketika mempertahankan kemerdekaan. Tapi siapa sangka para anggota LPI ini juga menghadapi bahaya yang sama seperti para pejuang laki-laki lainnya, yakni berada di garis terdepan.

LPI aktif membantu TKR mengamankan Kota Solo dari penyusup. Setiap kali ada kendaraan yang memasuki kota, regu-regu LPI akan diterjunkan untuk memeriksa para penumpang perempuan yang kemungkinan merupakan penyusup atau agen rahasia dari NICA.

Beberapa di antara mereka pun bertugas sebagai penyusup di garis depan untuk menyusupkan senjata dan granat di dalam kain sarung untuk pejuang di garis terdepan. Sebagai perempuan, mereka menyamar agar tidak diketahui Belanda sembari membawa senjata dan granat yang disembunyikan.

Sekitar Desember 1945, satu dari ketiga kompi diterjunkan untuk membantu laskar rakyat mendirikan dapur umum di sekitar wilayah Mranggen-Alastua di dekat Semarang. Bersenjatakan karabin dan granat tangan, kompi LPI yang diketuai oleh Pramani Suwiyah menembus hutan sambil mengendarai truk untuk mendistribusikan nasi nuk ke garis depan.

Pasca revolusi ketika keadaan Indonesia lebih stabil, LPI pun ikut menjadi pengawas ekonomi berkat keikutsertaan mereka dalam operasi blokade ekonomi. Mereka juga pernah ditugaskan membantu TKR menjaga Percetakan Uang Negara, dan mengawasi para pekerja perempuannya.

Bubarnya Wadah Para Laskar Perempuan

Perjuangan LPI tidak bisa dianggap enteng. Keberanian dan kompetensi yang sama besarnya seperti prajurit laki-laki, seharusnya bisa jadi landasan LPI dipertahankan oleh negara. Namun sayangnya, LPI harus bubar tiga tahun setelah mereka terbentuk yakni pada tahun Oktober 1948 karena perintah rasionalisasi kepada seluruh badan kelaskaran.

Ada yang kembali ke sekolah dan melanjutkan profesi mereka sebelumnya, ada pula yang akhirnya memilih bergabung dengan Laskar Rakyat Indonesia. Ketika Belanda melancarkan agresi militer keduanya pada Desember 1948, tidak banyak anggota LPI yang tersisa untuk berjuang melawan Belanda.

(DIR/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS