Pada 2020, pemerintahan Donald Trump menandatangani kebijakan yang memungkinkan data warga negara asing termasuk warga negara Indonesia dapat diakses oleh pemerintah Amerika Serikat melalui peraturan seperti Cloud Act (Clarifying Lawful Overseas Use of Data).
Kebijakan ini, meski berasal dari negara lain, punya dampak nyata bagi kita. Sebab di era digital, batas geografis nyaris tak berarti saat menyangkut data pribadi. Lantas, pertanyaannya: apakah kebijakan bilateral Indonesia-Amerika Serikat saat ini benar-benar berdampak kepada kita, generasi yang terlanjur nyaman hidup di dalam ekosistem digital global?
Kebijakan yang Tak Terlihat, Dampak yang Terasa
Cloud Act memperbolehkan aparat penegak hukum AS untuk meminta data dari perusahaan teknologi berbasis di sana, bahkan jika lokasi server data tersebut berada di luar batas geografis mereka. Artinya, jika kita menggunakan layanan seperti Google, Facebook, atau Microsoft, seluruh data kita selaku pengguna bisa saja menjadi objek akses hukum internasional.
Indonesia memang bukan satu-satunya target dari kebijakan ini. Namun, ketergantungan kita akan layanan digital global, otomatis menjadikan kita sebagai bagian dari sistem yang lebih besar dan lebih rumit.
Sebagian dari kita mungkin berpikir: "Saya bukan siapa-siapa, dan data saya tidak penting-penting amat," sehingga urusan ini tidak membahayakan. Hanya saja, di era algoritma dan data mining; setiap klik, izin lokasi, dan preferensi terhadap suatu konten memiliki nilai dan valuasinya sendiri.
Di zaman ini, data bukan lagi sekedar angka—tapi aset. Artinya, profil digital kita dapat dimanfaatkan sebagai sasaran, sekaligus bahan bakar ekonomi baru; dijadikan target materi iklan dan promosi yang menyasar secara spesifik, atau bahkan jadi konsumen opini politik bentukan.
Oleh sebab itu, keamanan privasi kiwari bukan lagi soal keamanan yang disembunyikan. Tetapi juga hak atas kendali diri; kita berhak tahu siapa yang mengakses informasi kita, untuk tujuan apa, dan bagaimana data itu dikelola.
Saatnya Bicara Kedaulatan Data
Isu mengenai keamanan data bukan hanya soal individu, tapi juga menyangkut kedaulatan negara. Ketika data warga negara Indonesia disimpan di server asing dan terpaksa tunduk pada hukum yang dibentuk oleh negara lain, posisi hukum dan keamanan nasional kita harus dipertanyakan ulang. Apakah negara kita memiliki sistem perlindungan digital yang cukup kuat?
Kabar baiknya, Indonesia telah mengesahkan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada 2022. Tentu, hal ini merupakan langkah awal penting menuju kontrol yang lebih besar atas data pribadi. Namun demikian, UU PDP tidak akan efektif secara sendirinya, kecuali jika ikut diiringi kesadaran bersama terhadap literasi digital.
Sebagai generasi muda yang tumbuh bersama teknologi, kita wajib punya tanggung jawab lebih dari sekedar menjadi pengguna aktif. Kita harus menjadi pribadi yang sadar akan etika dan hak digital.
Kesadaran ini bisa dimulai dengan hal-hal sederhana dalam keseharian. Misalnya, dengan lebih cermat dalam memilah layanan digital, yang benar-benar berkomitmen untuk menghargai privasi para pengguna. Alih-alih bergantung pada platform besar yang kerap mengumpulkan data tanpa transparansi, kita bisa mencoba beberapa platform alternatif seperti: DuckDuckGo untuk pencarian internet, Signal untuk komunikasi pribadi, atau ProtonMail untuk layanan surat elektronik yang lebih aman.
Selain itu, penting bagi kita untuk lebih awas dalam mengatur pengaturan privasi-saat berjejaring di media sosial maupun aplikasi lainnya-karena beberapa platform punya kelonggaran akses terhadap akses dan privasi pengguna, jika pengaturan default-nya tidak diubah sejak awal.
Langkah berikutnya yang bisa diambil adalah dengan membiasakan diri untuk membuka ruang diskusi tentang keamanan digital di lingkungan sekitar—baik di lingkup pertemanan, institusi pendidikan, lingkungan kerja, maupun pada forum publik terbuka. Dengan terus membahas dan membicarakan isu ini, kita bisa turut membangun budaya sadar digital yang lebih luas dan kolektif.
Pada tingkat yang lebih besar, dukungan terhadap gerakan yang memperjuangkan kedaulatan data lokal juga tak kalah penting. Kita bisa menyuarakan dukungan terhadap kebijakan yang mendorong transparansi perusahaan teknologi, serta memperjuangkan perlindungan data yang lebih ketat dari negara terhadap warga negaranya.
Memegang Kendali di Dunia yang Terhubung
Era digital menawarkan banyak kemudahan, tapi juga membawa tantangan yang tak kalah besar. Kita tak bisa lagi berpikir bahwa privasi adalah urusan individu-melainkan tentang struktur kekuasaan, teknologi, dan bagaimana masa depan kita dibentuk oleh data.
Saat data kita, selaku WNI, bisa diakses bebas lintas negara, pertanyaannya bukan lagi: siapa yang melihat kita, tapi juga bagaimana menjaga kendali atas diri sendiri di dunia yang serba terhubung, apabila negara gagal melindungi hak kita secara terstruktur.
Sebab, di zaman di mana data lebih mahal dari emas, menjaga privasi adalah bentuk perlawanan dan perawatan diri.
Penulis: Deandra Nurul Fadilah*
*Isi tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan dari redaksi CXO Media.
(cxo/RIA)