Di tengah riuhnya dinamika politik kontemporer, satu gelombang yang tak bisa diabaikan adalah hadirnya anak-anak muda yang perlahan, tapi pasti menapaki arena kekuasaan. Mereka tidak selalu datang dengan nama besar, silsilah politik, atau warisan jabatan, namun membawa gagasan, keresahan, dan semangat untuk mengubah sesuatu yang stagnan.
Bagi generasi muda, politik tidak (atau tidak seharusnya) menjadi panggung warisan kekuasaan, melainkan ruang untuk membangun narasi perjuangan baru: tentang keadilan, keterbukaan, dan keberpihakan pada masa depan. Kondisi Indonesia saat ini, dengan hampir 70% penduduknya berusia produktif, merupakan peluang sekaligus tantangan besar.
Namun, keberlimpahan demografi ini kerap disambut dengan skeptisisme dari elit lama yang masih menganggap pengalaman birokrasi sebagai satu-satunya jalan menuju otoritas. Padahal, belum ada bukti otentik bahwa pengalaman akan selalu linear dengan kebijaksanaan, apalagi jika pengalaman itu diwariskan tanpa pertanggungjawaban. Di sinilah letak nilai strategis anak muda, membawa kesegaran, nalar kritis, dan alternatif atas pola pikir kekuasaan yang kerap terjebak dalam repetisi.
Meski begitu, jalan anak muda dalam politik tidaklah mudah. Banyak dari mereka harus berhadapan dengan sistem patronase yang telah mengakar kuat. Partai politik masih menjadi institusi yang tertutup dan sering kali lebih peduli pada loyalitas ketimbang kualitas gagasan.
Ilustrasi kursi kekuasaan./ Foto: Paula Schmidt |
Politik Bukan Hanya Soal Kekuasaan
Tidak sedikit anak muda yang tersisih hanya karena tak punya "bendera" keluarga besar atau tak mampu membayar "mahar politik". Inilah yang membuat banyak dari mereka memilih jalur nonformal, yaitu melalui media sosial, komunitas akar rumput, hingga gerakan advokasi untuk menyampaikan suara politiknya yang diyakini hal tersebut dapat mendongkrak daya tarik elektoralnya
Namun, politik bukan semata soal kursi dan kekuasaan formal. Politik adalah praktik mengelola kepentingan bersama. Dalam hal ini, generasi muda telah lama menjadi pelaku aktif, entah lewat gerakan iklim, kesetaraan gender, literasi digital, hingga solidaritas sosial. Mereka menulis ulang definisi politik, tidak dengan pidato di podium, tapi dengan aksi nyata dan narasi yang dibangun dari bawah. Ruang digital menjadi senjata mereka; bukan untuk membakar, tapi untuk menunjukkan apa yang selama ini disembunyikan dari sesama.
Pertanyaannya bukan lagi "Apakah anak muda bisa berpolitik?", melainkan "Seberapa serius politik membuka diri terhadap anak muda?" Karena sejatinya, keterlibatan pemuda bukan soal usia, tapi soal keberanian menyuarakan yang perlu diperjuangkan. Hal tersebut, sekaligus menjawab bahwa yang dibutuhkan sekarang bukan lebih banyak wajah muda di panggung kekuasaan, tetapi lebih banyak ide segar yang berakar pada kepedulian, bukan pada kalkulasi elektoral.
Tentu saja, semangat idealisme perlu bersanding dengan kecakapan. Dalam konteks ini, pendidikan politik menjadi kunci. Sayangnya, pendidikan politik kita selama ini masih dibangun di atas narasi formalistik, yaitu sekadar tentang lembaga, prosedur, dan norma. Padahal, anak muda butuh ruang untuk memaknai politik sebagai alat perubahan, bukan sekadar pengetahuan pasif yang dihafal untuk ujian.
Demokrasi hanya akan tumbuh jika politik dikenalkan sebagai sesuatu yang hidup yang tumbuh dari keresahan nyata dan menyentuh kehidupan sehari-hari sebagaimana demokrasi tercipta pada suatu hari di masa lampau. Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat tokoh-tokoh muda yang mulai muncul di pentas lokal dan nasional.
Sebagian mereka datang dari aktivisme, dunia usaha, bahkan dari kalangan profesional non-politik. Mereka menjadi bukti bahwa politik bisa dibangun dari gagasan, bukan semata-mata dari garis keturunan. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa satu-dua figur inspiratif tidak cukup. Dibutuhkan ekosistem yang mendukung, seperti partai yang terbuka, sistem pemilu yang adil, dan publik yang melek politik.
Perubahan sejati tak datang dari satu arah, tetapi ia muncul ketika publik memberi ruang dan ketika sistem memberi akses. Maka ketika generasi muda mulai berbicara tentang kekuasaan, jangan buru-buru menyangsikan niat mereka. Mereka tidak bicara untuk merampas warisan, tetapi untuk membongkar sekat-sekat yang menghalangi perubahan. Karena bagi mereka, politik bukan soal mewarisi singgasana, tapi soal menciptakan kursi-kursi baru di mana lebih banyak kepentingan sesama bisa terakomodasi bersama.
Generasi muda tak menginginkan kekuasaan sebagai simbol yang prestisus. Mereka menginginkan kekuasaan sebagai alat untuk merekonstruksi masa depan. Bagi mereka, politik bukanlah proyek keluarga, tetapi proyek peradaban dan itu dimulai saat kita berhenti bertanya "siapa ayahmu?" dan mulai mendengar, "apa yang kau perjuangkan?"
Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Ilustrasi kursi kekuasaan./ Foto: Paula Schmidt