Butuh dua hari bagi saya untuk menjernihkan pikiran setelah Timnas Indonesia resmi menjadi negara Asia Tenggara terakhir yang gugur di ajang Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Nirpoin dari dua pertandingan melawan Arab Saudi dan Irak menutup perjalanan selama 730 hari, terhitung sejak pertandingan pertama babak kualifikasi. Jelas ini bukan hasil yang kita semua harapkan.
Apakah kekalahan dari Arab Saudi karena Marc Klok atau Beckham Putra tampil buruk? Apakah blunder Rizki Ridho penyebab kita kalah dari Irak? Atau semua ini murni salah Patrick Kluivert yang gagal meracik taktik? Atau justru kesalahan terbesar ada di federasi yang terlalu berani mengambil risiko mengganti pelatih di tengah jalan?
Mencari kambing hitam selalu mudah, dari pelatih, pemain, wasit, bahkan lawan. Akan tetapi, mengeluh sekarang tidak akan mengubah apa pun.
Mimpi menuju Piala Dunia 2026 memang sudah kandas. Namun, daripada terus terpuruk, lebih baik kita bergerak maju sambil memungut apa-apa saja yang tersisa dari perjuangan panjang Timnas Indonesia sejauh ini.
Lahirnya Generasi Emas
Every cloud has a silver lining. Di balik kegagalan kemarin, telah lahir generasi emas yang akan mengisi skuad Garuda beberapa tahun ke depan. Sejak saya mengikuti Timnas pada 2003, mungkin inilah skuad termewah yang pernah ada.
Bayangkan, kita punya pemain yang merumput di Serie A, Ligue 1, Bundesliga, Eredivisie, MLS, dan beberapa liga lainnya, termasuk di Liga Super. Meskipun beberapa pilar utama sudah memasuki usia senior, fondasi tim ini sangatlah kokoh.
Selain itu, berkat pemotongan generasi di era kepelatihan Shin Tae-yong (STY), Timnas kini juga didominasi pemain muda. Marselino Ferdinan, yang sedang dipinjamkan ke AS Trencin, baru akan mencapai usia matangnya lima tahun lagi.
Begitu pula pemain-pemain seperti Ivar Jenner, Miliano Jonathans, dan banyak lainnya. Waktu mereka masih panjang dan masa depan Timnas terlihat cerah.
Harus diakui, ini adalah peninggalan berharga yang patut kita syukuri bersama sebagai suporter Timnas.
Pelajaran Mahal Bernama Mentalitas
Di satu sisi, generasi terbaik ini masih belum sempurna. Ada satu hal penting yang saya harap bisa terus ditingkatkan, yaitu soal mentalitas.
Saat melawan Arab Saudi, banyak pengamat setuju bahwa lawan sebenarnya tidak bermain istimewa. Saya pun melihatnya demikian. Gol-gol mereka lahir dari kesalahan pemain kita sendiri. Begitu pula saat melawan Irak, sebuah blunder membuka jalan bagi Zidane Iqbal mencetak gol.
Masalahnya bukan sekadar taktik, melainkan ketenangan di level elite. Pelajaran berharga seperti ini tidak bisa dibeli dari sekadar menang 6-0 di laga uji coba melawan Chinese Taipei. Timnas bermain bagus, tetapi bukan tolok ukur yang tepat karena lawannya tidak sepadan.
Pelajaran soal mentalitas juga bukan hanya untuk pemain, tapi seluruh ekosistem sepak bola Indonesia, termasuk suporter. Jujur, saya kecewa melihat lemparan botol ke lapangan di penghujung laga melawan Irak. Kemarahan pada wasit sangat bisa dimaklumi, tetapi tindakan kontraproduktif itu justru merusak momentum Timnas untuk menyamakan kedudukan. Mentalitas juara juga harus tumbuh dalam diri para suporter.
Menatap ke Depan
Ini hal yang terpenting. Jangan berpikir semua tamat setelah laga melawan Irak tempo hari. Setelah ini, kalender Timnas masih padat. Saya hanya ingin fokus mendukung Jay Idzes dan kawan-kawan pada pertandingan berikutnya alih-alih mengikuti riuh di media sosial yang masih terus membahas kegagalan Timnas.
Jadwal terdekat adalah jeda internasional November. Harapan saya, kesempatan tersebut bisa menjadi momentum kebangkitan Timnas Indonesia. Carilah lawan sepadan, main di kandang lawan untuk menguji mental, dan asah kembali taji Garuda.
Setelah itu, beberapa agenda besar menanti, mulai SEA Games untuk Timnas U-23, Piala AFF 2026, dan panggung utama Piala Asia 2027. Baru setelah itu, kita lanjutkan perjuangan menuju Piala Dunia 2030. Tenang saja, kali ini Timnas Indonesia tidak perlu lagi merangkak dari babak pertama kualifikasi.
Intinya, perjuangan belum usai. Garuda hanya akan berganti panggung. Tugas suporter sebagai pemain ke-12 adalah bernyanyi lebih kencang dan mendukung lebih keras.
PSSI Bertanggung Jawab (?)
Empat hari setelah pertandingan terakhirnya sebagai pelatih Timnas, Patrick Kluivert dan gerbong "tim kepelatihan terbaik" resmi dipecat oleh PSSI. Bagi sebagian besar suporter, keputusan ini terasa melegakan, setidaknya untuk sementara waktu. Tensi sedikit mereda karena PSSI akhirnya mau mendengarkan suara suporter.
Namun, di balik keputusan cepat itu memang ada tanda tanya besar. Apakah ini bentuk tanggung jawab, atau justru cara halus untuk cuci tangan? Pasalnya, pemecatan Kluivert dilakukan tanpa rapat bersama para Exco PSSI. Keputusan diambil langsung oleh Ketua Umum PSSI, Erick Thohir.
Sebelum pengumuman pemecatan Kluivert juga ada hal unik dari postingan Instagram kapten Timnas, Jay Idzes. Publik terheran-heran karena pesannya seolah membentengi Erick Thohir yang sedang menjadi pusat atensi kekecewaan para suporter. Beberapa pemain bahkan turut memposting ulang di Story.
Saya tidak mau berprasangka karena sejujurnya sudah sangat lelah dengan gonjang ganjing seputar Timnas. Semoga saja dalam waktu dekat, Indonesia segera punya pelatih baru yang benar-benar diharapkan suporter. Berikan waktu baginya untuk mengenal pemain, membangun sistem, dan menunjukkan kapasitasnya tanpa intervensi.
Pada akhirnya, setelah semua ini, kita semua harus sama-sama belajar dari kesalahan. Jangan sampai PSSI mengulang kesalahan sebelumnya. Para suporter juga jangan mudah terpecah belah akibat 'gorengan' di media sosial.
Penulis: Bagas Dharma*
(*) Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
(ktr/RIA)